Salah Tata Kelola; Kelangkaan Ancamannya


Oleh : Tri Silvia (Pemerhati Masyarakat)

Beberapa pekan ke belakang, rakyat dibuat was-was dengan ancaman para peritel untuk tidak lagi membeli dan kemudian menjual minyak goreng di gerai-gerai mereka. Ancaman tersebut tentunya muncul bukan tanpa alasan. Semua itu terjadi akibat hutang pemerintah kepada mereka yang belum dibayarkan.

Tak tanggung-tanggung, hutang yang mereka maksud berjumlah 344 miliar rupiah. Jumlah tersebut adalah jumlah hutang yang diklaim oleh Aprindo (Asosiasi Peritel Indonesia). Adapun menurut klaim Kemendag melalui PT Sucofindo, jumlah hutang pemerintah adalah 474,8 miliar. Dan menjadi bertambah-tambah jika melihat klaim yang diajukan pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) oleh 54 pengusaha minyak goreng, jumlah hutangnya adalah 812 miliar rupiah. (CNBC Indonesia, 18/8/2023)

Bukan hal yang begitu penting untuk mengetahui nominal hutang pemerintah sebenarnya kepada para peritel. Yang paling jelas saat ini bahwa akibat dari hutang pemerintah yang fantastis kepada peritel tersebut, kelangsungan pemenuhan hajat hidup masyarakat pun kembali terancam.

Sebagaimana yang disebutkan di atas, para Peritel mengancam untuk menghentikan pembelian minyak goreng kepada produsen. Artinya, masyarakat akan kesulitan untuk menjangkau minyak-minyak goreng tersebut. Sebab keberadaannya tak lagi bisa tampak di gerai-gerai peritel yang ada.

Bayangkan saja, berdasarkan data dari Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo), ada sekitar 31 peritel yang melakukan protes dan pengancaman. Yang mana diantara 31 peritel tadi, terdapat nama Alfamart, Indomaret, Hypermart, Transmart, dan Superindo. Tempat-tempat yang biasa menjadi serbuan utama para emak untuk berbelanja kebutuhan-kebutuhan pokok bulanan, termasuk minyak goreng di dalamnya.

Menjadi lebih dahsyat lagi ketika Aprindo kembali menyampaikan bahwa secara total, terdapat 45.000 gerai toko yang siap merealisasikan langkah-langkah yang akan diambil para peritel tadi. Menjadi hal yang sangat realistis bukan, jika dengan langkah ini para peritel akan membuat minyak goreng kembali langka di pasaran?

Semua ini berawal dari kebijakan rafaksi minyak goreng (selisih harga beli dan harga jual) yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang kala itu menyebutnya dengan istilah program 'Minyak Satu Harga'. Minyak goreng yang tadinya memiliki harga jual 17-24 ribu satu liter, berubah harga menjadi 14 ribu per liter nya. Kala itu Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Peraturan tersebut kemudian dirubah menjadi Permendag no 6/2022 tentang penetapan harga eceran tertinggi minyak goreng. Yang mana pada pasal 10 Permendag tersebut disebutkan bahwa para pelaku usaha masih dapat menyediakan minyak goreng kemasan sesuai dengan kriteria yang diatur hingga 31 Januari 2022. Inilah kemudian yang menjadi awal dari segala permasalahan. Sebab setelahnya ternyata pihak Kemendag ataupun pemerintah dalam hal ini tidak membayarkan hak yang seharusnya diterima oleh para perusahaan sebagai kompensasi dari kebijakan rafaksi yang ditetapkan. (Kompas.com, 19/8/2023)

Berdasarkan segala informasi diatas, dapat kita simpulkan bahwa ada yang salah dalam tata kelola terkait hal ini. Minyak goreng merupakan salah satu hajat hidup masyarakat, tanpanya akan ada kebutuhan pokok yang tersendat. Oleh karena itu sebenarnya, ketersediaan minyak goreng ditengah-tengah masyarakat wajib diatur dan dijamin oleh pemerintah itu sendiri, tidak boleh diserahkan kepada swasta. Namun faktanya saat ini, justru bertolak belakang. Pemerintah menyerahkan segala urusannya kepada pihak swasta, mencukupkan diri sebagai negosiator dan regulator untuk menetapkan kebijakan dengan perhitungan untung rugi yang amat sangat kentara. Inilah yang tampak dalam kasus di atas.

Di sisi lain, pemerintah tampak tidak memiliki wibawa dan kuasa sama sekali di hadapan para peritel. Dimana mereka seakan lari dari tanggungjawab atas konsekuensi dari kebijakan yang dibuat sendiri. Ini merupakan buntut dari penerapan sistem kapitalisme. Dimana pemerintah akan dengan mudah menyerahkan segala urusan dan tanggungjawab kepada pihak swasta ataupun pemilik modal. Adapun yang lebih berbahaya lagi dari penerapan sistem ini adalah bahwa mereka -dalam hal ini pemerintah- akan meniscayakan pengambilan keuntungan pada pihak pemilik modal tanpa lagi memikirkan nasib rakyat kecil yang senantiasa menjadi objek pesakitan.

Jauh berbeda dengan sistem Islam, dimana pemerintah ataupun negara (Daulah) bertanggungjawab penuh terhadap segala kebutuhan pokok masyarakat. Baik berupa pangan, pakaian, tempat tinggal, pekerjaan, keamanan, pendidikan, dan juga kesehatan. Dan urusan terkait minyak goreng ini menjadi salah satunya. Artinya rakyat dapat mengakses minyak goreng tersebut dengan murah dan mudah, bahkan gratis. Pemerintah bertanggung jawab penuh untuk mengadakan dan mendistribusikan barang tersebut langsung kepada masyarakat. Tidak diwakilkan ataupun menyerahkan kuasa penuh kepada swasta untuk memperjualbelikan barang kebutuhan pokok tersebut.

Pihak swasta sebenarnya boleh saja ikut andil dalam proses penyediaan stok minyak goreng pada kasus ini. Namun dalam posisinya sebagai pekerja, bukan pemilik usaha apalagi pengambil alih kuasa. Artinya, penyediaan barang hingga distribusinya tetap aman berada dibawah pengawasan pemerintah. Dan pihak pemerintah memiliki hak untuk memberhentikan kontrak kerja sesuai dengan akad tijaroh yang telah ditetapkan di awal.

Begitulah jika aturan Islam diterapkan dalam kehidupan nyata berbangsa dan bernegara. Tidak akan ada istilah negara berhutang kepada swasta untuk penyediaan barang kebutuhan pokok masyarakat. Apalagi sampai keluar ancaman akan terjadinya kelangkaan barang tersebut di pasaran. Sungguh terlalu sistem kapitalis saat ini. Semoga Islam segera bangkit kembali. Membawa perubahan untuk seantero negeri. Aamiin.

Wallahu A'lam bis Shawwab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar