Bekas Napi Korupsi Menjadi Bacaleg, Pantaskah?


Oleh : Arini Fatma Rahmayanti

Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 15 mantan terpidana kasus korupsi yang masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif di tingkat DPR, DPRD dan DPD.

Dikutip dari JAKARTA (VOA) — Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana membuktikan bahwa partai politik masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. ICW menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka.

“Jika akhirnya nanti, para mantan terpidana korupsi tersebut lolos dan ditetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) tentu probabilitas masyarakat memilih calon yang bersih dan berintegritas akan semakin kecil,” kata Kurnia menegaskan. Menurut Kurnia, kondisi saat ini berbeda dengan yang terjadi di Pemilu 2019. KPU saat itu, tambahnya, justru sangat progresif karena mengumumkan daftar nama caleg yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi. Artinya, langkah penyelenggara pemilu saat ini merupakan suatu kemunduran dan tidak memiliki komitmen antikorupsi dan semakin menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menegakkan prinsip pelaksanaan pemilu yang terbuka dan akuntabel. Untuk itu, tegas Kurnia, lembaganya mendesak KPU untuk segera mengumumkan nama bacaleg baik tingkat DPRD kota/kabupaten, provinsi, DPR RI dan DPD RI yang berstatus sebagai mantan koruptor.

Selain itu, warganet juga ramai-ramai merespon kabar soal diperbolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Mereka mempertanyakan guna SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian).

Seperti diketahui izin soal narapidana menjadi caleg tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1. Dalam pasal tersebut, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD.

SKCK biasanya digunakan perusahaan untuk mengecek jejak rekam pelamar. Pelamar yang pernah terlibat tindak kriminal biasanya akan ditolak dan tidak diterima di sebuah perusahaan atau tempat kerja. "Inilah alasan mengapa kualitas DPR kita melempem, padahal kalau kita cari kerja saja di syaratkan punya SKCK. Ambyar..." tulis akun @RajagluguRudi.

Fenomena ini menunjukan bahwa kriteria pemimpin pada sistem ini bertumpu pada popularitas dan kekayaan saja, karakter amanah dan berkepribadian islam tidak menjadi perhatian, sehingga mereka yang memiliki akhlak yang baik tanpa dukungan modal tidak dapat mencalonkan diri. Inilah fakta sistem politik demokrasi yang diterapkan di negeri ini, dan merupakan suatu kewajaran yang sering terjadi dalam negara yang menerapkan sistem sekulerisme-demokrasi. Penerapan sistem sekuler yang memisahkan peran agama dari kehidupan ini telah menjadikan sistem politik di negeri ini kering terhadap nilai-nilai agama, sehingga orientasi seseorang dalam menjabat bukan lagi amanah, Allah, dan ibadah melainkan untuk meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya  melalui kedudukan dan kekuasaan mereka.

Selain itu kebolehan ini juga memunculkan kekhawatiran resiko terjadinya korupsi itu kembali, karena tidak menutup kemungkinan mereka bisa saja mengulang perbuatan haram tersebut, apalagi dengan tidak adanya sanksi yang tegas terhadap para pelaku korupsi. Hukuman yang didapat hanya berupa penjara tak heran muncul istilah hukum bisa dibeli. Inilah gambaran sanksi dalam sistem sekuler-demokrasi, hal ini juga membuktikan bahwa sanksi dalam sistem sekuler-demokrasi sangat ramah terhadap pelaku koruptor yang diberikan banyak kesempatan agar para koruptor tetap memiliki kedudukan tinggi 

Fenomena ini sangat jauh berbeda dalam sistem islam  yang hanya menjadikan aturan-aturan Allah sebagai sumber hukum dan standar seorang khalifah mengeluarkan kebijakan. Syariat islam kaffah akan mencegah munculnya individu masyarakat yang gemar melakukan kemaksiatan, islam juga mencetak SDM yang berkualitas melalui sistem pendidikan yang bertujuan mencetak generasi yang berkepribadian islam, sebab mereka akan melanjutkan kepemimpinan islam dan menciptakan peradaban gemilang. Islam memiliki mekanisme tersendiri dalam mencegah hingga mengatasi munculnya kasus korupsi. Mulai dari sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap, perhitungan kekayaan, pengawasan masyarakat, dan sanksi yang tegas. Mekanisme inilah yang akan diterapkan islam dalam mencegah munculnya koruptor. Sanksi yang diterapkan dalam islam sangat tegas sehingga menjerakan pelaku kejahatan dan dapat benar-benar membuat mereka bertobat, sehingga mereka tidak berani melakukan kejahatan yang sama lagi, karena dalam islam sanksi berfungsi sebagai pencegah dan penebus dosa.

Selain itu dalam islam sangat memperhatikan kriteria seseorang yang akan menjadi calon pemimpin, kriteria yang wajib ada dalam diri seorang calon pemimpin dalam islam adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka (bukan budak), adil, dan mampu memiliki kapasitas menjadi seorang pemimpin. Dalam islam seorang yang ditetapkan sebagai kepala negara adalah muslim, karena mereka adalah orang yang beriman dan bertaqwa sehingga mereka akan amanah dalam menjalankan perannya. Ketujuh kriteria ini tentu didasarkan pada dalil al-quran dan as-sunnah. Khalifah yang dipilih atau ditetapkan melalui mekanisme tersebut nantinya akan diberi wewenang menunjuk kepala daerah baik wali/gubernur maupun amil. Serta khalifah yang terpilih dengan tujuh kriteria tadi tentu hanya akan memilih kepala daerah yang amanah, bertaqwa, dan memiliki kemampuan dalam memimpin. Sungguh pemimpin dambaan umat hanya lahir dalam sistem yang mampu melahirkan sosok tersebut yakni khilafah islamiyah.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar