Oleh : Arini Fatma Rahmayanti
Dilansir dari POS-KUPANG.COM, disebutkan bahwa hasil asessment kognitif peserta didik baru SMPN 11 Kota Kupang yang dilakukan pada bulan Juni 2023 menemukan sebanyak 21 pelajar tidak bisa membaca, menulis hingga membedakan abjad.
"Kami mendapati masih ada anak yang tidak bisa baca, menulis, masih mengeja bahkan ada yang tidak bisa bedakan abjad," kata Kepala Sekolah SMPN 11 Kota Kupang, Warmansyah, Rabu 9 Agustus 2023.
Penelitian awal itu dilakukan dengan bacaan, lalu pelajar diberi kesempatan untuk memahami bacaan singkat. Hasilnya kecakapan mereka menanggapi bacaan beberapa paragraf tergolong lambat. Seharusnya, pelajar yang memahami mengenai bacaan maupun membedakan abjad sudah diperoleh saat masih di bangku kelas 1 dan 2 sekolah dasar (SD) atau kategori fase A, dalam konsep Merdeka Belajar.
Dari 21 pelajar yang berkategori tidak cakap baca tulis, satu anak nyaris tidak bisa baca dan tulis. Bahkan untuk mengeja abjad, dari A - E. Selebihnya siswa itu tidak bisa lagi. Sementara ada enam pelajar yang lainnya tidak bisa membaca sebuah kalimat utuh. Perlu mengeja dengan pelan agar pelajar itu bisa menyebut sebuah kalimat dengan baik. Sisanya, menurut Warmansyah, juga memiliki kategori beragam seperti membaca harus dengan pelan hingga menanggapi sebuah tulisan yang lambat.
Idealnya, pelajar yang berada di SMP sudah harus memahami dengan mata pelajaran yang diberikan guru. Sebab, dalam ranah ini kemampuan siswa untuk memahami sesuatu sudah cukup mumpuni.
Selain itu juga, beberapa waktu lalu, dunia pendidikan dibuat garuk-garuk kepala dengan kasus siswa SMP belum lancar membaca. Kasus itu terjadi di salah satu SMP di Pangandaran, Jawa Barat. Sebanyak 29 siswa-siswi didapati belum lancar membaca. Artinya, persoalan siswa SMP belum lancar membaca terindikasi juga terjadi di sekolah lain, hanya saja belum/tidak terekspos.
Dari fakta-fakta tersebut dapat dilihat bagaimana buruknya sistem kurikulum pendidikan saat ini. Kurikulum pendidikan saat ini diatur oleh sistem sekulerisme-kapitalisme. sekulerisme itu sendiri adalah paham yang memisahkan peranan agama dari kehidupan sehingga lahir ideologi kapitalisme yang menjadikan materi sebagi tujuan utama dan manfaat menjadi standar dalam berbuat, sehingga wajar kurikulum pendidikan terus berganti, setiap ganti mentri pendidikan maka kurikulum pendidikan juga berganti, pergantian ini di harapkan dapat memperbaiki kualitas pendidikan yang ada, tetapi pada faktanya kurikulum yang terus berganti ini bertujuan untuk menyiapkan generasi sesuai kepentingan para korporasi. Nilai agama sedikit demi sedikit ditinggalkan, materi hanya tertuju pada pencapaian hasil materi seperti nilai, keterampilan, dan sejenisnya sehingga anak-anak yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan kurikulum yang ada akan tertinggal.
Selain itu, kondisi ini semakin parah dengan adanya perbedaan sarana dan prasarana antara sekolah di kota dan di desa. Faktor ini bisa terjadi sebab adanya kapitalisasi dan liberalisasi sistem pendidikan, dengan demikian sistem sekulerisme-kapitalisme gagal mewujudkan jaminan pendidikan berkualitas.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan kondisi sistem pendidikan yang ada dalam sistem islam, dalam islam pendidikan dipandang sebagai kebutuhan dasar publik yang wajib diperoleh tiap individu rakyat, tanpa memandang bulu. Sesuai hadist Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh imam bukhari dan muslim, dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa seseorang dapat menerima atau menolak ilmu diidentikan dengan air hujan. Air hujan adalah kebutuhan dasar bagi umat manusia, jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan menyebabkan kebinasaan. Pengidentikan ilmu sebagaimana air hujan ini menunjukkan bahwa ilmu merupakan kebutuhan mendasar manusia. Inilah konsep dasar pendidikan dalam islam, oleh karenanya pembiayaan dalam sektor pendidikan ini tidak dibebankan pada individu-individu rakyat, tetapi ditanggung oleh negara secara mutlak.
Ada dua sumber dana pendidikan yakni pos kepemilikan umum, dan pos kepemilikan negara, pos kepemilikan umum berasal dari hasil sumber daya alam (SDA) yang di kelola langsung oleh negara, sedangkan pos kepemilikan negara berasal dari fai’, jiziyah, kharaj, usyur, ghanimah, ghulul, dan sejenisnya. Sehingga tidak akan ada kapitalisasi dan liberalisasi dalam sistem pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan akan merata, dan tidak akan ada kesenjangan antara sekolah yang di desa dan yang di kota.
Adapun dari segi tujuan pendidikan sekolah dasar, syekh atha’ bin khalil dalam kitabnya “dasar-dasar pendidikan” menjelaskan bahwa dalam pendidikan harus mencetak generasi yang memiliki kepribadian islam, dan mendidikan generasi untuk siap menjadi calon yang akan mampu menjadi problem solver atas permasalahan kehidupan. Sedangkan untuk metode pembelajarannya, syekh taqiyuddin an-nabhani menjelaskan dalam kitabnya “asy-syakhshiyah al-islamiyah” metode pembelajaran itu dapat kita disimpulkan menjadi 3 perkara yakni : pertama, mempelajari segala sesuatu secara mendalam hingga memahami maknanya dengan pemahaman yang benar. Kedua, meyakininya bahwa apa yang sedang mereka pelajari adalah benar dan kemudian mereka amalkan. Ketiga mempelajari segala sesuatu sebagai pembelajaran yang bersifat praktis, serta sebagai solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi bukan hanya sekedar pembelajaran teoritis belaka. Dengan konsep pendidikan yang seperti ini makan akan terlahir generasi tangguh yang berkepribadian islam, bersemangat dalam mengamalkan dan menyebarkan apa yang mereka pelajari, serta memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menyelesaikan problematika kehidupan.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar