Korupsi Dana Desa dan Masa Perpanjangan 9 Tahun


Oleh : Ummu Fadhilah

Dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID, Pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Ucu Martanto menyebut revisi Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dapat berpengaruh pada sirkulasi dan hegemoni politik desa. Mengingat revisi yang dilakukan tersebut menyangkut perubahan periode masa jabatan kepala desa.

"Revisi UU ini akan berpengaruh pada periode masa jabatan kepala desa yang pada awalnya satu periode hanya enam tahun, kemudian berubah menjadi sembilan tahun. Dan setelahnya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan yang sama," ujar Ucu, Jumat (30/6/2023).

Kepala desa menuntut kenaikan alokasi dana desa menjadi sekurangnya 10% dari APBN. Harapannya untuk meningkatkan kualitas pembangunan di wilayah perdesaan. Sejumlah indikator memang menunjukkan dana desa berhasil mendongkrak perekonomian di desa, tetapi kasus korupsi juga banyak terjadi.  Tak hanya menuntut perpanjangan masa jabatan, para kepala desa juga meminta pemerintah menaikkan anggaran dana desa. Mereka meminta alokasi dana desa sebesar 10% terhadap APBN atau mencapai Rp300 triliun dari total APBN 2023 yang mencapai Rp3.061,2 triliun.

Korupsi dana desa sangat banyak terjadi, termasuk dilakukan oleh kepala desa.  Sementara di sisi lain, ada wacana revisi UU desa yang menetapkan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun . Masa jabatan yang panjang akan beresiko terhadap meningkatnya korupsi.

Karut-marut dana desa akan terus berpolemik selama sistem demokrasi kapitalisme tetap berlaku. Sistem ini memang membuka banyak celah korupsi. Bayangkan saja, aturan dan UU bisa direvisi sesuai kepentingan, minim pengawasan, dan belum ada penindakan hukum yang tegas pada pelaku korupsi. Alhasil, korupsi makin menjadi dari tingkat pusat hingga desa. Sistem demokrasi sendirilah yang membuka angka korupsi makin menganga. 

Pertama, pelaksanaan pemilihan kepala desa tidak jauh beda dengan pilkada yang rentan dengan politik uang. Kedua, iming-iming gaji bagi kades terpilih akan memunculkan persaingan sengit antarkomponen tokoh desa. Meski nominal gajinya tidak terlalu besar, tetap saja keinginan mendapat gaji layak sudah menjadi fitrah bagi setiap manusia di tengah impitan ekonomi yang serba sulit saat ini. Ketiga, latar belakang pendidikan yang berbeda akan memunculkan masalah baru. Kades yang tidak memiliki basis pengetahuan dasar perihal pengelolaan dana desa yang jumlahnya miliaran akan kesulitan mengatur dana sebanyak itu.

Dalam pemerintahan islam, setiap penguasa yang berada di bawah komando amir akan dipilih secara langsung oleh Amir seperti wali (setingkat gubernur), amil (setingkat kab/kota), dan mudir (setingkat desa). Tidak ada pemilihan kepala per desa atau wilayah sebagaimana praktik pemilu demokrasi . Selain untuk efisiensi dan efektivitas waktu, hal itu mencegah terjadinya politik uang, transaksional, dan korupsi. Terkait kasus korupsi, Islam memiliki tata cara memberantas korupsi dengan tuntas, di antaranya pertama, membangun integritas kepemimpinan di semua level pemerintahan, yaitu ketakwaan pada setiap individu. 

Dalam sistem Islam, loyalitas kepemimpinan harus bersandar pada ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan asas kepentingan kelompok, golongan, apalagi kerabat/ keluarga. Para pemimpin di tingkat pusat hingga desa menjalankan tugas dan amanah yang diberikan hanya untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. Nabi saw. bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin.” (HR Al-Bukhâri, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Amr).

Kedua, memfungsikan Badan Pengawas Keuangan secara optimal. Mengapa kasus korupsi selalu terjadi? Salah satu faktornya ialah minimnya pengawasan dari negara. Dalam sistem islam, terdapat Badan Pengawas/Pemeriksa Keuangan yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat negara. Aturan dan perundang-undangan yang berlaku adalah hukum Islam sehingga tidak ada celah untuk membuat, merancang, atau jual beli hukum karena hukum Islam bersifat mutlak dan baku.

Ketiga, menegakkan sistem sanksi Islam yang mampu memberikan efek jera dan pelajaran bagi mereka yang memiliki niat untuk korupsi atau bertindak kriminal lainnya.  Hukumannya tergantung wewenang Amir yaitu takzir dengan pemberian sanksi sesuai kadar kejahatannya. Bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.

Dengan penerapan Islam secara kafah, korupsi bisa terselesaikan tanpa banyak drama dan episode yang berlarut-larut. Untuk membabat habis korupsi, haruslah dengan mencabut akar masalahnya, yaitu mengganti sistem demokrasi kapitalisme dengan Islam sebagai solusi satu-satunya dalam menyelesaikan problematik kehidupan yang kian pelik. 




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar