Ketangguhan Sport Tourism dalam Menyokong Ekonomi


Oleh : Ni’mah Fadeli (Anggota Aliansi Penulis Rindu islam)

Indonesia memiliki potensi alam yang sangat luar biasa. Sumber daya alam yang melimpah, lautan luas, hutan dengan berbagai macam jenis pepohonan, tanah subur, gunung yang menjulang dengan bukit hijau nan indah adalah karunia besar dari Allah Subhanallahu Wa Ta’ala pada negeri kita. Dengan potensi alam yang luar biasa maka beraneka macam sektor pariwisata sangat dapat dikembangkan di negeri ini. Karenanya saat ini pemerintah sedang gencar mengkolaborasikan kegiatan olahraga outdoor dengan mempromosikan wisata daerah yang disebut dengan sport tourism. 

Dua jenis sport tourism yang saat ini dikenal adalah hard sport tourism yaitu acara perlombaan bersifat regular seperti Asian Games, Sea Games atau World Cup dan soft sport tourism yaitu pariwisata olahraga yang berkaitan dengan gaya hidup seperti bersepeda, berlari dan berselancar. Nilai sport tourism ini diperkirakan dapat mencapai Rp. 18,790 triliun pada 2024 mendatang. Hal ini tentu menjadi catatan yang baik bagi laju pariwisata Indonesia. (tirto.id,11/08/2023).

Sektor pariwisata menjadi penyokong ekonomi yang digencarkan negara sesudah keterpurukan pandemi apalagi sport tourism saat ini memang sedang menjadi tren dunia. Seperti tren lainnya, tentu sport tourism ini tak akan bertahan lama sehingga kurang layak menjadikannya sebagai sumber pemasukan negara. Ketika tren berlalu maka negara harus kembali mencari pengganti atau mengikuti tren baru agar tetap ada pemasukan negara begitu seterusnya. Ini artinya sport tourism jelas tak tangguh jika dijadikan penyokong pundi-pundi pertambahan ekonomi dalam suatu negara.

Pariwisata dalam sistem kapitalis memang dijadikan sebagai kunci pertumbuhan ekonomi dan merupakan andalan sumber devisa bagi negara. Padahal terlibatnya banyak pihak swasta di sektor pariwisata hanya akan menambah pundi-pundi keuntungan besar bagi sebagian pihak. Belum lagi banyak faktor lain yang juga semestinya harus diperhatikan  negara ketika pariwisata semakin digencarkan, seperti budaya luar mudah masuk tanpa terfilter yang dibawa oleh para wisatawan asing juga kerusakan alam yang sangat mungkin timbul dan seterusnya. Sementara banyak potensi ekonomi yang semestinya lebih menghasilkan untuk menambah pemasukan negara namun justru tak dimaksimalkan.

Maka Islam tidak memandang sektor pariwisata sebagai penyokong ekonomi negara. Pariwisata dalam Islam adalah sebagai objek perenungan yang kemudian bisa menambah pelajaran hidup atau tadabbur alam dan menjadi aspek penguat keimanan pada Sang Pencipta. Keindahan alam yang telah Allah ciptakan akan mengingatkan betapa kecilnya manusia dan betapa Maha Besar Allah Subhanallahu Wa Ta’ala. Dalam Islam sisa peradaban umat terdahulu juga menjadi objek pariwisata sehingga dapat dijadikan pembelajaran bagi umat di masa kini dan negara bertugas menjaganya. Pariwisata dalam Islam memiliki arti lebih dari sekedar bersenang-senang dan tentu dijauhkan dari aspek yang dapat membahayakan keselamatan diri.

Islam tidak menjadikan pariwisata sebagai sumber pemasukan karena sektor ekonomi dalam Islam dimaksimalkan dalam pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam dikelola sepenuhnya oleh negara tanpa melibatkan swasta apalagi asing. Dengan sumber daya alam yang melimpah dan pengelolaan yang benar sesuai syariat Islam yang tidak mengenal utang riba maka rakyat akan mendapat kesejahteraan penuh. Pemasukan lain  berasal dari jizyah, kharaj, fai, ghanimah dan sebagainya. Pajak dikenakan hanya pada kondisi negara darurat dan dibebankan pada rakyat yang benar-benar mampu. Pajak dihentikan ketika kondisi ekonomi negara sudah stabil sehingga tidak memberatkan rakyat. 

Setiap pemimpin akan sangat berhati-hati dalam mengambil setiap kebijakan. Langkah yang diambil adalah berdasarkan ketentuan yang telah ada dalam Al-Qur’an atau sunnah. Apapun keputusan yang diambil pemimpin baik dalam sektor ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara atau bahkan pariwisata didasarkan pada halal haram dalam Islam. Bagi pemimpin kesejahteraan rakyat menjadi yang utama, bukan keuntungan materi atau yang lain. Setiap pemimpin takut melakukan kedhaliman karena menyadari akan ada hari dimana setiap keputusan yang  telah diambil akan dipertanggungjawabkan kepada Allah Subhanallahu Wa Ta’ala.

Wallahu a’lam bishawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar