LIBERALISASI SEKTOR PARIWISATA


Oleh : Utik Wara Utami (Aktifis Dakwah Muslimah)

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno optimistis pariwisata menjadi salah satu sektor yang dapat mendongkrak percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kunjungan wisatawan mancanegara pada triwulan I 2023  mencapai 2,5 juta kunjungan atau naik 508,87% dibandingkan periode sama tahun 2022.

Untuk mendukung pemerataan pengembangan pariwisata di luar Bali sebagai upaya meningkatkan kunjungan wisman, pemerintah menetapkan 5 Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) yaitu Borobudur, Likupang, Mandalika, Danau Toba, dan Labuan Bajo. Pembangunan infrastruktur DPSP diprediksi akan tuntas pada triwulan III 2024.

Pengembangan pembangunan sektor pariwisata seakan menjadikan sektor ini mampu menggairahkan pertumbuhan ekonomi. Sayangnya pertumbuhan yang terjadi tidak mampu mensejahterakan negeri dan rakyat. Karena keuntungan sektor pariwisata hanya berlari kepada pemilik modal. Belum lagi masalah alih fungsi lahan, dimana kepemilikan hotel berbintang, property, fasilitas atau kawasan wisata telah beralih dari masyarakat lokal pada pemilik modal. 

Tak bisa dipungkiri, di balik jargon "pariwisata mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi", justru angka kemiskinan bertambah. Di sisi lain, pariwisata memang cara paling efektif untuk menyebarkan pemikiran asing. Kontak antara turis asing dengan penduduk lokal yang tinggal di kawasan wisata, lama-lama menyebabkan terkikisnya pemahaman agama dan akidahnya serta kian ramah terhadap ide liberal. Perubahan gaya hidup, hingga toleran terhadap perilaku wisatawan. Sehingga tak bisa dipungkiri jika prostitusi, seks bebas, narkoba, LGBT terjadi di sejumlah destinasi wisata. Dirjen Imigrasi Kemenhukham menyebutkan hingga September 2017 telah dideportasi 107 orang yang diduga sebagai pedofil dari berbagai bandara di Indonesia.

Inilah sesungguhnya yang didapat oleh rakyat dari kebijakan sektor pariwisata. Bukannya kesejahteraan yang di dapatkan, tetapi berbagai permasalahan membelit kehidupannya, ditambah paparan oleh liberalisasi kapitalisme. Nila-nilai agama pun bercampur baur dengan nilai budaya asing yang bertentangan dengan Islam. Sungguh inilah kebuntungan yang nyata. Sedangkan kesejahteraan yang dijanjikan hanyalah semu belaka.

Dan bukan rahasia lagi, jika hampir semua kekayaan SDA Indonesia sudah berpindah tangan karena privatisasi, baik menjadi milik kapitalis lokal ataupun asing. Yang sejatinya itu adalah sumber pemasukan negara yang sangat vital. Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan butuh sumber dana yang lain. Bank Indonesia menyatakan pemerintah perlu sumber devisa instan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni melalui sektor pariwisata. Dan di era pemerintahan saat ini, sektor pariwisata menjadi sektor unggulan.

Liberalisasi yang menjadi ruh kapitalisme, tentu amat mudah menggiring life style masyarakat dunia memasuki era ekonomi wisata. Paham sekularisme memang meniscayakan dunia menjadi tempat untuk bersenang-senang. Wajar akhirnya semua negara menggarap alam, budaya dan karya manusia sebagai destinasi wisata, begitu juga Indonesia.Alhasil, banyak negara terjebak dalam ilusi bahwa pariwisata bakal mengentaskan persoalan kemiskinan dan pengangguran.

Dari sini sekilas pengarus-utamaan pariwisata mampu menjadi solusi bagi problematika ekonomi yang sedang membelit suatu negri bahkan membelit dunia. Namun jika kita telisik lebih dalam ini adalah bagian dari strategi liberalisasi bidang pariwisata. Hal ini berbanding terbalik dengan pariwisata di dalam pandangan. Tidak ada daulat asing dalam pariwisata, yang terwujud pada dikte-dikte strategis lembaga dunia dan negara besar, ataupun aliran hutang, dan investasi.

Syariat melarang pembiaran asing berkuasa atas kaum mukminin. Konsekuensinya, Islam tidak akan membiarkan celah bagi asing terbuka, sekalipun hanya kerjasama bisnis pariwisata. Islam juga tak bakal membiarkan infiltrasi nilai yang merusak akidah dan akhlak umat. Apalagi, dalam pandangan Islam, pariwisata bukan sumber devisa utama. Negara mengandalkan sumber devisa utama dari pos fai-kharaj, kepemilikan umum dan pos zakat. Lebih dari itu, tujuan utama dipertahankannya pariwisata adalah sebagai sarana dakwah karena manusia biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam dan sebagai sarana di’ayah (propaganda), untuk meyakinkan siapapun tentang bukti-bukti keagungan dan kemuliaan peradaban Islam.

Dari sini, jelaslah bahwa tidak bisa mengharapkan kesejahteraan rakyat terdongkrak di tangan kapitalis liberalis. Hanya Islam lah satu-satunya yang mampu menjamin kesejahteraan juga kemurnian akidah umat.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar