Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Dalam Tabligh Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat, Menteri Agama (Menag) sekaligus juga politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yaqut Cholil Qoumas (Yaqut) mengimbau masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat. Ia juga menyampaikan pentingnya melakukan penelusuran rekam jejak saat menentukan calon pemimpin bangsa. Hal itu bertujuan agar bangsa Indonesia memperoleh pemimpin yang amanah dan dapat mengemban tanggung jawab kemajuan negeri ini.
Menag Yaqut juga meminta masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Menurutnya agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil Islami saja. (republika.co.id, 04/09/2023)
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan agar jangan sampai pernyataan dari Menag justru malah memicu perpecahan di antara masyarakat. Meskipun sah-sah saja dalam menyampaikan pendapatnya namun sebagai pejabat publik Menag Yaqut semestinya tidak membuat pernyataan-pernyataan kontradiktif atau anomali yang bisa memicu pertentangan di masyarakat. Tidak perlu mengeluarkan pernyataan yang justru akan mendapatkan respon yang negatif dari publik.
Sebab pernyataan tersebut justru berpotensi memicu munculnya politik identitas yang saat ini sudah jauh menurun dibandingkan Pilpres 2019 lalu. Para pejabat termasuk para menteri tidak perlu membuat pernyataan yang tidak perlu. Karena masyarakat sudah paham bahwa politik identitas harus ditinggalkan, politik SARA, adu domba juga harus dihilangkan. (republika.co.id, 05/09/2023)
Ungkapan Menag tersebut menyesatkan dan membahayakan kehidupan umat karena agama dituduh sebagai alat politik. Bila dikatakan agama sering kali menjadi alat politik untuk mencapai tujuan tertentu, maka yang terjadi justru sebaliknya. Para politisi itu justru memanfaatkan agama untuk meraih tujuan mereka. Penampilan santun, saleh, dan amanah kerap terlihat saat menjelang pemilu.
Dalam demokrasi, agama adalah ibadah ritual, politik beda urusan. Dan ketika agama dipisahkan dari politik dan pemerintahan, yang berarti menggunakan prinsip sekularisme-demokrasi, maka politik uang akan dianggap sesuatu yang wajar dalam pemilu. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkanpun tidak berpihak kepada rakyat seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, rencana pembangunan IKN, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, rencana pencabutan Pertalite diganti Pertamax Green yang lebih mahal dan seterusnya.
Makna politik Islam jelas berbeda jauh dengan demokrasi. Dalam Islam, politik tidak dapat dipisahkan dari agama karena agama harus menjadi landasan dalam menentukan arah politik.
Dalam Islam, politik dikenal dengan istilah “siyasah”. Secara bahasa, siyasah berarti mengatur, memperbaiki, dan mendidik. Politik dalam Islam diartikan riayah su’unil ummah, yaitu mengatur urusan umat. Segala permasalahan umat dipecahkan sesuai pandangan Islam. Inilah esensi politik Islam.
Agama dan politik merupakan satu kesatuan. Tidak boleh ada pemisahan antara politik dan agama. Beragama harus menyeluruh baik secara individual maupun komunal. Berislam mestinya mengambil seluruh teladan yang diberikan Rasulullah baik dalam hal ibadah ritual maupun muamalah yang mencakup ekonomi, politik, dan sosial. Oleh karena itu, umat Islam harus memiliki kesadaran berpolitik, yaitu peduli dan kritis terhadap setiap kebijakan penguasa yang tidak memihak kepentingan rakyat. Kekuasaan bukanlah tujuan politik Islam. Dalam Islam, kekuasaan hanyalah jalan agar syariat Islam dapat ditegakkan.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar