Nasib Manusia Perahu Tanpa Penjaga


Oleh : Yuliana Suprianti, S. Pd. (Anggota Lingkar Studi Muslimah Bali) 

Sebanyak 249 pengungsi Rohingya yang tiba di Bireuen, Aceh, menggunakan kapal kayu, ditolak warga, Kamis (16/11). Bahkan warga melarang mereka untuk turun ke daratan. Mengetahui kedatangan pengungsi Rohingya lagi, masyarakat pun ramai-ramai mendatangi lokasi. Diketahui, ratusan pengungsi Rohingya sering kali terdampar di Aceh. Namun, kali ini kedatangan mereka ditolak.

Melansir dari Tribunnnews.com, alasan masyarakat menolak para pengungsi Rohingya karena merepotkan setelah tinggal di daratan. Hal itu dilihat warga dari pengungsi yang sudah tiba di Desa Matang Pasi, Kecamatan Peudada, pada 16 Oktober lalu. Panglima Laot Aceh Miftach Cut Adek mengatakan, sejumlah pengungsi nekat melompat ke laut dan berenang ke darat. Kedatangan pengungsi Rohingya tersebut sudah tiga hari berturut-turut dengan jumlah yang berbeda. Usai di tolak di Bire-uen, mereka melanjutkan perjalanan laut dan tiba di Desa Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Namun, warga Aceh Utara juga menolak kedatangan mereka. Kapolres Lhokseumawe AKBP Henki Ismanto menyebut masyarakat menolak kedatangan pengungsi Rohingya tersebut lantaran tidak ada tempat penampungan serta kesan buruk dari pengungsi Rohingya sebelumnya.

Derita muslim Rohingya adalah satu dari sekian banyak permasalahan yang menimpa kaum Muslim di berbagai belahan dunia. Sejak mendapatkan perlakuan keji dari penguasanya muslim Rohingya dijuluki sebagai manusia perahu. Sudah tidak terhitung jumlah korban yang meninggal baik karena di bunuh di Myanmar atau bahkan meregang nyawa karena kerasnya hidup di lautan lepas. 

Di tengah marahnya umat islam terhadap tindakan zionis yahudi la'natullah, kini derita rohingya kembali terulang dan sungguh menyayat hati kaum Muslim. Mereka dihakimi dan disalahkan, tidak diterima dengan berbagai alasan tanpa melihat bahwa mereka butuh pembelaan dan perlindungan. Apakah nyawa mereka tidak lebih berharga daripada repotnya warga setempat akibat menerima mereka?

Tentu saja seruan ini tidak hanya untuk masyarakat Aceh melainkan secara umum bagi mereka yang memiliki Aqidah Islam, baik individu masyarakat ataupun penguasa. Bukankah Rasulullah SAW manusia terbaik dan uswatun hasanah kita menekankan bahwa umat islam layaknya satu tubuh.  Harusnya satu bagian mengokohkan bagian yang lainnya.  Apakah Hadits ini hanyalah tinggal slogan dan minim penerapan? Nyatanya, Hadits tersebut telah kalah oleh pesan-pesan nasionalisme yang telah mendiskreditkan paham akidah islam. Dengan alasan ini Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan atas landasan islam) hanya sampai di mulut saja. 

Inilah realita islam dan kaum muslimin. Agama yang mulia ini tidak hanya dinodai secara pemikiran namun para pemeluknya disiksa dan terdzolimi bagaikan hidangan makanan yang di rampas oleh orang-orang yang rakus. Keberanian musuh-musuh islam hari ini karena mereka tau kaum muslimin tidak memiliki penjaga. Imam Al Ghazali menyebutkan bahwa Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya. Suatu bangunan yang tanpa pondasi maka ia akan roboh dan suatu bangunan yang tanpa penjaga makan ia akan hilang. 

Kekuasaan inilah yang dibutuhkan oleh ummat. Kekuasaan yang menjadikan islam sebagai basic segala aspek kehidupan. Baik urusan dalam negeri maupun urusan luar negeri. Kekuasaan yang melahirkan pemimpin yang mampu menjadi perisai dimana kaum muslimin berperang dan berlindung dengan nya. Kekuasaan inilah yang disebut sebagai Khilafah. Sebuah bentuk negara yang bisa mewujudkan Ukhuwah Islamiyyah yang mampu menjaga nyawa, harta, kehormatan, dan pemikiran kaum muslimin. Negara inilah satu-satunya yang menjadi harapan umat islam. Kembalinya adalah janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah SAW. Tinggal kita mau menjadi bagian yang mana apakah penonton, penentang, atau pejuang. 

Oleh karena itu, yang dibutuhkan oleh muslim Rohingya hari ini adalah perlindungan dan perjuangan kaum Muslim untuk mengembalikan kekuasaan islam sebagai penjaga dan pelindung yang bisa menyelamatkan umat islam di berbagai belahan dunia. Semua upaya ini adalah bagian dari konsekuensi aqidah islam yang kita miliki, jadi sudah seharusnya kita terdorong untuk melakukannya bukan justru mendiamkan. Karena setiap sikap kita akan dimintai pertanggungjawaban. Wallahu'allam bi showwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar