Permendikbud Ristek (PPKSP), Bukan Solusi Hilangkan Kekerasan di Lingkungan Sekolah


Oleh : Ummu Umaroin

Bermunculannya berita-berita tentang kasus kekerasan di berbagai sekolah, seperti pemukulan yang dilakukan oleh seorang murid atau wali murid terhadap seorang guru, maupun sebaliknya, dan berbagai pelecehan atau kekerasan seksual terhadap siswi oleh gurunya. Dari akibat meningginya angka kekerasan di lingkungan sekolah. Hasil survei Asesmen Nasional 2022 menunjukkan, 34,51% siswa (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9% (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31% (1 dari 3) berpotensi perundungan. Sehingga Pemerintah mengesahkan Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Permendikbud ini dijadikan sebagai payung hukum untuk seluruh warga sekolah atau satuan pendidikan. Hal itu diungkapkan oleh Mendikbud Ristek Nadiem Makarim saat meluncurkan Permendikbud PPKSP di Jakarta yang disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Kemdikbud RI, Selasa (8/8/2023).

Cukupkah Permendikbud ristek Nomor 46 Tahun 2023 ini menyelesaikan atau menghilangkan tindakan kekerasan seksual di lingkungan sekolah? Regulasi serupa telah banyak diterbitkan, tetapi angka tindak kekerasan di lingkungan sekolah malah makin meninggi. Sebut saja Permendikbud 82/2015 tentang PPKS di Lingkungan Satuan Pendidikan, Permendikbudristek 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi, serta UU TPKS 12/2022 yang menuai kontroversi. Terbaru, ada Permenag 73/2023 tentang PPKS pada Satuan Pendidikan di bawah Kemenag.

Ternyata pada kenyataannya setiap korban melaporkan kasus pelecehan seksual dan kekerasan fisik yang diterimanya, justru tidak segera ditangani bahkan sering diabaikan. Mengapa demikian, karena banyak faktor yang mempengaruhi maraknya tindak kekerasan di lingkungan sekolah, yang jika ditelisik, berpangkal dari penerapan sistem kehidupan yang sekuler dan liberal. 


Sekuler Liberal

Faktor pertama, sistem pendidikan sekuler yang berfokus pada akademik dan cenderung mengabaikan nilai agama. Seseorang akan mampu memahami hakikat kehidupan jika ia telah paham makna penciptaan manusia, yakni sebagai hamba yang memiliki tugas di dunia untuk beribadah kepada Sang Pencipta. Keimanannya akan melahirkan ketakwaan yang totalitas sehingga akan melakukan apa pun yang Allah Swt. perintahkan, sekaligus meninggalkan segala larangan-Nya. Bukankah ini merupakan jaminan utama tercegahnya tindak kekerasan sebab paham bahwa menzalimi orang lain adalah perbuatan yang tercela dan dilarang oleh agama?

Faktor kedua, keluarga. Tidak sedikit pelaku kejahatan berasal dari keluarga broken home ataupun keluarga yang ayah dan/atau ibunya abai terhadap pengasuhan. Kedua orang tua sibuk masing-masing dan sepenuhnya menyerahkan pengasuhan dan pendidikan kepada pihak lain, semisal sekolah. Anak yang haus akan kasih sayang tentu akan menjadi pribadi yang keras dan susah berempati. Ia tidak akan merasa iba pada temannya yang dirundung atau dianiaya.

Faktor ketiga, media, termasuk media sosial. Media menjadi martil makin melejitnya tindak kejahatan di sekolah. Anak-anak dengan mudahnya mengakses pornografi dan adegan kekerasan yang bisa menstimulasi terjadinya kasus kekerasan.  Oleh karena itu, regulasi yang dibuat tanpa merujuk persoalan utamanya, yaitu penerapan sistem kehidupan sekuler liberal, tidak akan membawa perubahan apa-apa. Alih-alih menyelesaikan permasalahan, yang terjadi justru sebaliknya.


Tindak Kejahatan Akan Selesai dalam Islam

Islam sebagai agama yang komprehensif akan sangat mampu menyelesaikan persoalan maraknya tindak kekerasan, termasuk di lingkungan sekolah. Dalam Islam, negara adalah pihak yang bertanggung jawab penuh sehingga bukan sekadar menetapkan regulasi, melainkan juga menjaga keamanan kehidupan bermasyarakat, termasuk di sekolah.

Negara akan memastikan sistem pendidikan berbasis akidah Islam sehingga semua anak didik memiliki fondasi kuat dalam berinteraksi sosial. Agama harus menjadi landasan, bukan malah diabaikan. Dengan memahami agama, mereka akan bisa memahami tujuan hidup di dunia, yaitu untuk beribadah kepada Allah Swt. dan menjadi insan kamil yang bermanfaat untuk sesama. Inilah jaminan utama tercegahnya tindak kejahatan.

Negara juga akan memastikan media (termasuk media sosial) hanya menayangkan dan membincangkan konten kebaikan. Sebaliknya, konten yang menyebabkan kemudaratan, seperti pornografi dan kekerasan, akan diputus sepenuhnya. Produsen dan penyebarnya juga akan mendapat sanksi tegas sebab ia telah dianggap merusak generasi.

Begitu pun keluarga, negara akan menjamin kesejahteraan mereka. Lapangan kerja terbuka lebar bagi para kepala keluarga. Alhasil, ibu akan fokus mengurus rumah, serta menjadi sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Ayah dan ibu yang melandasi kehidupan keluarganya dengan takwa tentu akan melahirkan generasi emas yang siap membangun peradaban manusia.

Pada intinya, Permendikbud Ristek 46/2023 PPKSP tidak akan mampu meredam tindak kejahatan di lingkungan sekolah. Selain tidak menyentuh akar persoalan, sistem sekuler liberal akan terus melahirkan generasi rusak dan merusak. 

Dengan begitu, menjadi sangat penting untuk segera mengembalikan kehidupan Islam yang penuh dengan rahmat-Nya. Bukan hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga seluruh umat manusia akan merasakan kehidupan yang aman dan damai.

Wallahu'alam bishowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar