Badai PHK akan Terus Berulang, Selama Sistem Kapitalisme Menjadi Sistem untuk Mengatur Ekonomi


Oleh : Setyowati Ratna Santoso, S.Si (Guru Madrasah di Surabaya)

Badai pemutusan hubungan kerja atau PHK kembali menerpa pekerja industri tekstil. Terbaru ada enam pabrik tekstil yang melakukan PHK dan merumahkan ribuan pekerjanya total pekerja yang terkena PHK dari enam perusahaan tersebut adalah 4.584 pekerja sedangkan 460 pekerja lainnya menunggu nasib saat dirumahkan bahkan diprediksi angka PHK jauh lebih besar karena banyak perusahaan yang tidak melaporkan ke pemerintah saat melakukan PHK atau tutup pabrik. Hal itu disampaikan presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Risadi, menurutnya pemicu gelombang PHK yang masih berlanjut ada beberapa faktor mulai dari tak mampu bertahan di tengah serbuan produk impor hingga anjloknya kinerja ekspor, juga begitu banyak barang-barang TPT atau tekstil dan produk tekstil bekas dari luar negeri di pasar-pasar tradisional atau pasar tumpah yang harganya jauh lebih murah dari harga produksi ikm TPT dalam negeri.

Ristadi mengatakan badai PHK itu merupakan lanjutan setelah tahun lalu masalah yang sama juga menimpa pekerja industri tekstil mengutip data Kementerian Perindustrian atau kemenperin Ia menyebut sepanjang 2022 ada PHK sebanyak 345.000 pekerja di industri TPT nasional kondisi itu masih berlangsung dan ada sekitar 26.540 pekerja yang dirumahkan ke arah PHK ini. Data per Agustus 2023 kata Ristadi, fenomena PHK yang tiada henti di negeri ini sejatinya terjadi karena lepasnya tanggung jawab negara dalam menjamin penyediaan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Negara hanya bertindak sebagai regulator yang menyerahkan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi rakyat kepada pihak swasta padahal sampai kapanpun pihak swasta tidak akan mampu menjamin hal tersebut, sebab pihak swasta hanya berorientasi untung dalam menjalankan bisnisnya.

Jika mereka harus memangkas karyawan untuk menyelamatkan perusahaannya, hal tersebut akan dilakukan alhasil rakyat terus dihantui oleh PHK yang berujung pada ketidakmampuan rakyat memenuhi kebutuhan dasarnya. Apalagi sebagian besar industri dalam sistem kapitalisme dibangun di atas sektor nonriil sebab permodalannya berbasis saham Bursa Efek dan ribawi. Sektor nonriil ini tumbuh dengan pesat bahkan nilai transaksinya bisa mencapai 10 kali lipat dari sektor Ril. Pertumbuhan uang beredar pun akan jauh lebih cepat dari sektor Riil.  Hal ini akan mendorong terjadinya inflasi dan penggelembungan harta dan  aset sehingga menyebabkan turunnya produksi dan investasi di sektor Riil, kebangkrutan perusahaan dan PHK pun tak terhindarkan.

Hal ini diperparah dengan kebijakan perdagangan yang menyebabkan derasnya arus impor berbagai jenis barang di negeri ini termasuk tekstil. Alhasil produk industri dalam negeri harus bersaing dengan produk luar negeri di mana proses impornya semakin dipermudah oleh negara atau bebas hambatan dan  dukungan negara untuk mencipta iklim usaha yang kondusif di negeri ini masih sangat minim, sementara kita semua pahami bahwa pengusaha lokal tidak bermodal besar sebagaimana pengusaha asing sehingga produk yang dihasilkan pengusaha lokal tentu tidak akan mampu bersaing dengan produk impor. Selama sistem ekonomi kapitalisme dijadikan standar dalam mengatur perekonomian negeri ini maka, rapor merah perekonomian akan terus terjadi salah satunya adalah masifnya PHK yang berujung pada tingginya angka pengangguran. Hal ini niscaya dalam penerapan sistem ekonomi kapitalisme krisis ekonomi akan terus terjadi secara berkala dan mengakibatkan rakyat sengsara.

Kondisi seperti ini sangat jauh berbeda dengan kondisi di mana pengaturan  atau pengurusan ekonomi berada di tangan negara Khilafah. Dalam skala makro Khilafah akan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menjaga stabilitas ekonomi, hal itu dilakukan dengan menerapkan undang-undang larangan praktik ribawi. Penerapan moneter emas dan perak dan kebijakan fiskal berbasis syariah dengan stabilnya iklim usaha maka produksi berjalan baik, sehingga berefek pada serapan tenaga kerja yang berjalan masif.  

Dalam Islam laki-laki diharamkan menganggur apalagi bermalas-malasan karena,itulah negara Khilafah Islam menjalankan strategi jitu dengan turun tangan langsung memastikan hal ini. Negara Khilafah juga memiliki proyek-proyek pengelolaan kepemilikan umum antara lain sumber daya alam yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. 

Dalam pandangan ekonomi Islam kepemilikan umum adalah hak rakyat yang haram hukumnya di privatisasi atau dikelola korporasi seperti sumber daya alam, deposit melimpah, negaralah yang bertanggung jawab mengelolanya dan menyalurkan keuntungannya kepada seluruh rakyat, dengan konsep ini negara Khilafah akan memiliki perusahaan dalam jumlah yang banyak dan  dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang besar negara juga akan bertumpu pada industri berat dan strategis sebab strategi seperti ini akan mendorong pertumbuhan industri-industri lainnya seperti industri konsumsi atau logistik.

Adapun industri tekstil yang merupakan kebutuhan sandang masyarakat akan didukung produksinya oleh negara melalui sistem keuangan Baitul malnya, Khilafah akan turun tangan langsung memberi bantuan modal tanpa riba atau bahkan memberikan hibah kepada individu usia produktif yang ingin membuka usaha termasuk di bidang tekstil sehingga individu tersebut memiliki akses ke pergerakan ekonomi. Khilafah tidak akan mudah mengeluarkan kebijakan impor untuk kebutuhan tersebut apalagi jika kebijakan impor justru menjadikan negara Khilafah bergantung pada negara lain, Khilafah juga akan memaksimalkan sektor ekonomi Riil dan melarang sektor ekonomi nonriil seperti perbankan obligasi saham dan sejenisnya sehingga atmosfer bisnis dalam negeri akan sehat dan laju perputaran ekonomi dapat berjalan semestinya. Demikianlah mekanisme Khilafah dalam membangun iklim usaha yang kondusif sehingga mampu meminimalisir pengangguran akibat PHK.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar