Oleh : Wina Apriani
Para pelajar saat ini ibarat cermin yang retak mengapa bisa retak yaitu karena terbawa arus sistem kufur. Saat ini baru saja, memasuki tahun ajaran 2023/2024 yang dimulai bulan lalu, tetapi tawuran pelajar sudah marak terjadi.
Salah satunya di kabupaten sumedang seperti yang disampaikan kompas.com. Dua kelompok pelajar terlibat tawuran di depan Hotel Kencana Jaya, Jalan Raya Pangeran Kornel, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (14/8/2023). Akibat tawuran tersebut, seorang pelajar mengalami luka bacok pada tangan bagian lengan atas kiri. Pelajar yang menjadi korban tersebut diketahui Angga Setiawan (AS) (17), pelajar asal SMK PGRI 2, warga Dusun Sukasari, Desa Ciherang, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang.
Seorang Humas RSUD Sumedang Rudianto membenarkan adanya pelajar yang menjadi korban tawuran tersebut. "Iya, kami menerima korban pelajar dengan luka bacok pada tangan bagian kiri atas sekitar pukul 15.30 WIB," ujar Rudi kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Menurut informasi yang dihimpun Kompas.com, kelompok pelajar yang melakukan aksi pembacokan tersebut, konvoi menggunakan sepeda motor dan mengacung-acungkan celurit. Setelah melakukan aksi pembacokan, para pelajar tersebut melarikan diri menuju arah Bandung. Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Sumedang AKP Dedi Juhana membenarkan adanya informasi tersebut. "Betul kami telah menerima informasinya, ada satu korban pelajar yang mengalami luka bacok dan sekarang dalam perawatan di RSUD Sumedang. Saat ini, kami masih melakukan pengembangan kasusnya," ujar Dedi kepada Kompas.com melalui sambungan telepon. Ditanya terkait motif dan kronologi kejadian, Dedi belum memberikan keterangan lebih lanjut. "Masih dalam pengembangan Satreskrim (Satuan Reserse Kriminal) Polres Sumedang," kata Dedi.
Banyak juga di kota lainnya salah satunya di Tangerang. 69 pelajar dari dua sekolah yang berbeda diamankan kepolisian karena akan tawuran. (Berita Satu, 18-7-2023). Tawuran pelajar juga terjadi di Jakarta. Dua kelompok pelajar berseragam SMA melakukan tawuran di Penjaringan, Jakarta Utara. Mereka menggunakan senjata tajam. (Antara, 18-7-2023). Pada hari yang sama, terjadi juga tawuran pelajar SMK di Purworejo, Jawa Tengah hingga viral di media sosial. (Tribun Jogja, 18-7-2023).
Dengan Berbagai peristiwa tawuran tersebut tentu membuat kita miris.sekaligus sedih Para pelajar itu berangkat dari rumah, berpamitan ke orang tuanya untuk sekolah, menuntut ilmu agar menjadi orang yang bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat. Namun, ternyata bukannya belajar dengan rajin dan menyimak penjelasan guru, mereka justru melakukan tawuran.
Tidak habis pikir tingkah mereka sudah seperti gangster di film-film. Dengan senjata tajam, mereka saling serang. Korban pun berjatuhan, bahkan nyawa pun sampai hilang. Mirisnya, budaya tawuran ini seolah diwariskan dari generasi ke generasi. Ada “regenerasi” dari alumni ke siswa baru sehingga tawuran pelajar layaknya rantai yang sulit diputuskan.
Persoalan yang Berpangkal dari Sekularisme
Maraknya tawuran bukan semata karena jiwa muda yang menyala-nyala dalam dada para pemuda. Buktinya, ketika diamankan polisi dan dipertemukan dengan orang tuanya, mereka malah menangis tersedu-sedu seperti anak kecil kepergok berbuat salah. “Kegagahan” mereka seolah ketika bersama kelompoknya langsung sirna ketika masing-masing mereka sedang sendirian.
Walau fisik para pelajar ini tampak dewasa, ternyata jiwanya masih kekanak-kanakan. Mereka ini tidak paham konsekuensi atas perbuatannya. Mereka hanya sekadar ikut-ikutan dan ingin eksis, lantas melakukan hal yang membahayakan nyawanya dan orang lain. Mereka tidak paham bahwa melukai orang lain, apalagi sampai membunuhnya, merupakan perbuatan dosa yang akan ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta'ala.
Apalagi yang tidak habis pikir, mereka juga tidak peduli dengan hidupnya. Para pelaku tawuran tersebut memiliki catatan merah di sekolah, seperti suka membolos dan berbuat onar.
Pola para pelajar ini sungguh menyesakkan dada para orang tua sebenarnya berpangkal dari sekularisme yang telah mengakar di dada kaum muslim negeri ini. Sekularisme menjadikan para pemuda kehilangan visi akhirat. Konsep pahala/dosa tidak melekat dalam benak mereka sehingga tidak menjadi penuntun tingkah laku mereka.
Justru yang menuntun perilaku mereka adalah sekularisme liberal. Slogan “yang penting happy have fun" merasuk dalam pemikiran, perasaan, dan tingkah laku sehingga mereka merasa bebas berbuat apa saja. “Mumpung masih muda,” Mereka lupa bahwa maut bisa datang kapan saja, tidak perlu menunggu tua.
Perilaku para pemuda yang liberal ini merupakan buah penerapan sistem kapitalisme dalam kehidupan masyarakat dan negara. Kapitalisme menjadikan pendidikan di negeri kita berfokus pada pencapaian nilai-nilai akademik di atas kertas, tetapi abai pada pembinaan kepribadian pelajar. Pelajaran agama yang sudah minim makin tidak berbekas ketika disampaikan sekadar sebagai bahan ajar agar bisa menjawab pertanyaan ketika ujian.
Sementara itu, di luar sekolah, konsep kesuksesan makin dijauhkan dari Islam. Definisi “sukses” saat ini adalah meraih materi berupa jutaan rupiah dari ketenaran. Menjadi pembuat konten, pemain game artis youtuber, dll., dianggap lebih menjanjikan kesuksesan daripada tekun belajar di sekolah.
Saat melihat kondisi para pelajar yang gemar tawuran, kita patut bertanya, seperti apa nasib Indonesia ke depannya? Kita patut harus khawatir, pada 2045 para pemuda hari ini tidak menjadi generasi emas, tetapi justru generasi yang membuat cemas.
Selain itu pula disisi lain, penguasa saat ini tampak gamang dalam menyelesaikan tawuran pelajar. Meski sudah berbuat onar, para pelaku hanya diberikan pembinaan ala kadarnya, lantas dilepaskan kembali. Besar kemungkinan mereka akan tawuran lagi.
Sistem hukum juga tidak bisa menjerakan para pelaku. Mereka dianggap masih anak-anak karena belum berusia 18 tahun. Akibatnya, hukum tidak bisa berlaku tegas meski mereka berbuat kriminal dengan melukai orang lain.
Sudah sangat jelas kegagalan sistem dalam menyelesaikan masalah tawuran pelajar, peristiwa ini akan terus terjadi tanpa henti. Yang menjadi korban bukan hanya pelaku tawuran, tetapi juga orang-orang yang tidak bersalah, seperti pelajar lain atau pengendara yang sedang melintas. Tidakkah ini membuat kita berpikir ulang tentang kelayakan sistem kapitalisme untuk menyelesaikan persoalan kehidupan kita? Faktanya, sistem kapitalisme bukan sekadar gagal menyelesaikan masalah, melainkan justru menjadi biang dari masalah.
Solusi nyata hanya satu yaitu kepada kembali kepada sistem Islam, yang dengannya ia memiliki konsep jelas dan tegas dalam menyelesaikan masalah tawuran pelajar. Hal yang paling mendasar adalah menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara sehingga seluruh aturan kehidupan tegak berdasarkan asas keimanan. Ini menjadikan setiap perilaku warga negara, termasuk pemuda, terikat dengan pemahaman Islam. Setiap individu akan paham bahwa Allah Ta'ala akan menghisab setiap amal perbuatan manusia sehingga tidak ada yang bisa berbuat seenaknya.
Pemimpin Islam atau Kholifah akan membentuk kepribadian warga negara melalui sistem pendidikan. Agama Islam tidak sekadar diajarkan di sekolah, tetapi menjadi spirit dalam pendidikan. Dari sistem pendidikan, lahirlah output berupa para pemuda bervisi akhirat dan sekaligus cakap dalam ilmu pengetahuan.
Para pelajar dalam sistem Islam akan mafhum betul tentang hakikat hidup seorang muslim bahwa seorang muslim harus membaktikan hidupnya di jalan Islam, yaitu dengan mewujudkan ketaatan total pada Rabb-nya. Para pemudanya juga akan mafhum tentang visi dakwah dan jihad, yaitu mereka harus menjadi generasi pembebas, tidak hanya generasi emas.
Serta pemudanya juga akan menghabiskan hidupnya di jalan Allah Ta'ala. Mereka akan menjadi ulama, ilmuwan, mujahid, penguasa yang menerapkan syariat kaffah, serta menjadi apa pun yang berkontribusi terhadap kejayaan Islam.
Hasilnya dari sistem pendidikan Islam adalah akan lahir pemuda-pemuda gagah yang berani maju untuk meninggikan panji Islam. Hati mereka terikat keimanan dan ketakwaan, langkah mereka jauh melintasi benua untuk menyebarkan Islam dan meruntuhkan segala kezaliman.
Rasulullah saw. bersabda, “Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya, yakni imam yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah, ….” (HR Bukhari).
Selain sistem pendidikan, Islam juga memiliki sistem sanksi yang efektif. Setiap orang yang sudah balig harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan syariat. Jika terbukti melakukan tindakan kriminal, ia harus dihukum sesuai jenis pelanggarannya. Dalam hal melukai dan membunuh orang, akan ada sanksi qisas.
Dengan penerapan sistem Islam, masalah tawuran pelajar akan tersolusikan dengan nyata. Para pemuda pun akan menjadi generasi pembebas yang mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Wallahualam bish shawaab []
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar