Oleh : Maknathul Aini (Aktivis Dakwah)
Korupsi dana desa sangat banyak terjadi, Bak jamur yang tumbuh dimusim hujan, termasuk dilakukan oleh kepala desa. Sementara di sisi lain, ada wacana revisi UU desa yang menetapkan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun. Sebagaimana dilansir pada Muslimah News, bahwa ketika membahas masalah korupsi seolah-olah sudah seperti gosip artis yang tidak pernah berhenti, ada saja potensi lahan basah korupsi. Tren kenaikan kasus korupsi dana desa juga makin konsisten sejak UU Desa diterapkan pada 2015.
Abdul Halim Iskandar selaku Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia menegaskan bahwa dana desa diperuntukkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia. Oleh karena itu, ia mengeklaim sudah membuat sejumlah sistem sehingga tingkat transparansi penggunaan dana desa sudah yang paling baik dibandingkan semua pendanaan di level pemerintahan, katanya.
Nyatanya, klaim tersebut tampak tertolak mengingat kasus korupsi yang marak menjerat para kepala desa. Dana desa seperti lahan basah korupsi. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2022, kasus korupsi di sektor desa merupakan yang terbanyak ditangani oleh aparat penegak hukum. Sejak UU 6/2014 tentang Desa terbit, ada tren kenaikan yang konsisten perihal kasus korupsi di desa.
Dari 155 kasus korupsi desa pada 2022, terdapat 133 kasus berkaitan dana desa dan 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa. Korupsi dana desa tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp381 miliar. Jika melihat berdasarkan pelaku/aktor, kepala desa menempati posisi ketiga yang paling banyak terjerat kasus korupsi, sedangkan posisi pertama dan kedua adalah pegawai pemerintahan daerah dan swasta. (Katadata, 8-4-2023).
Kasus korupsi di negeri ini terus menggurita serta mengisi celah-celah yang bisa dimasuki untuk menjadi lahan basah korupsi. Dana desa yang sedianya diperuntukkan untuk memajukan dan membangun desa, malah diselewengkan. Pengelolaan dananya bermasalah, tetapi masih berani minta tambah. Alokasi dana terus meningkat, tetapi minim pemanfaatannya.
Sistem Demokrasi Kapitalisme Menjadi Biang Keroknya
Masa jabatan yang panjang akan beresiko terhadap meningkatnya korupsi. Karena seperti yang kita ketahui bahwa fakta karut-marut dana desa akan terus berpolemik selama sistem demokrasi kapitalisme tetap berlaku. Sistem ini memang membuka banyak celah korupsi. Bayangkan saja, aturan dan UU bisa direvisi sesuai kepentingan, minim pengawasan, dan belum ada penindakan hukum yang tegas pada pelaku korupsi. Alhasil, korupsi makin menjadi dari tingkat pusat hingga desa. Sistem demokrasi sendirilah yang membuka angka korupsi makin menganga. Mengapa demikian?
Pertama, pelaksanaan pemilihan kepala desa tidak jauh beda dengan pilkada yang rentan dengan politik uang. Sudah jamak kita ketahui, terpilihnya seseorang dalam pemilihan model demokrasi kebanyakan tidak akan melihat kapasitas dan kapabilitas individunya, melainkan seberapa besar dukungan masyarakat dan citra yang dimunculkan sepanjang kompetisi dan kampanye. Dari sinilah terbuka celah praktik politik uang, yakni “membeli” suara masyarakat dengan pemberian sembako ataupun amplop uang.
Kedua, iming-iming gaji bagi kades terpilih akan memunculkan persaingan sengit antarkomponen tokoh desa. Meski nominal gajinya tidak terlalu besar, tetap saja keinginan mendapat gaji layak sudah menjadi fitrah bagi setiap manusia di tengah impitan ekonomi yang serba sulit saat ini. Alhasil, mereka yang berhasrat menjadi calon kades selanjutnya akan membangun citra yang baik di mata masyarakat desa. Sebagaimana pendahulunya di tingkat pusat, politik pencitraan di tingkat desa akan menjadi habits bawaan pemilu demokrasi.
Ketiga, latar belakang pendidikan yang berbeda akan memunculkan masalah baru. Kades yang tidak memiliki basis pengetahuan dasar perihal pengelolaan dana desa yang jumlahnya miliaran akan kesulitan mengatur dana sebanyak itu. Di sinilah potensi dana desa tidak tepat sasaran akan terjadi. Begitu pula penyalahgunaan dana desa juga riskan terjadi.
Dengan model pemilihan Kades yang mengacu pada sistem demokrasi, tentu membutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit. Cara paling mudah dan tercepat untuk mengembalikan dana kampanye ialah dengan melakukan korupsi. Itulah sebabnya kasus korupsi tidak pernah bisa selesai tuntas.
Mekanisme Jitu dalam Pandangan Islam Global
Islam mengharamkan korupsi oleh siapa saja, Islam sudah memiliki mekanisme jitu untuk mencegah dan memberikan sanksi bagi orang yang melanggar. Islam menetapkan jabatan adalah amanah dan akan diminta pertanggungjawaban kelak di akherat. Dalam pemerintahan islam (Khilafah), setiap penguasa yang berada di bawah komando khalifah akan dipilih secara langsung oleh khalifah, seperti wali (setingkat gubernur), amil (setingkat kab/kota), dan mudir (setingkat desa). Tidak ada pemilihan kepala per desa atau wilayah sebagaimana praktik pemilu demokrasi. Selain untuk efisiensi dan efektivitas waktu, hal itu mencegah terjadinya politik uang, transaksional, dan korupsi.
Terkait kasus korupsi, Islam memiliki tata cara memberantas korupsi dengan tuntas, di antaranya pertama, membangun integritas kepemimpinan di semua level pemerintahan, yaitu ketakwaan pada setiap individu. Dalam sistem Islam, loyalitas kepemimpinan harus bersandar pada ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan asas kepentingan kelompok, golongan, apalagi kerabat/ keluarga. Para pemimpin di tingkat pusat hingga desa menjalankan tugas dan amanah yang diberikan hanya untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya.
Nabi saw. bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin.” (HR Al-Bukhâri, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Amr).
Kedua, memfungsikan Badan Pengawas Keuangan secara optimal. Mengapa kasus korupsi selalu terjadi? Salah satu faktornya ialah minimnya pengawasan dari negara. Dalam sistem Khilafah, terdapat Badan Pengawas/Pemeriksa Keuangan yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat negara. Aturan dan perundang-undangan yang berlaku adalah hukum Islam sehingga tidak ada celah untuk membuat, merancang, atau jual beli hukum karena hukum Islam bersifat mutlak dan baku.
Ketiga, menegakkan sistem sanksi Islam yang mampu memberikan efek jera dan pelajaran bagi mereka yang memiliki niat untuk korupsi atau bertindak kriminal lainnya. Hukumannya tergantung wewenang khalifah, yaitu takzir dengan pemberian sanksi sesuai kadar kejahatannya. Bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.
Dengan penerapan Islam secara kafah, korupsi bisa terselesaikan tanpa banyak drama dan episode yang berlarut-larut. Untuk membabat habis korupsi, haruslah dengan mencabut akar masalahnya, yaitu mengganti sistem demokrasi kapitalisme dengan Islam sebagai solusi satu-satunya dalam menyelesaikan problematik kehidupan yang kian pelik.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar