Oleh : Ni’mah Fadeli (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Demikian bunyi pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberi makna pasal tersebut (dilansir dalam kompas.com, 5/7/2021) bahwa negara menguasai bumi dan air serta kekayaan yang ada di dalamnya. Penguasaan oleh negara memiliki arti bahwa perekonomian tidak hanya dikuasai oleh individu atau kelompok melainkan harus digunakan untuk kepentingan masyarakat luas demi kemakmuran rakyat. Maka menjadi hal penting bahwa segala yang menyangkut umum dikuasai negara.
Fakta yang terjadi nyatanya berbeda dengan pasal di atas. Kekayaan alam negara saat ini justru banyak yang dikuasai individu atau kelompok tertentu. Bukan hanya swasta dalam negeri tapi juga asing ikut menguasai kekayaan alam negara selama berpuluh-puluh tahun. Sebagai contoh adanya PT. Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan tambang terkemuka di dunia yang berasal dari Amerika Serikat ini telah mengantongi izin beroperasi di Indonesia sejak 1967 untuk melakukan eksplorasi, pertambangan, pemrosesan dan pemasaran konsentrat tembaga, emas dan perak di dataran tinggi Tembagapura, Mimika, Papua Tengah (sumber: Wikipedia).
Saat ini PTFI siap membangun smelter baru di Papua sebagai komitmen perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) selepas tahun 2041. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberi sinyal akan memperpanjang kontrak PTFI hingga 20 tahun mendatang. Hal ini juga dipastikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bahwa rencana perpanjangan kontrak tersebut diberikan karena mempertimbangkan masih banyaknya cadangan mineral di tambang Grasberg, Papua yang belum tereksploitasi. (Bisnis.com,19/11/2023).
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman mengatakan bahwa Presiden Jokowi bisa berpotensi melanggar UU Mineral dan Batubara (Minerba) jika terlalu cepat meneken perpanjangan kontrak dengan PTFI. Berdasarkan perspektif UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba serta PP No. 8 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Minerba yang mengatur perpanjangan IUPK Freeport maka PTFI paling cepat dapat mengajukan perpanjangan kontrak pada 5 tahun sebelum kontrak berakhir pada 2041 atau selambat-lambatnya dua tahun sebelum kontrak berakhir. Yusri juga mengingatkan agar tak mudah percaya pada janji PTFI karena selama ini selalu berkelit ketika ditagih kewajiban membangun smelter yang merupakan aturan dari UU Minerba. (inilah.com,22/11/2023).
Mengapa negara tak cukup percaya diri untuk mengelola sendiri kekayaan alam?
Jika memang cadangan mineral masih sedemikian banyak mestinya negara mengelola kekayaan alam yang ada untuk digunakan bagi kesejahteraan rakyat seperti yang telah diatur dalam UUD bukan justru memperpanjang kontrak dengan asing. Rakyat Papua sangatlah jauh dari sejahtera bahkan banyak yang mati karena kelaparan. Lantas dimana letak kesejahteraan untuk rakyat tersebut? Belum lagi dampak lingkungan yang ditimbulkan karena eksplorasi alam secara besar-besaran. Jangankan sejahtera hidup layak pun masih menjadi mimpi bagi penduduk Papua. Hal ini juga terjadi di belahan negeri lain yang memiliki kekayaan alam melimpah namun tak pernah menikmati hasilnya karena banyaknya perusahaan asing yang dibiarkan menguasainya. Selain PTFI, ada Chevron Pacific Indonesia dan ExxonMobil yang juga berasal dari Amerika Serikat, belum lagi negara- negara lain yang ikut mengeksplorasi kekayaan alam dalam negeri.
Selama 76 tahun merdeka semestinya cukup sekali waktu dalam mempersiapkan sumber daya manusia dan teknologi untuk mengelolanya. Modal kekayaan alam sedemikian melimpah, jika diolah sendiri tentu akan sejalan dengan aturan yang telah dibuat negara di awal masa kemerdekaan yaitu untuk kesejahteraan rakyat. Kenyataannya hingga sekarang negeri ini memang merdeka tapi masih terjajah.
Namun begitulah jika yang digunakan untuk mengelola negara adalah sistem kapitalisme. Sistem ini memang bertujuan mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan untuk mereka yang memiliki modal. Setiap individu atau kelompok boleh menguasai apapun itu selama mampu membayar. Aturan yang ada sangat mudah diabaikan dan diubah sesuai kepentingan. Penguasa dan rakyat dengan modal besar berorientasi untuk mendapat keuntungan dan melanggengkan kedudukan. Sementara rakyat kecil semakin terpinggirkan.
Islam dan Kekayaan Alam
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Islam sebagai sistem lengkap memiliki aturan jelas dalam segala hal, termasuk aspek ekonomi. Islam menetapkan bahwa pengelolaan barang tambang atau kekayaan alam ada pada negara maka pihak swasta apalagi asing tidak diperbolehkan mengelolanya. Jika dilakukan maka ini sama artinya dengan merampas hak rakyat. Pemimpin negara pun paham akan Islam sehingga akan melakukan amanah dengan maksimal. Aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya akan dilaksanakan sepenuh hati. Pemimpin dalam Islam paham bahwa tanggung jawab bukan hanya kepada rakyat yang dipimpinnya namun kelak di hadapan Allah Subhanallahu Wa Ta’ala. Pemimpin dalam Islam akan sangat berhati-hati mengambil keputusan demi kesejahteraan rakyat dan hanya berpedoman pada hukum syara'.
Islam menjadikan negara benar-benar merdeka karena tak tergantung pada asing. Segala kebijakan yang diambil ditujukan untuk kesejahteraan rakyat karena negara mempunyai tanggung jawab untuk mengurus semua rakyat, baik yang di kota maupun pedalaman, baik yang kaya maupun miskin. Fokus negara bukan pada keuntungan materi namun meraih ridha-Nya. Dengan Islam kesejahteraan rakyat yang sebenarnya akan diraih karena hanya Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar