Oleh : Lenny Aprilianty, S.Kep., Ners
Idealnya, keluarga adalah tempat yang paling aman dan nyaman bagi semua anggota keluarganya, khususnya bagi anak-anak. Tapi kenyataannya tidaklah demikian bagi anak yang malang itu. Muhamad Rauf (13), warga Desa Parigimulya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat ditemukan tewas di saluran irigasi atau sungai di Blok Sukatani, Desa Bugis, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Rabu (4/10/2023). Rauf ditemukan di pinggir sungai dalam kondisi berlumuran darah dengan tangan terikat ke belakang. Dari hasil penyelidikan, Rauf dibunuh oleh ibunya sendiri, Nurhani (40) dibantu oleh sang paman S (24) serta kakeknya, W (70). Usai dianiaya, Rauf dibuang oleh ibunya di saluran irigasi dalam kondisi hidup (Kompas.com, 08/10/2023).
Kepada polisi, Nurhani mengatakan anaknya masih bicara walaupun tubuhnya penuh luka setelah dianiaya. Kata terakhir yang diucapkan korban, ialah 'Ma sakit Ma, Ma saya ngantuk Ma, capek Ma'. Namun ucapan Rauf tak digubris ibunya, hingga akhirnya anak yang diboncengnya dibuang di aliran irigasi dan ditemukan tewas oleh warga. Rauf diketahui lebih banyak tinggal di jalanan setelah ayah, Dirno (52) bercerai dengan ibunya, Nurhani (40). Selain tinggal di rumah kakeknya, ia juga kerap tinggal di pos ronda dan tempat umum lainnya. Bahkan Rauf yang seharusnya duduk di bangku sekolah menengah pertama harus putus sekolah. Untuk makan, korban meminta-minta hingga mencuri. Di hari kejadian, korban pulang ke rumah dan masuk melewati atap rumah pada pukul 22.00 WIB. Korban yang selama ini hidup menggelandang sudah lama tak pulang. Saat itu korban dilihat oleh Kakeknya (W) dan sempat menegur. Karena mendapat teguran, korban kemudian memukul kakeknya. Sang kakek yang tak terima, membalas pukulan dengan gergaji dan menyasar kepala korban. Tidak hanya itu, kakek korban lalu berteriak memanggil ibu korban, saat korban hendak kabur melarikan diri. Namun ibu korban segera datang dan melakukan pengadangan. Korban kemudian dibanting ibunya sendiri di atas dipan dan ditindih. Ibu korban lalu menelepon adiknya atau paman korban berinisial S. Saat itu Nurhani meminta S datang karena korban berhasil ditangkap. S kemudian mengikat tubuh korban dan membawanya ke areal dapur. Lalu korban digeletakkan di depan kamar. Setelah itu, ibu korban pergi keluar rumah untuk mendatangi tetangganya dengan tujuan meminjam sepeda motor. Di malam mencekam itu, korban dibonceng di depan dalam keadaan berlumur darah. Sementara ibunya, Nurhani mengemudikan sepeda motor. Dari keterangan Nurhani, saat itu korban masih bisa bicara, walaupun tubuhnya penuh luka. Namun perkataan Rauf tak digubris oleh sang ibu. Sesampainya di Jembatan Cemprong wilayah Kabupaten Subang, Nurhami sempat merenung. "Dia berpikir kalau saya membawa dalam kondisi seperti ini apa tanggapan dari mantan suami. Jadi ada kekhawatiran jadi tersangka," ujar dia. Saat itu, Nurhani akhirnya berpikir untuk membuang korban di aliran irigasi. Ia pun menepi dan menggotong tubuh anaknya yang berlumuran darah (Kompas.com, 08/10/2023).
Sungguh miris, ibu yang seharusnya menjadi orang pertama dalam menjaga dan menyayangi buah hatinya, faktanya begitu tega menghabisi nyawa anak yang telah sembilan bulan dikandung di dalam rahimnya sendiri dan dibesarkan hingga bertahun-tahun. Realita yang memilukan sekaligus memunculkan pertanyaan besar dalam benak kita semua, kenapa Ibu tersebut bisa melakukan hal yang di luar nalar itu?
Rusaknya Fungsi Keluarga
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) keluarga memiliki delapan fungsi, yaitu fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pembinaan lingkungan. Adapun pada kasus di atas, sangat tampak terjadinya kerusakan fungsi keluarga, bukan hanya satu atau dua fungsi, hampir semua fungsi keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya, semua fungsi tersebut jelas tidak berjalan sempurna, kecuali fungsi reproduksi meski setelahnya keluarga tersebut berpisah. Perpisahan ini akhirnya membawa masalah pada aspek lainnya. Fungsi ekonomi tidak berjalan baik, terlihat dari sang anak putus sekolah pada usia 13 tahun, padahal mestinya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Keluarga juga tidak mampu menjadi tempat pendidikan terbaik karena sang anak suka mencuri, bahkan berani memukul orang yang lebih tua (kakeknya). Fungsi perlindungan juga tidak bisa diberikan karena sang ibu termasuk paman dan kakeknya justru melukai bahkan membunuh anaknya sendiri. Selain itu, tidak berjalannya fungsi agama membuat seluruh keluarga jauh dari agama, ini dapat kita lihat dari keseharian anak yang sering mencuri atau sikap ibu, paman dan kakek yang tidak mampu mengontrol emosi dalam menghadapi Rauf, bahkan menyiksa sampai berujung pembunuhan.
Pembunuhan ibu terhadap anaknya bukanlah baru terjadi saat ini, tetapi sudah banyak terjadi di berbagai daerah termasuk di Pulau Seribu Masjid ini, baik janin yang masih dalam kandungan dengan mengaborsi maupun anak yang sudah dilahirkan bahkan yang sudah sekian lama dibesarkan. Para ibu yang secara fitrah memiliki kasih sayang yang tiada tara pada anak-anaknya, seketika berubah menjadi pembunuh anak-anaknya sendiri. Para pembunuh tersebut pastilah bersalah dan berdosa, tetapi sejatinya yang perlu kita ketahui adalah apa yang menjadikan sosok “malaikat” tersebut berubah menjadi “monster” menakutkan bahkan sampai menyebabkan nyawa melayang ?
Buah Pahit Sistem Sekulerisme
Kasus pembunuhan tersebut disoroti sejumlah pihak, salah satunya oleh psikolog. Psikolog dari Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Cimahi Miryam Sigarlaki memaparkan, dari beberapa informasi yang diterimanya, terdapat sejumlah persoalan yang diduga menjadi pemicu tindakan kejahatan tersebut. Miryam menuturkan bahwa menurut berita, anak ini adalah korban perceraian orang tuanya, salah satu yang bisa menyebabkan ibunya seperti ini bisa saja salah satunya dampak dari perceraian, apakah masalah emosional atau lainnya. Kondisi tersebut katanya, bisa saja membuat orang tuanya stres sejak lama dan menjadi pemicu kemarahan terhadap anaknya (Jpnn, 06/10/2023).
Berbagai beban kehidupan hari ini memang terus bertumpuk, termasuk pada diri seorang manusia yang bernama ibu, permasalahan ekonomi, ketidakharmonisan rumah tangga, ketidakpahaman agama dan begitu banyak masalah lainnya menjadi pemicu emosi yang kadang sampai tak terkontrol. Fungsi agama pada keluarga semakin dijauhkan oleh sekulerisme, akibatnya lahir keluarga-keluarga yang tidak menjadikan agama sebagai landasan dalam berumahtangga. Hal ini menjadi konsekuensi logis dari paham sekulerisme, yakni suatu pemahaman yang memisahkan agama dari kehidupan, agama hanya digunakan saat menjalankan ibadah ritual semata, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam interaksi orangtua-anak, hak kewajiban suami-istri, aturan dalam pergaulan masyarakat, sistem ekonomi, sistem pendidikan dan aturan lainnya dalam bermasyarakat dan bernegara tidak menggunakan aturan agama. Inilah sebenarnya yang menjadi sumber permasalahannya.
Islam Kaffah Menjaga Fungsi Keluarga
Sungguh berbeda dengan sekulerisme-kapitalisme yang menghancurkan fungsi keluarga, Islam Kaffah sejatinya akan menjaga dan merawat fungsi-fungsi keluarga agar terus tumbuh dan berkembang sehingga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Islam akan menjadikan agama sebagai landasan bagi setiap anggota keluarga, ketaatan akan menjadi penjaga antara yang satu dan lainnya sehingga terus berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada pasangan dan anak-anaknya, karena semata berharap pahala dari Allah SWT.
Hanya Islam Kaffah yang diterapkan dalam suatu institusi negara sajalah yang akan mampu menjamin terpeliharanya fungsi keluarga. Tidakkah kita rindu memiliki keluarga yang hidup dalam naungan sistem kehidupan Islam, keluarga yang dibangun dengan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Wallahua’lam bi ash-showab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar