Demokrasi dan Abainya Sebuah Amanah


Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Ada dua nama menteri kabinet Jokowi yang ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi tahun 2024 mendatang. Mereka adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD yang menjadi cawapres Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang jadi capres berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka. 

Menanggapi hal tersebut, Pakar Komunikasi Politik Ari Junaedi berharap para menteri yang bersinggungan dengan pusaran koalisi Pilpres 2024, termasuk mereka yang menjadi bacapres dan bacawapres untuk segera mundur dari jabatannya. Selain untuk menghindari konflik kepentingan, tujuan lainnya adalah mencegah berdirinya posko pemenangan di kantor-kantor kementerian tempat mereka menjabat. (tribunnews.com, 25/10/2023)

Memang PKPU Nomor 19 tahun 2023  mengamanatkan agar pejabat di lembaga peradilan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, Komisi Yudisial, KPK, kepala perwakilan setara duta besar berkekuatan penuh dan pejabat setara lain untuk mundur dari jabatan ketika maju sebagai capres-cawapres. Akan tetapi, Pasal 15 PKPU 19/2023 memberikan pengecualian kepada presiden, wapres, pimpinan MPR dan DPR maupun anggota, pimpinan DPRD maupun anggota, para petinggi daerah tingkat provinsi hingga kabupaten kota baik gubernur, bupati/wali kota dan wakil untuk maju. Para menteri atau pejabat setingkat menteri dibolehkan selama mendapat izin dari presiden. (tirto.id, 20/10/23)

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menyampaikan, peluang penggunaan fasilitas negara dalam Pemilu 2024 akan selalu terbuka, apalagi jika kontestan merupakan seseorang yang masih menjabat. Penyalahgunaan ini berpotensi karena bisa saja peserta pemilu memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kepentingan kampanye. (tirto.id, 25/10/2023)

Penyalahgunaan fasilitas negara, termasuk penggunaannya untuk keperluan kampanye memang akan sangat rawan terjadi. Tanpa pengawasan dan pencegahan, kontestan Pilpres 2024 mungkin saja berkompetisi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Aturan KPU memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan, bahkan juga fasilitas negara dan anggaran. Selain itu ada potensi pengabaian tanggung jawab tugas dan tentu saja abai terhadap hak rakyat. Hal ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara, apalagi didukung regulasi yang ada. Inilah salah satu dampak dari aturan yang dibuat oleh manusia.

Dalam memilih pemimpin, demokrasi memiliki metode yang kita kenal dengan sebutan pemilihan umum (pemilu). Pemilu adalah cerminan diakuinya hak rakyat dalam memilih langsung wakil umat maupun pemimpin. Demokrasi adalah sistem politik yang lahir dari ideologi kapitalisme yang berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara). Akibat asas sekuler ini, politik demokrasi tidak mengenal halal atau haram. Politik hanya didefinisikan sebagai cara untuk meraih kursi kekuasaan. Wajar jika dalam proses pelaksanaan pemilu bisa terjadi berbagai politik kotor, curang, bahkan manipulatif demi mendapatkan kursi kekuasaan sekaligus sarana meraih materi.

Demokrasi juga membebaskan rakyat untuk memilih pemimpin tanpa batasan apa pun, termasuk agama. Dalam demokrasi, ahli maksiat dan penentang hukum-hukum Allah bisa saja duduk di kursi kepemimpinan. Pemimpin yang terpilih juga akan menjalankan dan melaksanakan hukum serta aturan buatan manusia. Oleh karena itu, pemilu dalam demokrasi hanyalah sarana untuk memilih penguasa yang akan menjalankan hukum buatan manusia itu sendiri dan bukan hukum dari Pencipta manusia.

Tidak demikian dengan sistem Islam. Dalam Islam tidak semua orang bisa menjadi pemimpin atau kepala negara. Dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah juz II bab “Syarat-Syarat Khalifah”, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa seorang  wajib memenuhi tujuh syarat agar ia berkompeten memangku berbagai tugas ketatanegaraan (kekhalifahan) dan agar baiat pengangkatan dapat dilakukan. Tujuh syarat tersebut adalah 1) muslim, 2) laki-laki, 3) baligh, 4) berakal, 5) adil, 6) merdeka, dan 7) mampu mengemban tugas-tugas pemimpin.

Dalam sistem Islam, kepala negara dipilih bukan untuk menjalankan hukum manusia, tetapi untuk menjalankan hukum Allah Taala. Kewajiban seorang penguasa (al-hukkam) adalah menerapkan syariat Islam semata seperti yang telah dijelaskan dalam QS. Al-Maidah [5]: 48, 49). Haram hukumnya penguasa menjalankan hukum yang bukan syariat Islam seperti yang telah dijelaskan dalam QS. Al-Maidah [5]: 44, 45, 47). Oleh sebab itu, pemilu dalam sistem Islam hanya sebagai sarana memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam. 

Islam juga menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam menjalankan proses pemilihan. Tidak akan terjadi politik kotor, curang, atau manipulatif karena setiap aktivitas berlandaskan pada keimanan. Kekuasaan bukanlah sarana untuk  meraih materi duniawi, melainkan untuk menerapkan hukum Allah demi meraih ridha-Nya. Dengan mengingat akhirat, penguasa akan menjaga diri dari tindakan otoriter, zalim, dan semena-mena. Ia akan melayani dan mengurus seluruh rakyatnya dengan segenap jiwa dan raganya karena meyakini bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban atas rakyat yang menjadi amanahnya.

Karena itu, tidak ada  sistem yang bisa diharapkan berlaku benar kecuali sistem Islam.

Wallahu a'lam bi ash- shawwab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar