Oleh: Purnama (Aktifis Remaja)
"Tanda kelemahan adalah bersikap jahat, dan pecundang adalah si lemah itu!"
Jika benar demikian kutipan tersebut, maka miris melihat tindak kejahatan yang terjadi akhir- akhir ini. Bukan kejahatannya yang kecil, tapi pelakunya yang masih belia yang terhitung remaja dan pemuda. Kita akan bertanya saat mendapat kabar media tentang pernyataan Mendikbudtristek mengenai hasil Asesmen Nasional pada 2022, terdapat 36,31 persen atau satu dari tiga peserta didik (siswa) di Indonesia berpotensi mengalami bullying atau perundungan, dimana letak kekuatan anak muda negeri ini?
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan bertajuk Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia 2022, mayoritas siswa yang mengalami perundungan di Indonesia adalah laki-laki. Laporan itu mencatat, siswa laki-laki yang dominan menjadi korban kasus perundungan tersebut pada kategori kelas 5 SD, kelas 8 SMP, dan kelas 11 SMA/SMK dalam setahun terakhir pada 2021.
Perinciannya, persentase kasus perundungan pada kategori kelas 5 SD, untuk siswa laki-laki sebanyak 31,6%, perempuan 21,64%, dan secara nasional 26,8%. Selanjutnya, persentase kasus perundungan kategori siswa kelas 8 SMP pada siswa laki-laki mencapai 32,22% atau tertinggi di antara kategori kelas maupun gender lainnya, siswa perempuan 19,97%, dan secara nasional 26,32%. Kemudian, persentase kasus perundungan kategori siswa kelas 11 SMA/SMK pada siswa laki-laki sebanyak 19,68%, perempuan 11,26%, dan secara nasional 15,54%.Begitu pecundangnya anak muda ini membunuh lilin orang lain untuk menjadikan dirinya terlihat lebih bersinar. Pemuda yang seharusnya menjadi tonggak perubahan negeri ini menuju lebih baik malah menjadi ranjau peradaban generasi emas 45 yang di rencanakan.
Bagaimana tidak cita- cita generasi emas 45 itu menjadi tabu, meninjau kabar dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan bahwa kasus bullying atau perundungan ini bagaikan gunung es sebagaimana pernyataan Diyah Puspitarini (Komisaris KPAI) “Terlihatnya sedikit dan hanya ada di sekitar Pulau Jawa, tapi kalau kita melihat fenomena itu juga jauh banyak, mungkin juga terjadi di daerah-daerah luar pulau. Di daerah-daerah 3T bahkan, dan alat kontrol kita, alat pengawasan kita pun juga terbatas,” (tirto.id).
Apa gerangan yang membuat kelemahan ini?
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyatakan, ada tiga faktor yang menyebabkan seorang anak melakukan kekerasan yakni faktor internal, eksternal, dan situasional. Faktor Internal berasal dari dalam diri anak itu sendiri dan lingkungan keluarga atau pengasuhan yang diterima anak dari lingkup terintim.
Faktor eksternal, berasal dari luar rumah, seperti lingkungan sekolah, pergaulan, dan lingkungan masyarakat, juga pengaruh media sosial. Sementara itu, faktor situasional adalah sesuatu yang muncul tak terduga. Misalnya anak menjadi siswa junior dan dipaksa senior untuk ikut tawuran, dan karena takut menolak maka memilih terlibat. Hal inilah yang juga di sebut pengaruh geng atau kelompok- kelompok di sekolah yang mengarah ke tindakan kekerasan yang dilakukan bersamaan.
Apa yang sudah dilakukan untuk penguatan?
Sebagai upaya penguatan karakter jahat pecundang ini Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) sejak 2021 bekerja sama dengan UNICEF Indonesia untuk melaksanakan bimbingan teknik (bimtek) Roots pada 10.708 satuan pendidikan, melatih 20.101 fasilitator guru, dan membentuk 51.370 siswa agen perubahan. Target di tahun 2023, akan dilaksanakan bimtek Roots lebih intensif secara luring dan daring pada 2.750 satuan pendidikan jenjang SMP, SMA serta melakukan refreshment pada 180 orang fasilitator nasional.
Pemerintah juga mengeluarkan Permendikbudristek 46/2023, peraturan terbaru ini mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Peraturan ini bertujuan dalam penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi di sekolah.
Tidak hanya itu, Prof Susanto (Mantan ketua KPAI periode 2017-2022) ikut serta dengan meluncurkan Gerakan Pelopor Anti Bullying melalui Olimpiade Anti Bullying tingkat nasional bagi pelajar tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA.
Prof. Susanto menjelaskan, untuk menjadi pelopor antiperundungan, peserta harus mengikuti ujian kompetensi dasar antiperundungan dengan menjawab soal kompetisi online yang telah disediakan. Peserta yang berhasil meraih Medali Emas dalam kompetisi tersebut akan mendapatkan Bimbingan Teknis Gratis Tingkat Nasional terkait Strategi Pencegahan Bullying yang efektif di Sekolah/Madrasah/Pesantren, yang disampaikan oleh narasumber terpilih dan tokoh nasional. Selain itu, peserta terbaik akan memperoleh beasiswa pendidikan dari Yayasan Pusat sang Juara.Menurut penulis usaha ini dilakukan untuk menambah kesadaran siswa akan pentingnya pencegahan bullying.
Namun benarkan ini solusi konkrit?
Demikian adanya aturan resmi, kerjasama, dan kampanye antiperundungan masih belum efisien menjadi solusi konkrit masalah bullying yang marak. Karena nyatanya bullying dan perundungan bukanlah ulah dari teman sebaya saja, namun juga ada peran pendidikan keluarga, pengaruh lingkungan pendidikan, masyarakat, dan media sosial ataupun televisi yang membentuk karakter pecundang ini.
Dan yang paling parahnya hal ini terjadi karena tegaknya sistem sekuler yang menjadi faktor penumbuh subur munculnya pemikiran yang salah terhadap kehidupan bagi tiap individu yan bernaung di dalamnya. Sekulerisme adalah faham yang mengajarkan pemisahan agama dari kehidupan, walhasil muncullah tindakan yang tidak sesuai aqidah dengan alasan kebebasan yang di lakukan pelaku perundungan tersebut.
Tidak heran, jika berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan perundungan di lakukan di sistem yang sama tidak akan pernah mampu mengatasi perundungan itu sendiri. Ini karena hal yang itu ibarat solusi “tambal sulam” yang melihat masalah tidak sampai akarnya. Akibatnya, perundungan tidak akan pernah selesai tuntas. Maka dari itu di perlukan solusi konkrit yang menyelesaikan masalah tidak hanya pada pendidikan per individu, melainkan pada sistem yang meliputinya.
Islam memberi solusi konkrit
Untuk mencegah terjadinya perundungan pada anak, perlu di tekankan pentingnya menanamkan keimanan kepada Allah serta ketundukan kepada ajaran Islam sejak anak kecil. Dengan demikian tidak akan berani seorang anak melakukan tindakan pecundang tersebut sebeb ia faham harusnya ia bisa menjadi ihsan ditengah hidup bermasyarakat.
Sayangnya, pendidikan Islam yang sangat penting ini justru sering dicurigai sebagai sumber munculnya perilaku radikal, sampai-sampai ada usaha mengawasi sekolah-sekolah Islam, masjid, hingga Rohis kampus. Sedihnya lagi, tidak sedikit orang tua yang terpengaruh dengan framing jahat terhadap Islam yang dilakukan oleh penguasa sekuler-demokrasi sehingga mereka melarang anak-anaknya aktif di pengajian. Hal ini tak lain karena sistem sekuler yang sudah mempengaruhi pemikiran tiap individu.
Oleh karena itu, menegaskan pentingnya penanaman akidah dan syariat Islam pada diri anak. Di samping itu, orang tua juga harus bisa menjadi role model yang saleh. Urgen pula untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang kondusif sehingga bisa memaralelkan antara pendidikan keluarga dan sekolah.
Selain di keluarga, sekolah, dan masyarakat yang islami, jelas membutuhkan negara yang juga Islami, yakni yang menerapkan Islam secara kafah, sebab kehidupan yang semacam ini tidak dapat tercipta dengan menjadikan sekularisme menjadi sistem yang mencampakkan agama dari kehidupan.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar