Berhembus Paradigma Salah, Hati-hati Terbawa!


Oleh: Eliyanti

Masalah gender masih menjadi program global yang diperjuangkan secara kolektif oleh kaum feminis. Bahkan dari sisi langkah praktis, mereka mengupayakan langkah hukum atau legalisasi di berbagai level dan berbagai Negara.

Melalui langkah hukum, mereka telah mendapatkan restu atau legitimasi dari PBB dengan adanya konsensus-konsensus yang kadarnya terus meningkat dan telah mengikat negara anggota dalam bentuk program dan peraturan di masing-masing negara. Setelah itu, pastilah akan diimplementasikan dalam berbagai program.

Setiap wanita pasti akan senang jika mengulas tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Ternyata hal tersebut pernah dibahas dalam konvensi PBB yang bernama CEDAW  di tahun 1979. Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di konvensi tersebut, nyatanya berisi paradigma atau pandangan feminis terhadap perempuan yang harus mereka perjuangkan.

Adapun pandangan yang salah di dalam konvensi itu ada 5 poin yang perlu diketahui. Ada istilah marginalisasi, subordinasi, stereotip, peran ganda dan kekerasan. Paradigma dasar kaum feminis yang akan mereka perjuangkan ini jelas keliru.

Pertama, marginalisasi perempuan yaitu peminggiran wanita untuk tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau urusan penting. Contohnya, ada sebuah keluarga petani yang menggarap sebidang lahan, semua anggota keluarga terlibat dalam pengelolaan lahan sesuai jobdesk tertentu. Tetapi, ketika panen dan akan diputuskan hasil panennya mau dibuat apa, maka akan dikembalikan keputusannya kepada kepala keluarga yakni ayah. Sementara ibu, tidak boleh ikut campur, bahkan tidak diberikan kesempatan dalam berpendapat. 

Inilah yang menjadi pertanyaan kaum feminis, mengapa keterlibatannya sama tetapi Ibu tidak pernah punya kesempatan untuk bisa memberikan keputusan, artinya tidak bisa pada waktu itu sebagai penentu. Sehingga mereka menyebut bahwa wanita ditempatkan sebagai second class citizen.

Kedua adalah subordinasi, artinya adalah dinomorduakan. Sebagai contoh, dalam sebuah keluarga dengan keadaan yang terbatas harus memilih antara mengkuliahkan anak laki-laki atau anak perempuan. Biasanya, anak laki-laki akan lebih diprioritaskan daripada anak perempuan. Ini juga sesuatu yang mereka anggap tidak adil.

Ketiga adalah stereotip, yaitu image yang dibangun di masyarakat. Misal menyebut kalau laki-laki itu lebih kuat, lebih bisa berpikir rasional, lebih berhak didengar. Sementara perempuan akan dianggap lemah, sensitif, mudah menangis, dan sebagainya. Mereka menganggap stereotip yang seperti ini akan menghambat keterlibatan perempuan dalam ranah yang lebih luas. 

Keempat adalah peran ganda yang sampai saat ini memang sebuah keniscayaan ketika perempuan juga berada di ruang publik. Ketika pulang ke rumah, peran domestik hanya dibebankan kepada perempuan. Sementara laki-laki hanya terima beres. Inilah yang mereka protes, sampai mereka mengusulkan kenapa tidak berbagi peran juga di ranah domestik ini. 

Terakhir adalah kekerasan. Mereka menganggap ini bagian dari budaya patriarki, yang selalu laki-laki itu dominan sementara perempuan berada di pihak yang lemah sehingga sering menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis. Nah, paradigma dasar inilah yang mereka perjuangkan.

Dengan paradigma ini, kaum feminisme menghancurkannya dengan beragam cara. Mereka melibatkan seluruh komunitas atau seluruh komponen masyarakat, bahkan tataran negara.  Mulai dari mempengaruhi para intelektual, para aktivis pemerhati perempuan, kemudian juga masuk ke sekolah-sekolah sampai kampus-kampus dengan mengadakan pusat kajian gender.

Jika dirunut ke belakang, mereka berangkat dari sebuah kultur masyarakat yang memang merasa tertekan dan mereka memberontak, lalu memandang bahwa perempuan juga harus berjuang. Perempuan harus memperjuangkan hak-haknya, jadi sudut pandang mereka dalam melihat masyarakat itu hanya fokusnya kepada perempuan, padahal masyarakat itu terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Sehingga muncul pandangan kurang tepat yaitu menganggap laki-laki sebagai rivalnya. Padahal laki-laki dan perempuan memiliki perannya masing-masing yang saling melengkapi. Oleh karena itu, sebagai makhluk ciptaan Allah, maka hendaknya memahami juga hakikat penciptaan dan pengaturannya. Hanya bersandar pada Islam, maka pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan akan dapat tersolusikan dengan tuntas. Tunjukkan identitas sebagai muslim, jangan mudah terbawa paradigma salah!




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar