Kekerasan Anak di Tengah Gencarnya Program Kota Ramah Anak


Oleh: Eliyanti (Jembrana-Bali)

Memprihatinkan sekali melihat generasi saat ini. Kekerasan pada anak semakin hari semakin beragam. Ada perundungan, pelecehan seksual, pencurian, tawuran, hingga pembunuhan. Dalam kasus ini, ada yang menjadi korban kekerasan dan ada juga yang menjadi pelaku kekerasan seperti kasus yang terjadi di kota Surabaya yang mana termasuk kota peraih penghargaan kota ramah anak.

Namun sayangnya, hal seperti ini tidak terjadi di kota Surabaya saja. Akan tetapi, juga terjadi di berbagai kota di Indonesia. Lalu apa yang menjadi pemicu tindak kekerasan yang semakin merajalela?

Tentu, faktor penyebabnya sangat bervariasi, mulai dari tidak adanya keharmonisan dalam keluarga, pengaruh sosmed, salah memilih teman atau dari kurikulum pendidikan pun dapat menjadi pemicu anak berbuat kekerasan. Pasalnya, kurikulum saat ini mencetak generasi yang pragmatis, edukasi moral hanya ada di lingkungan sekolah, setelahnya maka dibebaskan tanpa ada pengawasan lebih.

Dari pragmatisme inilah tumbuh pemikiran-pemikiran egois, mementingkan diri sendiri dan berpikiran sempit. Inilah yang mendorong mereka melakukan tindak kekerasan terhadap teman yang ada di sekelilingnya demi mencapai apa yang menjadi keinginan mereka tanpa memikirkan akibat jangka panjang untuk dirinya atau orang yang disakitinya. Tentu pemerintah sudah mendapat berbagai laporan atas tindak kekerasan ini, namun mengapa terkesan abai dan memberi solusi yang parsial.

Negara tak mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Meskipun ada upaya pencegahan atau sosialisasi seperti UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) atau program TPPK (Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan), nyatanya kasus semisal tetap berulang. Bahkan mengadakan forum kecil seperti forum anak Surabaya yang diharapkan oleh pemerintah dapat menyelesaikan konflik yang terjadi pada anak. Nyatanya, forum anak Surabaya ini hanyalah sekumpulan anak-anak yang tidak memiliki kekuatan politik untuk memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan tertentu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada pada anak.

Lebih ironisnya lagi, pemerintah mendorong para ibu untuk mencari nafkah tambahan supaya bisa hidup lebih sejahtera. Apakah mungkin jika seorang ibu sibuk mencari nafkah di luar rumah, sementara anaknya dibiarkan terlantar kemudian akan tercipta kehidupan sejahtera? Justru anak semakin tak terarah dan haus kasih sayang. Maka tak jarang mereka terjerumus dalam kemaksiatan.

Tentunya ini akan menjadi peluang besar bagi rusaknya generasi bangsa dan negara akibat salah penerapan sistem. Dampak kehancurannya tidak hanya dalam keluarga saja, tetapi lingkungan hingga hancurnya tatanan negara. Inilah yang dihasilkan dari sistem kapitalis liberal, solusi yang ditawarkan tak mampu menyelesaikan masalah dengan tuntas.

Maka perlulah belajar sistem Islam karena Islam dapat menyelesaikan setiap permasalahan dengan tuntas jika mau diterapkan seluruhnya. Islam memiliki seperangkat aturan untuk Negara tentang tata cara melayani masyarakat termasuk anak-anak, dan Negara sadar atas penjagaan harta, akal, akidah, jiwa, nasab, serta kehormatan dan darah kaum muslimin karena bersandar pada aturan Allah.

Wallahu a’lam bish showab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar