Wajah Kelam Anak Indonesia


Oleh : Masrina Sitanggang, S.Pd (Tenaga Pendidik)

Anak adalah permata hati orang tua, karena dengan keberadaannya sebagai pelanjut generasi dan pewaris amal untuk mereka. Namun tidak dengan fakta yang kita dapati hari ini. Sebagian orang tua bukan lagi menganggap anak sebagai anugrah, melainkan dianggap sebagai beban. Sehingga kehadirannya bukan lagi di tunggu, tapi di hindari. Namun ketika hal itu sudah terlanjur, orang tua memilih menitipkan anaknya kepada panti asuhan. Naasnya alih-alih dijaga, ternyata keberadaannya justru di ekploitasi oleh pihak yayasan untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk dirinya, sebagaimana yang terjadi di Medan. Ketua Forum Panti Kota Medan Besri Ritonga mengatakan sebanyak 41 anak menjadi korban eksploitasi oleh pengelola dua panti asuhan di Kota Medan. 

Besri menjelaskan untuk kasus di Panti Asuhan Yayasan Tunas Kasih Olayama Raya yang beralamat di Jalan Pelita didapati ada 26 anak. Sedangkan di Panti Asuhan Karya Putra Tunggal Anak Indonesia yang terletak di Jalan Rinte ditemukan ada 15 anak.

"Total korban eksploitasi dari dua panti itu 41 anak. Kemarin kami turut ikut ke panti di Jalan Rinte. Nah, panti ini melakukan eksploitasi dengan cara serupa dengan panti di Jalan Pelita, yakni melalui media sosial," kata Besri kepada detikSumut, Sabtu (23/9/2023). Kasus semacam ini layaknya puncak gunung es, yakni yang terekspos masih sebagian kecil saja, sementara kasus yang terjadi jauh lebih banyak yang tersembunyi. 

Apabila kita telisik lagi, keberadaan panti asuhan ini menunjukkan adanya sesuatu yang tidak beres dalam sistem kehidupan yang kini sedang kita jalani. Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu hadirnya lembaga sosial ini, diantaranya : 

1. Ketahanan keluarga yang rapuh
Banyaknya anak-anak yang terlantar dijalanan, disebabkan ketahanan keluarga  yang tidak kuat, pondasinya begitu rapuh karena pemahaman yang jauh dari Islam, pernikahan yang tidak dilandasi dengan ilmu, juga tidak belajar agama. ditambah dengan perekonomian yang sulit, tidak sedikit yang akhirnya menjadi anak broken home sehingga anak diserahkan pengasuhannya kepada pihak panti, dengan harapan disana ia akan tercukupi hidupnya. 

2. Hilangnya nasab
Selain karena persoalan ekonomi, tidak sedikit juga orang menitipkan anak ke panti asuhan dikarenakan kelahirannya yang tidak diharapkan. Bukan karena kurang ekonomi, melainkan anak lahir dari hasil hubungan yang tidak halal. Ketika anak di serahkan ke panti asuhan, maka dengan otomatis anak akan tumbuh tanpa sosok keluarga, tidak lagi tau nasabnya sehingga hilang pula atasnya perlindungan dan penanggung jawab dari pihak keluarga. Ayah tidak lagi memerankan tugasnya untuk melindungi, mendidik dan menafkahi sang anak.

3. Hilangnya peran negara
Seluruh rakyat yang menjadi warga negara dalam suatu negara,  sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk menjaga dan menjamin kehidupannya agar berjalan sebagaimana mestinya. Namun kita lihat saat ini, di negeri yang katanya Jamrud khatulistiwa. Banyak rakyat yang hidup jauh dari kata aman dan tentram. Dengan bermodalkan empati dan panggilan hati nurani,  banyak orang yang akhirnya berinisiatif untuk mendirikan lembaga sosial untuk membantu sesama seperti hal nya panti asuhan, karena tidak tampaknya kepedulian negara atas orang-orang terlantar. Panti asuhan akhirnya mengambil alih tugas negara untuk menjaga mereka. Yayasan panti asuhan yang murni untuk menolong sesama sangat banyak jumlahnya, namun disamping itu, banyak juga  timbul panti asuhan yang keberadaannya justru dijadikan sebagai ladang untuk meraup pundi-pundi rupiah memenuhi kantong pengurusnya. Ketika pengasuhan anak terlantar di serahkan pada pihak swasta, apakah negara tetap memperhatikan keamanannya? Kita bisa menemukan jawabannya dengan melihat realita hari ini.

4.  Bukti dari sistem kehidupan sekuler
Anak yang ditelantarkan oleh orang tua, kemudian diasuh oleh yayasan dengan lemahnya penjagaan keamanan negara, sehingga dimanfaatkan oleh panti asuhan "nakal" ibarat peribahasa 'sudah jatuh, ditimpa tangga pula' lantas dimana harus rakyat menemukan keamanan? Siapa yang bertanggung jawab atas keadaan mereka?

Semua keadaan ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Melainkan semua sudah terstruktur. Dimulai dari keluarga yang tidak memahami konsep hidup yang benar. Menganggap anak "beban" padahal Islam sendiri sudah menjelaskan terkait rezeki, bahwa setiap anak membawa rezekinya masing-masing. Dengan minimnya ilmu, seorang ayah tidak lagi memperhatikan kewajibannya sebagai pelindung dan pencari nafkah untuk setiap anggota keluarganya. Dengan minimnya ilmu pula, seorang ibu tidak memahami bahwa anak adalah amanah yang wajib ia didik dan dijaga, sehingga keberadaannya akan menjadi anugerah, selama hidupnya anak taat, berbakti, dan menentramkan hati, setelah ketiadaan orang tua, ia akan menjadi lahan amal jariyah yang tiada putusnya.

Demikian juga negara, ia memiliki berbagai mekanisme perlindungan anak , termasuk dengan jaminan kesejahteraan, pendidikan, pembentukan kepribadian Islam, dan pemberian sanksi yang menjerakan bagi pelaku kejahatan, sehingga perannya sangat dibutuhkan untuk menjamin kehidupan setiap warga negara yang ada dibawah naungannya. Keberadaan pemimpin dalam Islam, tidak lain adalah untuk menjadi pelayan bagi rakyatnya, ia akan menjadi perisai terdepan dalam membela dan melindungi hak rakyat, menjalankan setiap aturan berdasarkan perintah dari sang Pencipta Alam semesta, bertindak karena keimanan yang memerintahnya. Sehingga tercipta negeri yang makmur sebagaimana yang pernah terjadi pada saat kepemimpinan kalifah Umar Bin Abdul Aziz dimasa lampau. Tapi hal seperti ini hanya akan terjadi jka Islam yang dijadikan dasar bernegara.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar