Rasisme dan Sikap Hipokrit HAM


Oleh: Pudji Arijanti (Aktivis Literasi untuk Peradaban)

Telah terjadi kerusuhan di Prancis. Hal ini disebabkan oleh polisi Prancis yang melakukan penembakan terhadap remaja laki-laki berusia17 tahun keturunan Aljazair bernama Nahel. Semua bermula ketika Nahel melakukan pelanggaran lalu lintas. Kemudian salah satu dari dua orang polisi yang mengejar Nahel memuntahkan pelurunya dari jarak dekat melalui jendela pengemudi. Nahel pun tewas karena tembakan yang menembus lengan kiri dan dadanya (Bisnis.com, 30 Juni 23)

Hingga kini beragam berita bermunculan di berbagai media. Bahkan polisi penembak pun sedang menghadapi penyelidikan yang berlaku dan telah ditahan. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan keprihatinannya atas tragedi ini. Meminta ororitas Prancis menangani "isu rasisme dan diskriminasi yang mendalam" di lembaga penegakan hukum mereka (Republika, 2 Juli 23)

Perlu digarisbawahi penembakan di Perancis atas remaja keturunan Aljazair ini menggambarkan hal yang paradoks bagi pemerintah Perancis sendiri. Perancis menolak pernyataan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) tersebut. Kementerian Luar Negeri Prancis menampik semua tuduhan rasisme atau diskriminasi sistemik oleh polisi Prancis. Menurutnya hal tersebut tidak mendasar, karena petugas kepolisian di Prancis terikat pada pengawasan internal, eksternal, dan yudisial. Sama halnya yang diterapkan di beberapa negara (tvOnenews.com, 1 Juli 23).


HAM Bersifat Destruktif

Peristiwa ini sejatinya memunculkan pertanyaan atas keburukan HAM yang digadang-gadang oleh negara Barat. Praktik HAM di sejumlah negara Barat faktanya bernilai subyektif. Prancis sendiri mengeluarkan peraturan larangan menggunakan jilbab, niqab, dan burqa di sekolah atau di ruang publik. Hal ini menurutnya bertentangan dengan asas laicite di Perancis. Dengan demikian slogan menjunjung tinggi kebebasan nyatanya tidak untuk kulit hitam dan muslim. Seperti halnya bentuk keprihatinan PBB atas tragedi yang menimpa Nahel yang berwajah Arab hanyalah wujud ajaran HAM yang bersifat destruktif. 

Pemikiran sekuler yang melahirkan gagasan HAM sangat berlawanan dengan Islam. Gagasan HAM  melahirkan tindakan rasisme, jelas tidak selaras dengan fitrah manusia. Dalam Islam yang membedakan seseorang menanamkan prinsip manusia terbaik adalah yang paling bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu." (QS, Al-Hujurat: 13)

Seperti halnya Islam memperlakukan Bilal bin Rabbah. Beliau adalah seorang budak berkulit hitam legam. Tetapi menjadi mulia setelah masuk Islam, dan disejajarkan sebagai sahabat Rasul yang mulia dan memiliki kedudukan tinggi di antara para sahabat. Bilal juga Sayyid para Muazzin dan pengumandang azan pertama umat Islam

Ketika Islam menjadi sebuah sistem dan Khilafah adalah institusinya, mewujudkan toleransi sesuai tuntunan Islam adalah hal yang mudah. Karena, kewajiban mengemban toleransi adalah negara. Menghormati agama lain dan mewujudkan toleransi sesuai tuntunan Islam. Perbedaan suku, bangsa, warna kulit, lebih-lebih agama mampu hidup berdampingan. Sesuai dengan firman Allah: "Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku". (QS Al-Kafirun: 6)

Tidak ada perbedaan antara muslim dengan nonmuslim. Warga negara Khilafah memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada paksaan dalam berislam. Tidak ada diskriminasi dan rasisme, sehingga toleransi benar-benar terwujud dalam sistem wahyu ini. Islam bukan sekedar Agama tetapi seperangkat aturan yang diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan seluruh umat manusia di muka bumi. Sedangkan negara merupakan instrumen toleransi, berkewajiban menjaganya agar sejalan dengan pandangan hidup dan akidah umat. Tetapi semua hanya dapat terwujud dalam sistem pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian yakni khilafah ala minhajin nubuwah. Wallahu'alam Bissawab[]




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar