Tawuran Pelajar Marak, Potret Generasi Rusak


Oleh : Hanum Hanindita, S.Si

Negeri ini seolah tiada henti merekam jejak-jejak potret gelap kehidupan generasi mudanya. Tidak bisa dipungkiri, hampir setiap hari terdengar informasi yang memberitakan betapa mengerikannya kehidupan mereka. Kali ini tawuran pelajar yang marak terjadi kembali, bahkan di berbagai daerah.  Mirisnya  terjadi di awal tahun ajaran baru. Berikut ini adalah sejumlah kasus tawuran pelajar yang terjadi belakangan.

Dari daerah Bogor, sebanyak 20 pelajar menangis massal dan bersimpuh di kaki orang tua mereka saat dipertemukan di Polsek Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Para pelajar ini sebelumnya diamankan karena hendak tawuran dengan membawa senjata tajam. Para pelajar ini  rata-rata baru saja masuk di bangku kelas 1 SMA (beritasatu.com, 23/07/23).

Dari daerah Tangerang, Polresta Tangerang mengamankan 69 pelajar yang berencana tawuran pada hari pertama masuk sekolah di Kawasan Balaraja, Kabupaten Tangerang, Banten. Sebanyak 69 pelajar dari 2 sekolah berbeda tersebut menangis di depan orang tua mereka yang dihadirkan di Polresta Tangerang. Para pelajar yang diamankan akan diberi sanksi berupa pembinaan di Polresta Tangerang. (beritasatu.com, 18/07/23). Masih dari Tangerang, seorang pelajar terluka parah usai terkena sabetan senjata tajam dalam aksi tawuran di wilayah Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Kejadian ini beredar di media sosial (tangerangnews.com, 22/07/23).

Berikutnya, aksi tawuran antar pelajar terjadi di Jalan Purworejo-Magelang KM 16, Dusun Simpu, Desa Ketosari, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sebuah video yang memperlihatkan aksi tawuran itu sempat viral di media sosial. Dalam video itu terlihat dua kelompok pelajar saling serang dan kejar-kejaran di jalan raya. Bahkan beberapa dari mereka terlihat membawa senjata tajam (jogja.tribunnews.com, 18/07/23).

Dari wilayah Jakarta, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Metro Penjaringan Kompol Harry Gasgari mengungkapkan bahwa motif tawuran yang dilakukan kelompok pelajar di Jembatan Bandengan, Jakarta Utara bermotif ingin mencari pengakuan atau eksistensi diri di media sosial. Kemungkinan mereka juga membuat konten demi viral. Mereka juga memiliki catatan merah di sekolah masing-masing karena sering membolos, diduga karena bergabung dalam kelompok yang suka berbuat onar. (antaranews.com, 18/07/23)

Tawuran pelajar memang jadi permasalahan klasik yang dari masa ke masa. Mata rantai dendam yang tak pernah putus diajarkan senior ke yuniornya. Naluri untuk berkelompok praktis mencabut rasa takut saat mereka berada dalam kelompoknya. Hingga kini nyatanya tawuran intensitasnya tak mengendur. Kemanakah larinya tujuan mereka sekolah untuk belajar mengejar cita-cita?


Faktor Pemicu Tawuran

Dari pemaparan fakta di atas, faktor pemicu tawuran pelajar disebabkan dua faktor, yaitu internal dan eksternal.  Faktor internal antara lain sebagai berikut:

Pertama, krisis identitas. Saat ini, remaja seperti kehilangan arah dan jati dirinya sebagai hamba Allah. Kehidupan sekular lah yang mengikis identitas tersebut. Remaja menjelma menjadi pribadi yang sekadar mengikuti tren dan budaya yang berseberangan dengan ajaran Islam. Kebanyakan remaja jauh dari agamanya sendiri sehingga cara pandangnya tentang kehidupan sekadar hanya untuk bersenang-senang, bergaya hidup hedonis liberal, dan cenderung menabrak halal-haram demi memuaskan nafsu. Di sisi lain, setiap remaja pasti ingin menunjukkan eksistensi dirinya di tengah masyarakat agar keberadaannya diakui. Eksistensi diri seperti ini jika tidak diarahkan pada pemikiran yang benar jelas akan menghilangkan identitas diri sesungguhnya.

Kedua, lemahnya kontrol diri. Pengaruh sistem sekular sangat berdampak pada keimanan dan ketakwaan para remaja. Sekularisme telah membuat remaja menjadi pelaku maksiat dan kriminal. Jiwa mereka tergerus pemikiran sekular liberal. Batinnya kering dari keimanan dan nilai-nilai Islam. Jadilah mereka generasi yang lemah kontrol dirinya sehingga mudah frustrasi, emosi labil, cenderung meledak-ledak dan bersikap agresif. Saat masalah datang, solusi reaktif dilakukan, seperti tawuran, pengeroyokan, bunuh diri, bahkan pembunuhan.

Adapun faktor eksternal yang menyebabkan remaja terlibat tawuran ialah :

Pertama, pendidikan dari dalam keluarga.  Keluarga adalah tempat pendidikan pertama bagi remaja sejak usia dini hingga dewasa. Baik buruknya pendidikan akan berpengaruh pada kepribadian anak. Minimnya pembekalan pemahaman Islam dari orang tua kepada anaknya menyebakan perilaku buruk mereka di masyarakat. Saat mereka berinteraksi di masyarakat, mereka melanggar hukum syariat.

Kedua, cyrcle pertemanan. Lingkaran pertemanan biasanya muncul dari sekolah dan masyarakat. Teman inilah yang memberi dampak lebih besar terhadap perilaku remaja. Kasus tawuran pelajar biasanya terjadi karena persaingan antarsekolah, pengaruh gengsi, dan tekanan teman sebaya.  Ada anggapan di kalangan pelajar, jika tidak tawuran itu penakut, tidak gaul,  tidak setia kawan, dan sebagainya. Anggapan inilah yang mendorong para pelajar melakukan aksi tawuran berkelompok atau terbentuk geng-geng di sekolah sebagai ajang pamer kekuatan dan bertahan diri agar tidak di-bully.

Ketiga, sistem pendidikan di sekolah. Saat ini sistem pendidikan kita berbasis sekular kapitalisme yang hanya berfokus mencetak pelajar yang pintar secara akademis, mengejar nilai-nilai angka semata tapi minus kepribadiannya. Ukuran sukses tidaknya seorang siswa dinilai dari deretan prestasi nilai saja.  

Keempat, negara tidak berperan sebagai pelindung. Lingkungan baik bagi remaja tidak akan terwujud jika negara tidak mengambil peran utamanya, yaitu sebagai penjaga dan pelindung generasi dari pengaruh budaya dan pemikiran asing yang merusak moral generasi. Di sisi lain, penguasa tampak bimbang dalam menyelesaikan tawuran pelajar. Meski sudah berbuat onar, para pelaku hanya diberikan pembinaan ala kadarnya, lantas dilepaskan kembali. Besar kemungkinan mereka akan kambuh untuk tawuran lagi. Solusi pengangkatan pelajar sebagai duta anti tawuran pun nyatanya tak menjadi solusi berarti. Kejadian tawuran tetap tinggi. Duta anti tawuran pelajar hanyalah sekedar status belaka.

Mekanisme sanksi juga tidak bisa membuat jera para pelaku. Mereka dianggap masih anak-anak karena belum berusia 18 tahun. Akibatnya, hukum tidak bisa berlaku tegas meski mereka berbuat kriminal dengan melukai orang lain, bahkan terjadi secara berulang.

Dari semua paparan yang ada kita bisa menilai bahwa maraknya tawuran pelajar, menceriminkan generasi yang rusak. Perilaku para pelajar yang begitu meresahkan ini sebenarnya berpangkal dari sekularisme yang telah mengakar di dada kaum muslim negeri ini. Sekularisme menjadikan para pemuda kehilangan visi akhirat. Konsep pahala dan dosa tidak melekat dalam benak mereka sehingga tidak menjadi penuntun tingkah laku mereka. Justru yang menuntun perilaku mereka adalah sekularisme liberal. Kebebasan berperilaku merasuk dalam pemikiran, perasaan, dan tingkah laku sehingga mereka merasa boleh berbuat apa saja. 

Dengan kegagalan sistem dalam menyelesaikan masalah tawuran pelajar, peristiwa ini akan terus terjadi. Korban bukan hanya pelaku tawuran, tetapi juga orang-orang yang tidak bersalah, seperti pelajar lain atau pengendara yang sedang melintas. Ini semua cukup menjadi bukti bahwa  sistem kapitalisme tidak layak untuk menyelesaikan persoalan kehidupan kita. Sistem kapitalisme bukan sekadar gagal menyelesaikan masalah, melainkan justru menjadi biang masalah.


Islam Memberikan Solusi Tuntas

Islam telah menjawab segala kebutuhan dalam menyelesaikan masalah tawuran. Solusi yang diberikan adalah sebagai berikut :

Pertama, menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara.  Dengan ini seluruh aturan kehidupan tegak berdasarkan asas keimanan. Ini menjadikan setiap perilaku warga negara, termasuk pemuda, terikat dengan pemahaman Islam. Setiap individu akan paham bahwa Allah menghisab setiap amal perbuatan manusia sehingga tidak ada yang bisa berbuat seenaknya.

Kedua, negara akan membentuk kepribadian warga negara melalui sistem pendidikan. Agama Islam tidak sekadar diajarkan di sekolah, tetapi menjadi spirit dalam pendidikan. Dari sistem pendidikan, lahirlah output berupa para pemuda bervisi akhirat dan sekaligus cakap dalam ilmu pengetahuan.

Hasil dari sistem pendidikan Islam adalah akan lahir pemuda-pemuda gagah yang berani maju ke medan jihad untuk meninggikan panji Islam. Hati mereka terikat keimanan dan ketakwaan, langkah mereka jauh melintasi benua untuk menyebarkan Islam dan meruntuhkan segala kezaliman. Rasulullah saw. bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya, yakni imam yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah,….” (HR Bukhari).

Ketiga, negara berkewajiban melindungi generasi dari serangan ideologi kapitalisme sekular yang merusak kepribadian mereka. Negara juga wajib memfilter tontonan dan tayangan tidak mendidik yang mengajarkan budaya dan nilai liberal.

Keempat, negera menerapkan sistem sanksi yang efektif. Setiap orang yang sudah balig harus bertanggung jawab atas perbuatannya  di hadapan syariat. Jika terbukti melakukan tindakan kriminal, ia harus dihukum sesuai jenis pelanggarannya. Dalam hal melukai dan membunuh orang, akan ada sanksi kisas.

Dengan penerapan sistem Islam, masalah tawuran pelajar akan terselesaikan sampai ke akarnya. Para pemuda pun akan menjadi generasi emas pengisi peradaban yang mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar