Transformasi Kesehatan, Angan Menuju Kesejahteraan


Oleh : Wahyuni Mulya (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Di Indonesia Hari Kesehatan Nasional (HKN) diperingati setiap tanggal 12 November dan pada tahun 2023 ini, HKN memasuki peringatan yang ke-59. Asal-usul HKN tidak lepas dari sebuah peristiwa penting di dunia kesehatan tanah air yaitu keberhasilan pemerintah RI dalam memberantas wabah malaria pada tahun 1950-an.

Pada Hari Kesehatan Nasional 2023 ini, pemerintah mengusung logo lambang lingkaran dan pucuk daun yang membentuk angka 59 dengan tema “Transformasi Kesehatan untuk Indonesia Maju”. Sri Mulyani melalui akun instagram resminya @smindrawati, menuliskan caption :
"Ancaman pada sektor kesehatan yang terjadi berefek domino pada sektor sosial dan ekonomi masyarakat. Ada sebuah istilah yang sering saya gunakan untuk menggambarkan dampak dari pandemi ini, yaitu scarring effect. Indonesia termasuk beruntung, kita bisa pulih relatif cepat dan kuat karena APBN bekerja luar biasa keras sebagai shock absorber,” tulis dia.

Sri Mulyani menyampaikan, hikmah yang dipetik oleh banyak negara dari peristiwa ini adalah pentingnya memiliki arsitektur kesehatan yang kuat sebagai bekal menghadapi pandemi COVID-19 pada masa mendatang. Hal ini sebagaimana diangkat pula menjadi inisiatif dalam Presidensi G20 Indonesia tahun lalu dan Keketuaan ASEAN Indonesia pada 2023.
"Transformasi kesehatan menjadi kunci penting dan ini adalah sesuatu yang telah, sedang, dan akan terus kita upayakan agar Indonesia telah melangkah maju. Selamat Hari Kesehatan Nasional."

Menurut Menteri Keuangan, memerangi kemiskinan dan kebodohan adalah upaya yang terus dilakukan untuk mencapai cita-cita Indonesia dengan cara meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Tak hanya melalui pendidikan, kesehatan juga tak kalah penting terutama untuk mengurangi gizi buruk pada anak. Anak-anak yang sehat adalah cikal bakal SDM yang produktif dan berdaya saing. “Kesehatan yang baik juga harus ditunjang oleh infrastruktur dasar yang baik untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” ujarnya.


Antara Kenyataan dan Harapan

Tidak ada satu pun di dunia ini orang yang ingin sakit. Negara manapun pasti ingin rakyatnya hidup sehat dan pelayanan kesehatannya terjamin. Alhasil, peringatan Hari Kesehatan Nasional selayaknya memberi banyak refleksi dan evaluasi agar transformasi kesehatan tidak terdengar seperti slogan tanpa makna. Begitu pula dengan Indonesia Maju, jangan hanya sekadar narasi tanpa aksi. Ibarat jauh panggang dari api, terdapat banyak persoalan kesehatan yang belum tuntas dan masih menjadi PR besar hingga saat ini.

Pertama, kualitas SDM Indonesia. Merujuk pada standar WHO, yakni setiap 1.000 penduduk tersedia satu orang dokter, maka Indonesia membutuhkan setidaknya 275.000 dokter dengan asumsi jumlah penduduk saat ini sekitar 275 juta jiwa. Menurut data Kementerian Kesehatan yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022, jumlah dokter di Indonesia mencapai 176.110 orang. Angka tersebut merupakan gabungan dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.

Kedua, transformasi kesehatan harusnya dimulai dari kualitas pelayanan kesehatan. Contoh indikator paling mudah dalam menilai layanan kesehatan hari ini adalah BPJS Kesehatan. Carut-marut mewarnai perjalanan BPJS Kesehatan sebagai lembaga yang mengomersialisasi kesehatan seperti bisnis. “Anda bayar berapa, sebanyak itulah kami melayani kesehatan Anda,” seperti itulah fakta BPJS Kesehatan. Tidak semestinya negara melakukan pelayanan kesehatan kepada rakyat dengan prinsip profit oriented.

Ketiga, transformasi kesehatan harusnya mengarah pada terselesaikannya persoalan dasar kesehatan, yakni jaminan kesehatan negara kepada rakyat, seperti infrastruktur memadai, layanan kesehatan gratis, serta pemenuhan kebutuhan pokok sehingga tidak ada masalah stunting, gizi buruk atau dampak negatif akibat ekonomi yang tidak sejahtera, Bukan malah tersibukkan pada persoalan cabang seperti ekosistem digital kesehatan. Digitalisasi kesehatan memang penting pada era digital. Namun, alangkah baiknya negara memprioritaskan jaminan kesehatan dahulu sebelum bicara digitalisasi.


Jaminan Kesehatan dalam Islam

Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Negara wajib menyediakan rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya yang diperlukan oleh masyarakat. Fungsi negara atau pemerintah adalah mengurus segala urusan dan kepentingan rakyat. Dalilnya adalah sabda Rasul saw.:
فَاْلإِماَمُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR Al-Bukhari).

Nas-nas di atas merupakan dalil syariat yang sahih bahwa dalam Islam jaminan layanan kesehatan itu wajib diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari negara. Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya. Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada, maka akan dapat mengakibatkan terjadinya bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya.

Dengan demikian, negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyat. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut dan juga tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta, maupun kepada rakyatnya sendiri.

Transformasi kesehatan harusnya merujuk pada penerapan sistem kesehatan pada masa Islam. Rasulullah ﷺ pernah menerapkan layanan kesehatan gratis ketika rombongan dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah ﷺ selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitulmal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh. Khalifah Umar selaku kepala negara juga telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikit pun imbalan dari rakyatnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2/143).




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar