Visa Pendidikan, Berharap Pelajar Asing Sekolah di Indonesia Saat Learning Poverty Melanda Pelajar Indonesia


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Mungkin itulah peribahasa yang tepat menggambarkan tujuan pemerintah mengeluarkan visa pendidikan. Dengan dijadikannya pendidikan sebagai lahan industri, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara, memulihkan perekonomian, dan pariwisata. Tapi mungkinkah dapat tercapai, sementara akhir-akhir ini santer diberitakan bahwa anak-anak di Asia Pasifik termasuk Indonesia, tidak memiliki keterampilan pendidikan dasar, meskipun mereka bersekolah? 

Yang namanya menarik minat pelajar asing agar mau belajar di Indonesia, tidak cukup dengan mengeluarkan visa pendidikan dan berbagai bonus kemudahan bagi penggunanya, tetapi juga harus ada peningkatan mutu dan kualitas pendidikan terlebih dahulu. Dunia akan melihat dengan sendirinya negara mana yang layak untuk menimba ilmu. Dan dunia tidak akan mungkin belajar kepada negara yang sudah tersurvei sebagai penyumbang learning poverty. Jikapun tetap ada, bukan pelajar yang datang, melainkan pengajar asing. Dan jika itu terjadi lagi-lagi Indonesia menjadi konsumen, bukan produsen. Atau bahkan bisa jadi penonton karena yang menikmati kembali pihak ketiga, yaitu swasta dalam dan luar negeri. Bukannya menghasilkan uang, malah harus mengeluarkan uang. Itulah akibatnya jika pendidikan dijadikan ajang bisnis. 

Seharusnya pemerintah fokus kepada peningkatan kualitas pendidikan pelajar Indonesia agar tidak terjadi lagi learning poverty di kemudian hari. Sungguh miris memang di saat Indonesia menghadapi bonus demografi, tapi SDM yang ada justru jauh dari harapan. Bak buih di lautan, banyak tapi tidak memiliki kekuatan. Sebanyak apapun SDA bila SDM nya tidak berkualitas, maka dapat dipastikan kehancuran mengancam negeri. Bukankah baik buruknya suatu negeri dapat dilihat dari SDM dan SDA beserta aturan-aturan yang diterapkan di negeri tersebut? Jika SDM nya rendah, maka aturan yang dikeluarkannya pun rendah. Bagaimana bisa menjadi negara maju? Apakah akan selamanya menjadi negara berkembang lalu layu dan mati tanpa sempat berbuah?

Ketidakmampuan SDM seyogianya bukan ada tanpa sebab. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna karena dibekali dengan akal yang mampu memilih yang baik atau buruk untuk dirinya. Pertanyaan selanjutnya baik dan buruk menurut pandangan siapa? Manusiakah atau Pencipta manusia? Tentu diperlukan informasi terlebih dahulu tentang batasan baik dan buruk tersebut agar manusia dapat menggunakan akalnya sesuai fungsi penciptaannya. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah: 30-33, saat awal penciptaan manusia.

Mari kita tengok informasi awal dalam pendidikan saat ini. Apakah yang membuat dan mengatur kurikulum sudah terbukti kecerdasannya? Apakah kurikulumnya mencerdaskan? Apakah fasilitasnya memadai?

Yang menjadi rujukan kurikulum bukanlah dari Yang Menciptakan manusia, melainkan dari manusia itu sendiri, walhasil tanpa bekal informasi yang benar sebelumnya, maka informasi yang dihasilkan juga tidak benar. Apalagi kurikulum pendidikan saat ini hanya membebek kurikulum barat yang rusak berpoles kebebasan. Tengoklah hasil pendidikan di sana, lulusannya memang pintar dari segi akademik dan keterampilan tapi minim dari segi moral. 

Pergantian kurikulum juga kerap dilakukan dengan alasan demi perbaikan, menjadikan pengajar dan pelajar kebingungan. Jangankan memikirkan moral, memikirkan implementasi kurikulum baru saja belum terselesaikan. 

Kurikulum dibuat dan diatur sedemikian rupa hanya untuk memenuhi pangsa pasar, sehingga lulusan yang dihasilkan bukanlah pemimpin peradaban, melainkan budak keserakahan pengusaha dan pemilik modal. Yang dikejar hanya materi, bagaimana caranya agar bisa mendapatkan pekerjaan agar menghasilkan pundi-pundi uang meski itu hanya hayalan. Karena budak tidak akan mengalahkan kekayaan tuannya. Hanya remah-remah saja yang didapat. Kalau pun banyak, produk-produk yang dihasilkan para pemilik modal siap melahapnya hanya dengan menebar benih hedonisme. Walhasil uang kembali ke kantong mereka.

Dari segi fasilitas jelas terlihat kontras antara sekolah negeri atau inpres dengan swasta. Di sekolah negeripun terjadi ketimpangan antara sekolah negeri yang berada di kota dan di pelosok desa. Dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) diukur sesuai jumlah siswa, bukan kebutuhan sekolah. Sedangkan ketika ada kegiatan,  biaya yang diminta sesuai lembaga/sekolah. Maka jelas dana yang seharusnya diperuntukan bagi kelancaran pembelajaran, habis untuk biaya operasional.

Semakin ke sini, aturan dalam pengadministrasian semakin ribet, menyita waktu guru dalam mengajar. Bagaimana mau fokus? Belum lagi gaji tidak memadai, memaksa para guru, apalagi guru honorer mencari penghasilan tambahan. Kondisi guru ASN tidak kalah memprihatinkan, SK mereka terpaksa "disekolahkan" sebagai jaminan pinjaman ke bank, walhasil gaji yang diterima hanya kembalian. Makanya tidak heran banyak yang terjerat pinjol. 

Pelajar sendiri dengan berbagai penambahan jam dan mata pelajaran, bukannya menambah semangat malah semakin kelelahan. Padahal tidak semua mata pelajaran yang diajarkan, akan terpakai di kehidupan nyata sehari-hari. Apalagi kemasan dan cara pembelajaran kalah dengan keseruan game online. Tontonan yang tidak menjadi tuntunan berseliweran, menambah kemalasan. Negara yang diharapkan mampu menyortir tontonan, malah memberikan dukungan, dengan menjadikan salah satu game online ke dalam jenis olahraga dan dipertandingkan di sekolah.

Jelas nyata kesalahan bukan terletak hanya pada individu atau daerah tertentu saja, tetapi kesalahan ini sudah sistemik, maka diperlukan solusi sistemik pula. Bukan hanya dengan mengadakan training atau pembekalan pada guru, toh sebagian besar hanya sebatas teori tapi minim praktek sehingga ilmu yang didapat tidak bermanfaat. 

Satu-satunya solusi adalah dengan mengganti sistem rusak saat ini dengan sistem yang telah terbukti keunggulannya, yaitu sistem Islam. Dengan penerapan sistem Islam, maka sistem pendidikan pun memakai sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam telah terbukti mampu melahirkan generasi pemimpin peradaban dimana akidah dijadikan landasan utamanya sehingga baik pelajar dan pengajar menjalankan pembelajaran dengan penuh keseriusan dan kesungguhan bahwa hal ini adalah bagian dari bentuk peribadatan sebagai kewajiban yang telah dibebankan Allah demi meraih ridha-Nya. 

Sistem Islam juga mengatur perekonomian dan pemerintahan dengan keadilan berdasarkan hukum syara. Tidak ada yang terdzolimi maupun yang mendzolimi. Adanya sinergi antara individu, masyarakat, dan negara dalam satu visi dan misi menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Tidakkah kita menginginkannya?

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar