Meningkatnya Penyakit Sifilis; Bak Fenomena Silent Genocide


Oleh: Maria Ulfa, S.S (Anggota Lingkar Studi Muslimah Bali)

Baru-baru ini Kementrian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan ada kenaikan kasus sifilis hingga 70 persen di Indonesia. Mohammad Syahril, selaku juru bicara Kemenkes menyebut bahwa kasus sifilis meningkat hampir 70 persen ini dihitung dalam kurun waktu lima tahun terakhir, yakni 2018 sampai 2022 kemarin. (KOMPAS.com, 14/05/2023)

Berdasarkan data dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, Provinsi Jawa Barat tercatat 3.186 pasien terjangkit sifilis sepanjang data 2018-2022. Jabar di peringkat kedua setelah Provinsi Papua sebanyak 3.864 pasien. Setelah Jabar data menunjukkan provinsi DKI Jakarta 1.897 pasien lalu Papua Barat 1.816 pasien, Bali 1.300 pasien dan Banten 1.145 pasien. (RADAR JABAR,  14/06/2023)

Meningkatnya kasus penyakit sifilis ini bisa dikatakan telah menjadi silent genocide atau pembunuhan skala besar dengan cara yang tak nampak sebagai kekerasan karena kejadiannya disebabkan oleh perilaku seksual bebas. Orang dengan positif sifilis atau penyakit kelamin lainnya cenderung malu saat telah mengetahui dirinya mengidap penyakit ini, sehingga enggan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Padahal jika tidak segera diobati, penyakit ini akan semakin parah dan berpotensi membunuh pengidapnya.


Penyebab Penyakit Sifilis

Penyakit sifilis disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini dapat menular melalui hubungan seksual. Termasuk seks berisiko, yaitu bergonta-ganti pasangan atau hubungan seksual sesama jenis. Sifilis juga dapat menular dari ibu kepada anak yang belum lahir. (REPUBLIKA.CO.ID, 13/06/2023)

Dengan kata lain, penyakit ini adalah buah dari perzinahan, baik yang dilakukan oleh pasangan lawan jenis di luar pernikahan, ataupun orang yang sudah menikah namun melakukan perselingkuhan, bergonta-ganti pasangan, dan juga seks yang dilakukan oleh pasangan sesama jenis.

Ada dua kondisi yang membuat penyakit ini semakin meningkat jumlahnya; 

Pertama, karena seks bebas yang sudah membudaya. Saat ini Indonesia bisa dikatakan sedang mengalami darurat seks bebas. Yang mana pelakunya bukan hanya orang dewasa saja, melainkan merambah usia anak-anak. Mulai dari golongan dewasa baik yang belum menikah tetapi berani melakukan hubungan intim dengan pacarnya ataupun yang sudah menikah tetapi masih 'jajan' di luar rumah ataupun dengan melakukan perselingkuhan sehingga bergonta ganti pasangan, pulang ke rumah berhubungan lagi dengan istri sehingga istri beresiko tertulari, kemudian lahir bayi tak berdosa yang juga beresiko tertulari. Anak-anak remaja pun saat ini berani melakukan seks bebas.

Di sisi lain, seks bebas tidak hanya dilakukan oleh pasangan lawan jenis, melainkan dilakukan pula oleh pasangan sesama jenis (homo, lesbi) dan juga pelaku biseksual (mau berhubungan baik dengan lawan jenis ataupun sesama jenis) dengan kata lain L687. Kaum pelangi ini sudah tidak malu lagi menampakkan keberadaannya. Bahkan berani mengkampanyekan perilaku mereka agar keberadaannya diterima.  Dengan banyak dalih yang antara lain mereka mengatakan bahwa 'love is halal' atau cinta itu halal hukumnya dll. Cinta memang halal, tapi pemuasannya jelas diatur oleh syar'iat yaitu melalui pernikahan. Namun pernikahan sesama jenis itu jelas bukan syari'at. Sehingga berhentilah memakai istilah-istilah syari'at demi menghalalkan apa yang Allah haramkan!

Kedua, tidak adanya nahi mungkar yang dilakukan oleh negara. Amar ma'ruf nahi mungkar itu seruan Allah kepada umat manusia. Namun, penyampaiannya tentu akan berbeda pengaruhnya antara yang dilakukan oleh seorang individu, segolongan orang/kelompok tertentu atau yang dilakukan oleh negara atau pemimpin negeri beserta jajarannya. 

Apakah sama efeknya ketika yang berbicara itu hanyalah seorang rakyat biasa, ataukah sebuah komunitas, ataukah seorang presiden atau seorang pejabat negara? Tentu tak sama. Karena penguasa bisa membakukan sebuah hukum, sedangkan masyarakat biasa hanya bisa memuhasabah saja, atau tidak memiliki kewenangan mengesahkan sebuah aturan yang mengikat seluruh masyarakat.

Negara tidak tampak serius mengatasi masalah pergaulan bebas. Padahal perilaku ini menimbulkan banyak keburukan dan bahkan mengundang azab Allah dan penyakit.

Dalam perundang-undangan kita tindakan berhubungan seksual yang tidak berdasarkan paksaan atau dilakukan atas dasar suka sama suka itu tidak bisa dijerat hukum atau tidak dipermasalahkan. Bahkan, pelaku pemerkosaan pun, itu akan sulit dijerat hukum jika korban tidak berani melapor dan menyertakan bukti atau saksi. Apalagi jika terlibat di dalamnya ada nama pejabat, atau keluarga pejabat. Maka akan sulit dijerat hukum. 

Mirisnya, dalam artikel-artikel berita yang memuat tentang bahaya penyakit sifilis dan penyakit kelamin lainnya bahwa solusinya bukan menghentikan seks bebas, bukan dengan menyatakan bahwa perzinahan itu haram dan dimurkai Allah. Justru solusi yang diserukan hanya, harus setia kepada pasangan (tak disebutkan ini pasangan pernikahan, ataukah bukan), dan harus memakai kondom saat berhubungan. Sehingga fungsi kondom itu sendiri bukan lagi untuk program KB, karena tidak ada kontrol juga siapa saja yang boleh membeli dan memakainya. Tentu saja anak-anak muda yang berpacaran juga bisa memakainya, supaya tidak hamil di luar nikah. Jadi, tampak jika yang dilarang bukan seks bebasnya. Tetapi pesan jangan sampai hamil, itu saja. 

Di tambah lagi dengan penyimpangan seksual yang dilakukan oleh kaum L687, tidak dianggap sebagai penyimpangan oleh negara. Negara terkesan membiarkan dengan dalih HAM. Bahkan ada pejabat yang menganggapnya sebagai kodrat. Sedangkan jelas Allah hanya menciptakan makhluknya berpasang-pasangan yaitu antara pria dan wanita, bukan dengan sejenisnya. Bahkan jelas bagaimana Allah mengkisahkan tentang azabnya bagi kaum Nabi Luth yang melakukan penyimpangan seksual terhadap sesama jenis. Tindakan tersebut dinilai oleh Allah sebagai perbuatan keji yang melampaui batas. Namun, mereka seolah lupa dengan itu semua. 

Allah berfirman,

 وَمَآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ اَجْرٍ اِنْ اَجْرِيَ اِلَّا عَلٰى رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۗ اَتَأْتُوْنَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعٰلَمِيْنَ ۙ وَتَذَرُوْنَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُوْنَ قَالُوْا لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ يٰلُوْطُ لَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِيْنَ

Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia (berbuat homoseks)? Sementara itu, kamu tinggalkan (perempuan) yang diciptakan Tuhan untuk menjadi istri-istrimu? Kamu (memang) kaum yang melampaui batas." Mereka menjawab, "Wahai Luth, jika tidak berhenti (melarang kami), niscaya engkau benar-benar akan termasuk orang-orang yang diusir." (Asy-Syu'ara: 165-167).

Tidak cukupkah kisah kaum Sodom yang dinistakan Allah dengan azab-Nya itu kita jadikan sebagai pelajaran?

Para pemimpin negeri dan pemegang kebijakan seharusnya sadar bahwa saat ini generasi dalam ancaman liberalisme dari berbagai sisi termasuk dalam kebebasan seks ini. Akibat yang ditimbulkannya bukan hanya kerusakan moral bahkan mengancam kesehatan dengan munculnya berbagai macam penyakit kelamin seperti sifilis, gonore dan serviks.

Penyimpangan seksual L687 itu bukan kodrat, melainkan kejahatan yang terprogram bahkan didanai oleh asing. Untuk mendukung komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks (LGBTI), sebuah badan PBB, United Nations Development Programme (UNDP) menjalin kemitraan regional dengan Kedutaan Swedia di Bangkok, Thailand dan USAID. Dana sebesar US$ 8 juta (sekitar Rp 108 miliar) pun dikucurkan dengan fokus ke empat negara: Indonesia, China, Filipina dan Thailand. (news.detik.com, 12/02/2016)

Secara soft mereka mendengungkan kebebasan seksual padahal itu adalah racun genosida modern yang bisa membunuh umat manusia melalui penyakit kelamin.


Aturan Islam Adalah Solusi Mendasar Untuk Basmi Penyakit Kelamin

Kalau kita mau jujur menyikapi fenomena ini, kita tidak akan bisa memungkiri bahwa keberadaan penyakit ini adalah disebabkan karena manusia abai kepada apa yang telah dilarang oleh Tuhannya, yakni Allah Subhanahu Wata'ala. 

Allah telah berfirman, 

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلً

Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32).

Manusia seluruhnya, dalam hidupnya, oleh Allah dibekali dengan sebuah naluri yang dalam istilah Bahasa Arab disebut gharizatun nau' yang berarti naluri untuk melestarikan keturunan. Naluri tersebut membuat manusia punya kecenderungan tertarik kepada lawan jenis. Fitrahnya manusia adalah menyukai lawan jenisnya. Namun, ini bisa dikendalikan dengan mentaati perintah Allah untuk menutup aurat dan ghadul basar (menundukkan pandangan). Kebutuhan naluri bukanlah kebutuhan mendesak yang jika tidak dipenuhi bisa mengancam nyawa. Tidak sebagaimana seorang pemikir barat yang menyebutkan bahwa seks adalah kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam artikel berjudul Teori Kepribadian Sigmund Freud dinyatakan bahwa kebutuhan seks itu setara dengan kebutuhan makan dan minum. Ketiganya disebutkan berasal dari insting. Demikian kutipannya,

"Insting hidup disebut juga Eros adalah dorongan yang menjamin survival dan reproduksi, seperti lapar,haus dan seks. Bentuk enerji yang dipakai oleh insting hidup itu disebut “libido”. Walaupun Freud mengakui adanya bermacam-macam bentuk insting hidup, namun dalam kenyataannya yang paling diutamakan adalah insting seksual (terutama pada masa-masa permulaan,sampai kira-kira tahun 1920). (Teori Kepribadian Sigmund Freud)

Dengan pandangan yang demikian, manusia jadi tidak ada beda dengan binatang. Di mana tergeraknya untuk melakukan sesuatu itu karena instingnya atau nalurinya saja. Sedangkan pada faktanya, tidak demikian. 

Dengan akalnya manusia bisa menunda keinginan nalurinya, namun tidak bisa menunda pemenuhan kebutuhan jasmaninya seperti harus makan ketika lapar, dan minum ketika haus. Lapar dan haus dorongannya dari dalam diri manusia. Sedangkan naluri seksual ini munculnya karena ada pemicu dari luar diri manusia, misalnya ada lawan jenis yang berparas tampan atau cantik, lalu muncullah ketertarikan. Atau setelah menonton konten yang menjurus pada tindakan seksual, seseorang menjadi berhasrat untuk melakukan tindakan seksual. 

Oleh karena itu, media yang dimiliki oleh negara seharusnya difilter oleh negara agar bisa menjaga naluri generasi dan menggantinya dengan tayangan-tayangan yang mendidik dan mendekatkan generasi kepada Allah Subhanahu Wata'ala, misalnya kisah para nabi dan rasul, kisah teladan orang-orang yang sholih, tentang Al-Qur'an, tentang kesehatan, tentang motivasi kehidupan, dll yang lebih positif. Negara memiliki kuasa untuk melakukan itu.

Dalam Al-Qur'an Allah menjaga umat manusia dengan berfirman,

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Artinya: Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS. Al- Ahzab: 59)

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا 

Artinya: Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat.  (TQS. An-Nur: 31)

Sifat dari gharizatunnau' ini rangsangannya berasal dari luar diri manusia, seperti melihat yang tidak sepantasnya dilihat hingga terbenak dan terbayang. Selanjutnya bisa ditindak lanjuti dengan perbuatan melakukan pemuasan kebutuhan naluri seksual ini dengan bebas semau-mau seorang manusia itu sendiri, ataukah dengan cara yang diridhoi oleh Allah yaitu melalui pernikahan. Lain halnya dengan seorang mukmin yang belum menikah, tentu ia akan memilih menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan keji (seks bebas). Maka sebaik-baik penjagan diri adalah iman, dan Iman ini bukanlah barang murah yang bisa dimiliki dengan mudah. Menumbuhkannya butuh memfungsikan akal untuk memikirkan dan mengikuti petunjuk Pencipta-Nya, Allah Subhanahu Wata'ala.

Karena di samping Allah memberikan naluri yang memiliki kecenderungan seksual tersebut, Allah juga membekali manusia dengan akal. Di mana akal ini memiliki kemampuan untuk menimbang antara yang baik dan buruk, sedangkan fitrah jiwa manusia itu suci. Dan ia hanya bisa menjaga kesuciannya atau kembali pada kesuciannya setelah ternodai maksiat dengan kembali kepada petunjuk penciptaan-Nya, Allah Subhanahu Wata'ala.

Adapun perbuatan kaum L687, sebagaimana disebutkan di atas, bahwa perbuatan mereka adalah perbuatan zina yang melampaui batas. Bahkan dalam Hukum Islam, pelakunya akan dikenai hukuman mati.

Maka solusi terdekat bagi pelaku seks bebas ini adalah dengan bertaubat. Sedangkan bagi kaum L687, pertaubatan yang dilakukan adalah dengan kembali kepada fitrahnya sebagaimana awalnya, apakah dia laki-laki atau perempuan.

Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dari Anas bin Mālik dan Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhumā- dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-  bersabda sebagaimana yang diriwayatkan dari Tuhannya -'Azza wa Jalla-,

 أنس بن مالك وأبي هريرة رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل قال: «إذا تَقَرَّبَ العبدُ إليَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إليه ذِرَاعًا، وإذا تَقَرَّبَ إليَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وإذا أتاني يمشي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
 
Dia berfirman, "Jika seorang hamba mendekati-Ku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya satu hasta. Jika dia mendekati-Ku satu hasta, niscaya Aku mendekatinya satu depa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan kaki, niscaya Aku mendatanginya dengan berlari kecil."  Hadis sahih - Diriwayatkan oleh Bukhari

Allah sangat menyayangi hamba-Nya. Tidakkah kita malu jika terus-terusan berbuat maksiat pada-Nya?

Solusi yang ke-dua adalah Negara turut andil dalam mengkondisikan umat agar terhindar dari perilaku seks bebas. Antara lain, dalam bidang media penyiaran, pemerintah berkuasa untuk menutup total konten-konten yang mengganggu syahwat, termasuk melarang lolosnya pembuatan film-film drama percintaan yang hanya membuat generasi mellow. Terkuras perhatiannya pada hal-hal yang tidak bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhiratnya.

Dalam bidang pendidikan, pemerintah berkuasa untuk mengesahkan kurikulum pendidikan yang tidak hanya bertujuan menjadikan generasi berprestasi dunia saja, tetapi harus mengutamakan visi sebagai khalifah di muka bumil sebagaimana tujuan Allah menciptakan manusia. Manusia tidak hanya diciptakan untuk memenuhi hajat hidupnya, melainkan seluruh aktivitasnya adalah dalam rangka ibadah. Islam tidak mengajarkan sekulerisme. Setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu Wata'ala kelak di hari kiamat. Maka dalam bidang pendidikan, penguasa berkuasa untuk menolak ide sekulerisme demi menjaga kejernihan akal dan hati generasi.

Dalam bidang kesehatan, seharusnya ada aturan yang ketat terkait pembelian alat kontrasepsi seperti kondom ataupun pil KB. Pembelian alat kontrasepsi ini tidak boleh dibebaskan, harus dipastikan bahwa pembelinya harus orang yang sudah menikah. Tidak boleh hanya demi keuntungan penjualan alat kontrasepsi, sehingga membebaskan siapapun bisa membelinya. 

Dalam bidang hukum, maka hukum perzinahan sepatutnya dikembalikan hukumnya sesuai bagaimana Allah memberikan petunjuk di dalam Al-Qur'an. Sehingga dengan penerapan hukum Islam yang sifatnya tegas, tidak pandang bulu dan tidak bisa ditawar, mampu mencegah (jawazir) manusia dari perbuatan zina, dan hukum Islam ini juga bersifat mampu menggugurkan dosa (jawabir).

Namun sayangnya, solusi tersebut tidak akan terwujud dalam sistem demokrasi seperti saat ini. Ia hanya akan terwujud dalam sistem pemerintahan Islami, yaitu Khilafah. Satu-satunya sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam. Sistem yang mampu mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai hamba Allah Subhanahu Wata'ala, bukan hamba hawa nafsu atau yang lainnya.

Wallahua'lam bishawwab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar