Peran Keluarga dalam Pencapaian Status Negara Maju: Mungkinkah?


Oleh : Widya Soviana (Dosen dan Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat)

Keluarga merupakan lingkup terkecil dari masyarakat dan negara yang memiliki kontribusi terhadap pembangunan negara. Pendidikan dan pembentukan karakter memainkan peran penting di dalam sebuah keluarga, sehingga membentuk perilaku dasar warga negara dalam masyarakat. Keluarga yang baik mampu mewujudkan masyarakat yang baik dalam berbangsa dan bernegara. Namun demikian, kemajuan sebuah negara tidak dapat hanya ditentukan oleh peran keluarga. Secara keseluruhan persoalan kemajuan negara melibatkan faktor ekonomi, politik, budaya dan ideologi.

Sebagai sebuah negara yang besar, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Dengan berbagai budaya masyarakatnya, Indonesia memiliki potensi besar sebagai sebuah negara yang maju dan berdaulat. Tetapi hingga kini, Indonesia masih menduduki posisi sebagai negara berkembang. Dengan standar Upah Minimum Rata-Rata (UMR) sebesar Rp. 3 juta per bulan, pencapaian untuk menjadi sebuah negara maju seakan masih jauh panggang dari api. Sebab, Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan untuk mencapai status negara maju, maka UMR harus mencapai Rp. 10 juta per bulan (tirto.id, 23/10/23). 

Dengan pendapatan masyarakat Indonesia yang berjenjang seperti di sektor jasa yang memiliki standar 1,79 juta per bulan, kemudian sektor pertanian, kehutanan dan perikanan Rp. 2,06 juta per bulan dan penyediaan akomodasi sebesar Rp. 2,14 juta per bulan (tirto.id, 23/10/23). Kesejahteraan masyarakat masih sangat jauh dibandingkan dengan negara-negara maju saat ini. Penerapan sistem ekonomi kapitalisme telah menyebabkan ketimpangan yang besar di tengah-tengah masyarakat. Hingga dalam sebuah laman berita dari CNBCIndonesia mengungkapkan bahwa kekayaan 1% orang Indonesia setara dengan 46,6% total kekayaan seluruh penduduk Indonesia, sedangkan 10% orang terkaya dunia menguasai sekitar 75,3% total kekayaan penduduk di dunia (16/04/19).  Keadaan ini menunjukkan tidak selarasnya sistem ekonomi tersebut diterapkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata.

Meski tidak dapat dipungkiri sebagian besar negara-negara maju di dunia menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Namun penerapan sistem ini tidak mampu memberikan kesejahteraan yang merata bagi penduduknya. Dengan status negara maju ternyata Amerika Serikat masih mengalami tingkat kemiskinan masyarakat yang tinggi (CNBCIndonesia, 08/07/22). Kapitalisme hanya menguntungkan bagi para pemilik modal yang menjadikan kekayaan hanya berputar di kalangan para pemilik modal. Dampak penerapan kapitalisme pada negara berkembang seperti Indonesia justru hanya menjadikannya hanya bergantung kepada negara-negara maju. Kapitalisme melakukan monopoli sumber daya dan pasar global yang dilakukan oleh para pemilik modal di negara-negara maju. Alhasil, negara berkembang seperti Indonesia hanya menjadi objek dalam sistem kapitalisme yang terus dipermainkan oleh para kapitalis dunia. 

Berbeda halnya dengan China yang saat ini telah mampu menguasai perekonomian dunia, pemerintah China telah mampu mengeluarkan kondisi kemiskinan masyarakatnya dengan berbagai upaya strategis meliputi program pendidikan guna menumbuhkan motivasi dan intelektualitas di tengah masyarakat, program kesehatan yang menyesuaikan dengan kemampuan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilakukan oleh China karena kondisi ekonomi negaranya yang terus bertumbuh.  

Dengan kondisi pertumbuhan ekonomi dikisaran 5%, Indonesia berpotensi gagal menjadi negara maju pada Tahun 2045 (CNBCIndonesia, 28/10/22). Hal tersebut disebabkan, kondisi negara Indonesia belum memenuhi syarat cukup dan syarat perlu untuk menuju negara dengan pendapatan tinggi. Dekan FEB UI, Teguh Dartanti menuliskan dalam white paper pada bab menavigasi jalan Indonesia menuju 2045 “sebaiknya para calon presiden dan calon wakil presiden fokus mengentaskan kemiskinan, menurunkan ketimpangan dan membangun kelas menengah yang kuat dan inovatif dibandingkan fokus pada obsesi menjadi negara berpendapatan tinggi” (CNBCIndonesia, 28/10/22).

Oleh sebab itu, terasa janggal apabila negara melimpahkan tanggung jawab untuk menjadi negara yang berpendapatan tinggi kepada keluarga. Karena sejatinya, negara seharusnya memiliki visi yang ideologis untuk membangun negara sehingga menghantarkan pada sebuah negara yang maju. Sebagaimana dalam pandangan Islam, sebuah negara harus memiliki visi menjadi sebuah negara adidaya. Hal ini telah terjadi pada masa-masa kegemilangan Islam yang menjadi corong bagi seluruh penjuru negeri, baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, arsitektur, budaya, sosial dan militer selama ratusan tahun sejak 650 M hingga 1.250 M (detikhikmah.com, 23/02/23).

Kejayaan dan kegemilangan peradaban Islam tidak muncul begitu saja, melainkan karena adanya keterikatan yang kuat umat Islam dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Dengan keimanan dan ketakwaan, segala sistem kehidupan berjalan sesuai dengan ajaran Islam. Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia (hudda linnas) menuntun pemimpin dan penguasa pada masa peradaban Islam untuk mengurus dan menjalankan sistem kehidupan masyarakat, bangsa dan negara berlandaskan syari’at yang diturunkan oleh Allah Subhana wa Ta’ala, Tuhan pemilik alam semesta. Sehingga, terwujudnya sebuah negara yang tidak hanya maju, namun menjadi negara yang memiliki masyarakat yang penuh dengan kedamaian dan kemakmuran (kebaldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). []




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar