Oleh : Siti NR
Bupati Lumajang Thoriqul Haq menetapkan masa tanggap darurat selama 14 hari, menyusul terjadinya banjir lahar dingin Gunung Semeru, yang menerjang beberapa desa di wilayahya. Menurut Thoriq, cuaca ekstrem dengan intensitas hujan tinggi selama beberapa hari ini mengakibatkan banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah. Bahkan, terjangan keras material lahar dingin Semeru juga mengakibatkan beberapa jembatan mengalami kerusakan hingga terputus total. Karena itu, menurut Thoriq fokus utama saat ini adalah keselamatan jiwa. Ia pun mengimbau agar warga di tepian sungai untuk mengungsi, sampai kondisi di pastikan aman. (CNN Indonesia)
Indonesia adalah negri yang indah alamnya namun juga rawan bencana. Indeks Resiko Bencana BNPB 2020 menyebut, sebagian besar wilayah Indonesia beresiko tinggi pada bencana alam. Resiko itu ternyata disebabkan oleh beberapa faktor seperti: dilaui oleh sirkum pasifik atau atau cincin api pasifik, wilayah yg dilewati sabuk alpide yg menyebabkan gempa bumi,tsunami, tanah longsor juga erupsi, daerahnya berada di wilayah tropis (garis katulistiwa). Tak hanya itu sebahagian masyarakat Indonesia juga sering membuang sampah di aliran-aliran sungai yang menyebabkan terjadinya banjir.
Tingginya bencana alam di Indonesia tentu berdampak besar bagi kehidupan masyarakat, jutaan orang harus hidup mengungsi, ratusan ribu bangunan rusak. Yg artinya kerugian ekonomi dan sosial tidak terhitung besarnya. Tentu saja fakta-fakta ini menuntut sikap mental tanggap bencana pada diri semua pihak. Khususnya pada penguasa yang menjadi pengurus rakyat.
Namun sayangnya, setiap terjadi bencana pemerintah nyaris selalu gagap. Bahkan pada banyak kasus, pemerintah kalah cepat dengan LSM, ormas, atau masyarakat biasa. Bantuan sering kali datang terlambat. Tak jarang masyarakat yang terdampak bencana menyelesaikan persoalannya secara swadaya, sedangkan pemerintah menolong seadanya dan selalu berkutat dengan kata kekurangan dana.
Kentalnya paradigma pembangunan sekuler kapitalistik membuat para penguasa tidak memiliki sensitifitas dan keinginan serius untuk menyolusi kebencanaan sejak dari akarnya. Rata-rata analisis penyebab dan dampak beberapa bencana selalu menunjuk pada kebijakan penguasa, seperti hutan gundul dan alih fungsi lahan yg dibiarkan begitu saja untuk kepentingan para pengusaha seperti asing dan aseng tanpa memperhatikan keseimbangan alam.
Begitu pula mitigasi bencana, selama ini masyarakata selalu jadi pihak yang disudutkan. Pengetahuan minimlah, tidak mau direlokasilah, tidak bisa diaturlah. Padahal semua menyangkut political will penguasa. Ketersediaan data dan informasi, minimnya pengetahuan masyarakat, ketersediaan teknologi, fasum, dan alat semuanya adalah tanggung jawab pada penguasa. Namun didalam sistem kapitalis semuanya nihil terjadi, penguasa hanya akan menuruti apa yang di inginkan para pemilik modal bukan untuk menjamin kemanan hidup masyarakat.
Berbeda dengan sistem kapitalis, islam menetapkan bahwa fungsi kepemimpinan ialah mengurusi urusan umat (rain) dan menjaga mereka (junnah). Oleh karenanya, penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk menyejaterahkan ummat dan menjauhkan mereka dari semua hal yang membinasakan.
Dalam proses kebencanaan pemimpin islam dituntut untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana. Yang paling mendasar adalah dengan menerapkan aturan dan kebijakan, yang tidak merusak lingkungan memperhatikan tempat-tempat yg rawan bencana dan memastikan wilayah pemukiman yang aman. Hanya khilafah lah yang mampu menjaga dan melindungi masyarakat secara menyeluruh. Wallahu a'lam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar