Perisai Kewarasan dalam Rumah Tangga


Oleh: Meilani Sapta Putri

Di zaman sekarang sering kali terjadi kasus KDRT yang berujung maut. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Diantaranya adalah kasus seorang suami di Cikarang secara sadis membunuh istrinya hanya karena meminta uang belanja (Republika.co.id, 13/09/2023). Kemudian kasus suami di Singkawang tega menusuk istri hingga tewas karena tak terima digugat cerai (Kompas.com, 16/09/2023). Termasuk kasus jukir (juru parkir) di Ciamis yang menganiaya istrinya hingga tewas karena cekcok persoalan ekonomi (Kompas.com, 15/09/2023). Ini hanyalah sekelumit persoalan rumah tangga yang muncul ke permukaan. Faktanya kasus yang serupa jauh lebih banyak.

Inilah potret buram kehidupan rumah tangga dalam sistem kapitalis sekulerisme. Kehidupan sekuler pasti akan melahirkan individu yang jauh dari keimanan, lemah dalam menata emosi, cenderung terkena gangguan mental sehingga berperilaku sadis.

Rumah tangga yang seharusnya mampu memberikan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan tidak terwujud dalam kehidupan yang serba bebas ini. Persoalan kehidupan yang begitu berat terpaksa mereka pikul sendiri. Suami istri terkena beban mental karena merasa tak berdaya untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang semakin hari kian melonjak. Mencari pekerjaan yang layak terasa begitu sulit. Pola hubungan suami istri juga jauh dari keshalihan. Gaya hidup konsumtif dan glamour menambah kesengsaraan hidup. Di sisi lain masyarakat yang individualisme dan negara yang lalai dalam pengurusan urusan rakyatpun membuat jengah. Hukuman yang diterapkan kepada pelaku kejahatanpun tidak mampu memberikan efek jera dan memutuskan mata rantainya. 

Ini bukan hanya persoalan keluarga. Namun ini juga terkait dengan kepedulian masyarakat dan negara. Itu artinya ini bukan sekedar persoalan individu, tetapi ini terkait dengan persoalan sistem. Ya, sistem kapitalisme sekuler terbukti tidak mampu menyelesaikan persoalan ini.

Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam sejak awal sangat menjaga aqidah tiap individunya. Negara berperan menciptakan sistem pendidikan yang mampu membentuk kepribadian Muslim yang unik, taat, dan kokoh. Kekuatan ini mampu mengendalikan pemikiran dan perasaan (emosi) untuk bisa menghadapi segala macam kesulitan hidup. Mental sabar, istiqomah, tawakal, memaksimalkan ikhtiar, berpikir positif, dan senantiasa bersyukur menjadikan mereka individu yang kuat lahir batin. Sehingga keimanannya akan menjadi perisai kewarasan dalam menghadapi masalah sehingga tidak terjerumus pada perbuatan maksiat.

Kekuatan perisai ini juga ditopang dengan peran negara yang berkomitmen kuat untuk senantiasa membantu rakyatnya agar dapat menjalani kehidupan yang tenang, aman, damai dan sejahtera. Sebab negara memahami bahwa ini adalah amanah dari Allah SWT yang akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. Sehingga penguasapun tidak akan berani untuk berlaku zholim kepada rakyat. Semua kebutuhan pokok individu rakyat akan diperhatikan dan dipenuhi. Segala hal yang menjadi hak rakyat akan dikembalikan kepada rakyat. Pemberlakuan sanksi tegas akan diterapkan sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sebab sanksi Islam mampu memberikan efek jera dan penghapus dosa. Sehingga akan memutus mata rantai setiap kejahatan dan kemaksiatan.

Masyarakatnya juga memiliki rasa empati yang tinggi dalam menjaga kewarasan setiap individu. Sikap saling peduli ini mampu mencegah setiap perbuatan buruk dan menumbuhkan rasa kasih sayang yang begitu kuat. Sehingga baik individu, keluarga, masyarakat, dan negara senantiasa diliputi atmosfer keimanan yang begitu kuat.

Suasana keimanan dan penerapan aturan Islam secara kaffah inilah yang mampu menjadi perisai kewarasan dalam rumah tangga. Tanpanya persoalan serupa akan terus mencuat dan tak akan pernah selesai. Wallahu a'lam bishowabb.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar