Menelisik Ketaatan di Dzulhijjah


Oleh: Nur Hidayati

Bulan Dzulhijjah hadir dengan keistimewaannya. Ia datang dengan peristiwa penting bagi kaum muslim setiap tahunnya. Ada pelaksanaan rukun Islam yang kelima, Haji ke Baitullah. Ada juga Idul Adha dan berkurban bagi yang belum berkesempatan ke Baitullah.

Ada hari-hari yang dimuliakan, 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah yang di dalamnya terdapat anjuran untuk berpuasa. Layaknya Ramadhan, Dzulhijjah juga punya malam-malam yang agung dan janji pengampunan dosa. Puasa Arafah salah satunya.

Di bulan Dzulhijjah juga, ada suri tauladan yang patut dicontoh ketaatannya. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail lah yang paling masyhur kisahnya di bulan ini. Mereka adalah salah satu contoh suri tauladan terbaik dalam menjalankan ketaatan secara total tanpa tapi dan tanpa nanti.

Ibrahim pernah bermimpi tentang nasib keluarganya, terutama anaknya. Setelah sekian lama menanti kehadiran Ismail, ternyata Beliau harus rela meninggalkan istri dan anaknya di tengah padang tandus, tanpa air dan tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Namun, karena ini perintah Allah, maka beliau yakin akan pertolongan Allah, istrinya pun rela dengan hal itu.

Pun setelah kisah itu, Beliau bermimpi lagi untuk menyembelih Ismail. Beliau ragu dan bingung untuk menyampaikan perintah ini kepada Ismail. Tetapi karena ketaatan dan keyakinannya, disampaikanlah berita dari mimpi itu kepada Ismail, dan Ismail ridha atas hal tersebut. Ia memberanikan diri di hadapan ayahnya, bersiap untuk disembelih.

Tetapi Allah Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak, sesaat sebelum mata pisau itu terkena leher Ismail, seketika itu Ismail ditukar dengan seekor domba oleh Allah. Maka dari peristiwa inilah, perintah kurban ditujukan bagi kaum muslimin untuk dilanjutkan sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim ketika beliau mengikhlaskan harta, anak, dan apapun itu demi mendapatkan keridhaan Allah.

Hanya saja, keinginan untuk mengikuti jejak mereka sangat sulit dilakukan umat Islam. Ketaatan tanpa tapi tanpa nanti seolah menjadi hal yang mustahil, karena akan ada banyak alasan untuk mengulur-ulur waktu dengan alasan belum siap atau belum mapan. Bahkan kalaupun seorang individu mau melaksanakan ketaatan, mungkin hanya sebatas ketaatan yang sifatnya personal, lingkup yang kecil.

Ketaatan kepada Allah yang sifatnya besar dan perlu andil negara seperti muamalah, pidana, jihad, politik dan pemerintahan, seolah-olah terabaikan bahkan harus dipisahkan dengan pengaturan agama. Seharusnya kita mencontoh ketaatan Nabi Ibrahim yang tanpa tapi tanpa nanti, bukan memilah dan memilih aturan mana yang disuka atau tidak disuka. Semua peraturan hidup ini dari Allah, maka sebagai hambaNya, seharusnya mengikuti semua aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah di dalam Al Qur'an.

Maka bukan hal yang salah, jika kondisi dan sistem yang berlaku saat ini dikatakan sebagai tembok penghalang bagi orang-orang yang ingin menjalankan syariat secara total. Mereka takut menyuarakan kebenaran dan akhirnya memilih berada di zona aman karena takut bersinggungan dengan pemerintah. Sungguh miris, Islam dijadikan kambing hitam untuk memporak-porandakan kehidupan muslimin. Padahal jika dilaksanakan seluruh aturan Islam, maka Islam akan mensejahterakan ummatnya dan menjadi agama yang rahmatan lil alamin.

Wallahu a'lam bish showab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar