Papua : Sengsara di Atas Tanah Kaya?


Oleh : Nikita Sovia Sp.d

Sebanyak enam orang warga meninggal dunia akibat bencana kekeringan yang melanda Distrik Lambewi dan Distrik Agandugume, Kabupaten Puncak, Papua Tengah, kata Bupati Puncak Willem Wandik dalam keterangan tertulisnya, dilansir dari Kompas kamis, 27 juli 2023.

Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Perlindungan Korban Bencana Alam Kementerian Sosial (Kemensos) Adrianus Alla menyatakan bahwa warga di kedua distrik tersebut mengalami gagal panen akibat kekeringan sebagai dampak El Nino sejak awal Juni 2023. Fenomena hujan es yang terjadi pada awal Juni menyebabkan tanaman warga, yaitu umbi yang merupakan makanan pokok mereka menjadi layu dan busuk. Setelah itu, di daerah tersebut tidak turun hujan sehingga tanaman warga mengalami kekeringan. Willem menegaskan, jika memperhatikan dampak bencana kekeringan yang terus terjadi, kemungkinan bencana akan berkepanjangan. 

Bencana kelaparan Papua itu terjadi di atas tanah yang kaya SDA. Meski perubahan cuaca dan musim boleh disebut sebagai katalisator terjadinya kelaparan, tetapi krisis Papua toh sejatinya sudah terjadi sejak lama.

Sungguh terlalu naif jika cuaca menjadi kambing hitam terjadinya kelaparan di Papua. Beragam faktor yang bisa menjadikan Papua lepas dari krisis nyatanya bersumber dari keserakahan kaum kapitalis di pulau kaya SDA itu.

Demikian halnya keberadaan Freeport sebagai perusahaan tambang emas yang sudah hampir setengah abad berada di Papua, ternyata memang tidak berdampak apa-apa bagi kesejahteraan masyarakat Papua seluruhnya. Freeport bahkan seolah berkepentingan memelihara konflik sosial agar leluasa mengeruk SDA Papua tanpa ada perlawanan dari warga setempat. 

Asal tahu saja, jika hendak kita ungkap kekayaan SDA Papua, secuil di antaranya meliputi emas, minyak, gas bumi, tembaga, serta perak. Sekadar data, Kementerian ESDM mencatat (2020), Papua memiliki tambang emas terbesar di Indonesia dengan luas mencapai 229.893,75 ha atau senilai 52% dari total cadangan bijih emas Indonesia. Papua juga diketahui kaya akan tembaga. Berdasarkan data Freeport (2021), Tambang Grasberg memproduksi 1,34 miliar pon tembaga. Selanjutnya perak, berdasarkan data Kementerian ESDM (2020), Papua memiliki 1.76 juta ton biji perak dan 1.875 juta ton biji untuk cadangan perak.

Sayangnya, melimpahnya SDA Papua itu sudah menjadi target asing. Andai kata ada yang dikelola oleh pemerintah, tampaknya tidak akan jauh dari jejaring oligarki. Tidak pelak, warga pun lagi-lagi hanya bisa gigit jari, bahkan harus laksana tikus yang mati di lumbung padi.

Terjadinya kelaparan padahal tanahnya kaya SDA seperti Papua, jelas bukan sekadar soal perubahan cuaca, apalagi kendala akan sulitnya medan saat penyaluran bantuan. Sebaliknya, justru ada faktor absennya penguasa selama ini untuk berupaya keras mencukupi kebutuhan rakyatnya, termasuk antisipasi terhadap perubahan cuaca maupun potensi bencana alam lainnya. Terlebih problematik Papua juga begitu kompleks sehingga tidak cukup penanggulangan kelaparan sekadar pada penyaluran bantuan makanan.

Ini sungguh berbeda dengan cara pandang Khilafah bahwa kelaparan adalah alarm keras yang semestinya jangan sampai berbunyi, apalagi timbul korban jiwa. Munculnya gejala kelangkaan barang saja sudah membuat Khilafah harus mengoreksi total keberlangsungan distribusi ekonominya agar kelangkaan itu jangan sampai terjadi, alih-alih berlarut-larut sampai terjadi kelaparan. 

Khilafah wajib menjaga keberlangsungan dan keseimbangan distribusi ekonomi serta menjamin agar semua individu rakyat bisa makan dengan porsi cukup tanpa ancaman kelaparan. Allah Taala berfirman, “…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS Al-Hasyr [59]: 7). Wallahualam bissawab. 





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar