Tak cukup Milisi, Pembelaan Atas Palestina Butuh Aksi Nyata Negeri Muslim


Oleh : Riza Maries Rachmawati

Selama kurun waktu 75 tahun Israel telah memerangi dan menjajah Palestina. Sedikit demi sedikit wilayah Palestina direbut paksa oleh Zionis Yahudi. Korban jiwa yang jumlahnya terus meningkat dan kerusakan pemukiman serta fasilitas-fasilitas umum muslim palestina terjadi selama konflik Palestina dan Israel berlangsung. Situasi buruk yang dialami oleh Muslim Palestina menuai aksi kecaman bahkan perlawanan dari kaum Muslim baik yang ada di dalam maupun di luar Palestina. Salah satunya adalah aksi perlawan yang dilakukan oleh milisi-milisi Islam. 

Milisi-milisi Islam yang melakukan perlawanan atas tindakan biadab Zionis Yahudi diantara adalah: Pertama, Milisi Hizbullah di selatan Libanon yang menembakan puluhan roket ke Kota Kiryat Shmona, wilayah yang sudah diduduki Zionis Yahudi pada Kamis 2 Oktober lalu. Kedua, Milisi Houthi di Yaman juga meluncurkan drone nya untuk menyerbu entitas zionis pada Selasa 31 Oktober. Ketiga, Milisi Jihad Islam yang menggempur Yahudi Zionis pada 7 Oktober lalu hingga peperangan berlangsung sampai hari ini.

Aksi perlawanan ini merupakan bentuk kesadaran atas kewajiban mereka untuk  membela Palestina saudara sesama Muslim yang sedang teraniaya. Meskipun negara mereka mengambil sikap berbeda. Sebagaimana yang diketahui, tidak ada satu pun negeri-negeri muslim yang mengirim tentara termasuk Yaman dan Libanon. Bahkan penguasa Palestina berlindung dibalik Organisasi OKI dan PBB.


Peperangan yang Tidak Berimbang

Pada awalnya, kependudukan Yahudi Zionis di Palestina dibantu Inggris melalui perjanjian Balfour. Pada saat itu, Inggris masih menjadi negara adidaya. Pun negara-negara Eropa mendukung keputusan tersebut hingga saat ini. Namun seiring dinamika perpolitikan global entitas Yahudi Zionis jadi anak asuh negara kapitalisme, Amerika. Inilah yang menjadi alasan entitas Zionis saat ini berani melawan dan memusuhi kaum muslimin. Mereka mendapat dukungan dari berbagai negara, mulai dari dukungan dana, senjata, dan sejenisnya. Sehingga jelas realita terjadi adalah peperangan antara negara dan milisi. Padahal peperangan itu seharusnya negara melawan negara. 

Selama ini penguasa negeri-negeri Muslim mengabaikan realita kejahatan dan penjajahan entitas Zionis. Mereka hanya melakukan kecaman-kecaman. Bahkan yang lebih menyakitkan lagi, penguasa Arab Saudi justru berpesta tahunan disaat Palestina dibombardir rudal Zionis Yahudi. Sementara penguasa Muslim lainnya seperti Turki masih menjalin hubungan diplomatik dengan Yahudi Zionis. Bahkan beberapa penguasa negeri Muslim lainnya melakukan hubungan normalisasi. Sikap ini menunjukan pengkhianatan besar kepada Muslim Palestina. Tak hanya itu penguasa negeri-negeri Muslim juga mengabaikan realita kondisi peperangan yang terjadi antara Zionis Yahudi dan Hamas. Pertarungan mereka tidaklah imbang, posisi Hamas adalah milisi independen kaum Muslimin Palestina tanpa dukungan negara. Sementara Yahudi Zionis didukung oleh negara.


Nasionalisme Menjadi Sekat Antar Kaum Muslimin di Dunia

Tidak ada upaya penguasa negeri muslimin mengikuti langkah milisi yakni mengirimkan balasan serangan disebabkan ada rasanya nasionalisme di negeri-negeri kaum muslimin. Padahal dahulu kaum Muslimin bersatu dibawah kekuasaan Daulah Khilafah, namun adanya perjanjian Sykes-Picot membuat kaum muslimin terkotak-kotak menjadi nation-state. Agar kaum Muslimin tidak memiliki perasaan bersatu kembali maka Barat menumbuh suburkan pahan Nasionalisme dibenak-benak kaum muslimin. 

PAN arabisme adalah salah satu cikal bakal nasionalisme penanaman nasionalisme di negeri muslim. Sehingga mereka merasa berbeda dengan kaum muslimin lainnya dan Barat mudah untuk menguasai dan mengendalikan kaum muslimin dibawah kekuasaannya. Karena itulah tidak ada tentara atau perlawanan dari penguasa muslim atas kebiadaban zionis Yahudi dan para sekutunya.


Hanya Khilafah Islamiyah yang Mampu Memberikan Perlindungan Hakiki

Dahulu kaum muslimin bersatu dibawah Daulah Khilafah. Khilafah adalah negara yang menerapkan syariat Islam secara Kaffah. Nasionalisme tak pernah dikenal oleh umat Islam sebelumnya, sebab kaum Muslimin tidak tersekat-sekat namun bersatu layaknya satu tubuh. Jika satu bagian tubuh tersakiti, maka tubuh yang lain ikut merasakan sakitnya. Allah SWT berfirman: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al-Hujarat: 10). 

Islam menjadikan pembelaan adalah satu kewajiban yang harus dipenuhi sesama muslim dan negeri muslim. Apalagi ketika musuh bertindak di luar batas kemanusiaan dan menghilangkan nyawa kaum muslim. Allah SWT berfirman: “Dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu …” (QS. Al-Baqarah: 191). Oleh karena itu, Khilafah akan menjadi junnah atau perisai bagi kaum muslimin. Khilafah akan melindungi kaum muslimin dari bahaya, serangan musuh, dan semua hal yang mengancam kaum muslimin. Inilah penjelasan Imam an Nawawi terhadap hadits: “Sesungguhnya al-Iman (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, abu Dawud).

Dengan adanya Khilafah, kaum Muslimin Palestina tidak akan mengalami kehinaan dan kenestapaan seperti hari ini. Mereka tidak akan terusir kedua kalinya sebagaimana peristiwa Nakba 1948 dahulu. Sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik mereka tidak akan dibombardir oleh rudal-rudal Zionis Yahudi. Khilafah paham bahwa tanah Palestina milik kaum muslimin. Tanah Palestina adalah tanah kharajiyah yang difutuhati pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Saphronius Uskup Agung al-Quds sendirilah yang menyerahkan kunci kota kepada Khalifah Umar. Tanah Palestina telah disirami darah para syuhada’ pasukan panglima Salahuddin Al Ayyubi ketika beliau merebut kembali Al Quds dari penjajahan tentara salib. Tanah Palestina juga senantiasa dijaga dengan jiwa raga para Khalifah terdahulu. Salah satunya buktinya adalah Ultimatum Sultan Abdul Hamid II pada Teodore Hezrl agar jangan sekali-kali berani meminta.

Wallahu’alam bi shawab






Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar