Rempang, Ironi di Negeri Sendiri


Oleh : Ni’mah Fadeli (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Bagaimana rasanya terusir dari kampung asal kita? Tempat dimana diri, orang tua dan nenek moyang kita dilahirkan dan dibesarkan. Kampung yang tetap ingin kita wariskan ke anak cucu kita namun secara tiba-tiba ingin dikuasai pihak tertentu. Maka adalah wajar jika yang kita lakukan adalah tetap bertahan dan berusaha melawan agar apa yang sudah menjadi tempat tinggal kita tetap menjadi milik kita. Itulah yang sedang dilakukan oleh warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Mereka menolak keras jika harus angkat kaki dari tanah yang sudah menjadi tempat tinggal mereka bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. 

Adalah proyek yang dikerjakan oleh PT. Makmur Elok Graha (MEG) di Pulau Rempang untuk pembangunan Eco City yang mengakibatkan bentrok pecah pada 7 dan 11 September 2023 lalu. Proyek tersebut menggunakan sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang. Total luas 16.500 hektare Pulau Rempang akan digunakan untuk proyek seluas 7.572 hektare. Menyikapi aspirasi warga, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa relokasi dibatalkan, warga hanya akan digeser ke wilayah lain yang masih berada di kawasan Pulau Rempang. (cnnindonesia.com,30/09/2023).

Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan meminta semua pihak agar tidak membesar-besarkan apabila ada kesalahan dalam penanganan Rempang. Menurutnya saat ini penanganan Rempang sudah terarah dengan baik meski di awal ada sedikit yang tidak pas. Pemerintah sudah memiliki banyak pengalaman dalam menyelesaikan konflik lahan, seperti di Mandalika maupun di Kertajati, Bandung. (viva.co.id,29/09/2023).

Proyek strategis nasional (PSN) dengan nama Rempang Eco City yang dibangun oleh PT. MEG, anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata yang sedang menjadi perhatian publik saat ini akan mengubah enam belas kampung di dua kelurahan, yaitu Kelurahan Rempang Cate dan Sembulang menjadi kawasan industri, jasa dan pariwisata. Penolakan keras warga menunjukkan tidak adanya pelibatan warga dalam pembangunan yang diklaim sebagai proyek strategis nasional. Dampak yang akan timbul bagi warga yang telah tinggal di Rempang secara turun temurun juga seakan diabaikan oleh pengambil kebijakan. Terlihat jelas jika slogan demokrasi kedaulatan di tangan rakyat tidak dijalankan.

Pengambil kebijakan lebih condong kepada segelintir orang dengan modal besar yang dinilai akan memberi keuntungan. Pulau yang jelas-jelas berpenghuni dengan status penduduk sebagai warga negara namun justru akan dijadikan PSN yang digawangi swasta. Sungguh ironi yang menyesakkan dada. Aparat militerpun dikerahkan untuk menggusur warga dari kampung halamannya sendiri.

Miris, tapi itulah yang terjadi di sistem kapitalis. Segala sesuatu didasarkan materi sehingga semakin banyak modal yang dimiliki maka akan semakin tinggi kuasa yang dimiliki. Negara tak lagi berfungsi sebagai pengayom warganya namun hanya sebagai regulator semata. Apa yang dinginkan pemilik modal maka akan difasilitasi meski harus mengorbankan rakyat sendiri. Berbeda jauh dengan kapitalis, Islam memiliki pola pandang yang jauh dari materi. Islam berpedoman pada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Subhnallahu Wa Ta’ala sehingga hanya ridho-nya yang menjadi tujuan. Semua warga memiliki kedudukan sama dan negara berfungsi untuk mengurusnya. Memberi fasilitas terbaik dalam rangka mensejahterakan rakyat karena seperti itulah yang telah Allah syariatkan. 

Kedaulatan dalam Islam bukan di tangan rakyat namun terletak pada hukum syara’. Setiap kebijakan yang diambil pemimpin berdasarkan syariat yang telah Allah tetapkan, tidak ada kompromi dan tawar menawar. Perbuatan zalim kepada rakyat dengan alasan apapun termasuk pembangunan tentu tidak diperbolehkan. Amr bin Ash, seorang gubernur pada masa Khalifah Umar bin Khattab pernah diberi peringatan keras oleh sang khalifah agar tak menggusur rumah seorang Yahudi untuk pembangunan masjid jika memang orang tersebut keberatan dan tak mengizinkan. 

Prinsip adil dalam Islam nyata adanya, bukan sekadar jargon karena setiap pemimpin menyadari bahwa akan ada hari dimana Allah meminta pertangungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya karena mereka adalah amanah. Mengambil tanah rakyat adalah bentuk kezaliman. Rasulullah Shallalahu Alaihi Wassalam bersabda, ”Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapisan bumi.” (H.R. Muslim). 

Wallahu a’lam bishawwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar