Layanan Untuk Difabel, Kemudahan Atau Ekspoloitasi?


Oleh : Maknathul Aini/Umma Jinan (MomsPreneur dan Aktivis Dakwah)

Konon katanya otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan berupaya mempermudah akses keuangan bagi penyandang disabilitas atau difabel karena penyandang disabilitas juga berkontribusi pada perekonomian nasional, bahkan disebut sebagai pahlawan ekonomi. Sebab mayoritas mereka merupakan bagian dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sebagaimana di sebutkan pada Muslimah News, bahwa Pemerintah kini memberikan kemudahan bagi para difabel dalam mengakses jasa keuangan. Hal ini tidak lepas dari kontribusi mereka bagi perekonomian nasional melalui usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Di ungkapkan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari bahkan menyatakan bahwa para difabel bisa menjadi “pahlawan ekonomi” Nusantara. “Saya melihat sendiri bagaimana saudara-saudara kita yang difabel itu, mereka bisa kemudian menjadi pahlawan-pahlawan ekonomi Nusantara,” ungkap Friderica pada acara Edukasi Keuangan Bagi Penyandang Disabilitas di Aula Serbaguna Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (15-8-2023).

Friderica juga mengajak seluruh pelaku usaha jasa keuangan untuk memberikan kemudahan dan fasilitas bagi penyandang disabilitas. Caranya dengan mempermudah mereka untuk membuka rekening, pembiayaan kredit usaha, dan memperoleh produk asuransi. Langkah OJK ini merupakan bagian dari pelaksanaan strategi nasional keuangan inklusif yang menitikberatkan salah satunya kepada penyandang disabilitas. (CNN Indonesia, 15-8-2023)

Benar bahwa para penyandang disabilitas perlu dilatih kemandirian, namun seharusnya negara membantu secara nyata dan tidak mengeksploitasi atau jangan mereka di eksploitasi dengan dalih pemberdayaan, apalagi membiarkan mereka dalam medan persaingan dengan  pengusaha secara umum. Memang betul bahwa para penyandang disabilitas membutuhkan kemudahan dan fasilitas untuk melakukan aktivitas ekonomi. Mereka memang perlu dilatih kemandiriannya. Apalagi jika mereka adalah para laki-laki yang punya kewajiban menafkahi diri dan keluarganya. Namun, jangan sampai program pemberdayaan ekonomi para difabel ini ujung-ujungnya ternyata eksploitasi ekonomi.

Ironisnya negara seolah-olah melepaskan tanggung jawabnya dan membiarkan mereka menanggung beban sendiri. Padahal seyogyanya negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Tanggung jawab ini tidak boleh diabaikan atau dialihkan. Bagi rakyat yang organ tubuhnya sempurna saja, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasarnya, apalagi bagi rakyat yang disabilitas. Tentu mereka lebih membutuhkan jaminan dari negara.

Negara juga tidak boleh memandang para difabel sebagai beban ekonomi atau beban APBN. Setiap warga negara adalah tanggung jawab negara, seperti apa pun kondisi fisik mereka. Para difabel justru merupakan ladang pahala bagi penguasa untuk mengurusi mereka. Mereka bukan beban, melainkan pihak yang wajib diurusi. Pun negara juga tidak boleh membebani para difabel agar mereka menopang perekonomian nasional. Tidak boleh demikian. Sejatinya kehadiran para difabel dalam UMKM merupakan jalan terakhir usaha mereka mencari nafkah karena tidak banyak penyedia kerja yang menerima karyawan difabel. Akhirnya usaha informal menjadi satu-satunya kesempatan mereka untuk berusaha.

Oleh karenanya, negara tidak boleh menggantungkan perekonomian nasional pada para difabel. Jika negara menggantungkan perekonomian pada difabel, apakah tidak merasa malu? Tentu malu. Orang yang tubuhnya sempurna kok menggantungkan diri pada orang yang organ tubuhnya tidak sempurna. Selain itu, yang seharusnya menjadi sumber ekonomi strategis adalah sumber daya alam, yaitu berbagai tambang migas maupun nonmigas yang kita miliki. Jangan sampai negara menjual murah sumber daya alam pada swasta asing dan lokal, tetapi target pertumbuhan ekonomi lantas dibebankan pada pihak yang lemah yaitu wong cilik (UMKM) dan kalangan tuna (difabel). Ini sungguh ironis.

Selain itu, ketika memberi bantuan kepada para difabel, negara tidak boleh mencukupkan diri dengan memberikan “kail” agar mereka mandiri. Jika memang mereka butuh “ikan” berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal, negara juga harus memberikannya. Justru mereka orang yang sangat berhak mendapatkan bantuan sosial. Anehnya, distribusi bansos selama ini justru salah sasaran, banyak penerimanya yang ternyata orang kaya. Ketika memberikan bantuan pada para difabel, tidak boleh ada kekhawatiran bahwa mereka akan menjadi manja. Sejatinya mereka memang berhak dibantu karena mereka adalah tanggung jawab negara. Memberi bantuan pangan pada difabel tidak akan membuat mereka manja, justru mereka akan terpacu untuk produktif karena ada negara yang peduli padanya.

Justru tidak manusiawi ketika negara hanya memberikan pelatihan dan pinjaman modal, lantas para difabel membuat usaha dan harus bersaing secara bebas dengan korporasi raksasa. Namun, nyatanya kondisi tidak manusiawi ini terjadi di dalam kapitalisme. Para difabel dilatih untuk memproduksi barang-barang yang selanjutnya dia jual, misalnya kerajinan tangan, tetapi dia harus bersaing dengan produk sejenis buatan pabrik atau produk impor yang lebih murah dan pemasarannya lebih masif. Bagaimana mereka bisa bersaing? Ini jelas eksploitasi.

Prinsip Islam sangat menghargai dan menghormati para penyandang disabilitas.
Islam menghargai dan menghormati para penyandang disabilitas, dan bertanggungjawab atas nasib mereka melalui berbagai mekanisme. Islam memerintahkan Negara memenuhi kebutuhan hidup  para penyandang disabilitas dan menjamin kesejahteraannya. Islam juga memosisikan penguasa sebagai pengurus rakyatnya. Penguasa bertanggung jawab terhadap kebutuhan rakyatnya, baik yang fisiknya sempurna maupun difabel. Orang difabel memiliki kedudukan yang sama dengan orang lain.  

Sebagaimana Allah Taala berfirman, “Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orang sakit, dan kalian semua untuk makan bersama dari rumah kalian, rumah bapak kalian atau rumah ibu kalian.” (TQS An-Nur: 61).

Wujud pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap warga difabel adalah sama dengan warga umumnya, yaitu memastikan kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Namun, ada detail ri’ayah (pengurusan) yang harus diperhatikan negara terkait dengan kondisi fisik mereka.
Dalam pembangunan infrastruktur, negara harus memperhatikan kebutuhan kaum difabel. Misalnya dengan penyediaan penanda khusus di jalan pedestrian sehingga orang tunanetra tahu batas tepi jalan dan terhindar dari risiko tertabrak. Masih banyak lagi detail pembangunan infrastruktur ramah difabel yang perlu dipikirkan negara agar para difabel bisa menjalankan aktivitas secara mandiri, termasuk untuk mencari nafkah.

Terkait pemenuhan kebutuhan dasar para difabel, untuk kebutuhan dasar yang sifat pemenuhannya kolektif, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan, negara menyediakannya secara langsung. Islam akan menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis dan berkualitas untuk seluruh rakyat, baik yang fisiknya sempurna maupun yang difabel. Para difabel akan mendapatkan layanan istimewa karena kondisi fisik mereka yang membutuhkan penanganan ekstra. Islam bisa membuat sekolah dan rumah sakit khusus difabel. Negara juga bisa memberi santunan berupa alat bantu untuk kekurangan fisik mereka, misalnya alat bantu dengar, kaki palsu, dll..

Untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang pemenuhannya individual, yaitu sandang, pangan, dan papan, negara juga akan memperhatikan. Jika mereka masih bisa bekerja, negara akan memfasilitasi. Jika mereka tidak bisa bekerja atau tidak wajib bekerja (misal perempuan, anak-anak, dan orang tua) serta masih ada keluarga yang bisa memberi nafkah, negara akan memastikan nafkah tersebut mereka peroleh. Jika tidak ada keluarga yang mampu menafkahi, negaralah yang akan memberikan santunan.

Sebagaimana yang terjadi pada Khilafah di masa lampau sudah mempraktikkan ri’ayah pada difabel ini dengan sangat baik. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, memerintahkan para pejabat Syam agar mendata para tunanetra, pensiunan, orang sakit, dan jompo guna memperoleh tunjangan. Perintah tersebut mereka jalankan dengan baik, bahkan sejumlah tunanetra memiliki pelayan yang menemaninya setiap waktu.  Kebijakan yang sama juga ditempuh oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Sementara itu, di Baghdad, Abu Ja’far al-Manshur mendirikan rumah sakit khusus untuk penyandang cacat. Inilah bukti nyata tindakan Khilafah dalam menyejahterakan para difabel, bukan justru mengeksploitasi mereka. Wallahualam bissawab. [MNews/Gz]




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar