Food Estate, Konflik Agraria dan Banjir Bandang Humbang Hasundutan


Oleh : Juliana, S.TP

Musibah longsor dan banjir bandang sebelumnya terjadi di Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumut pada jumat 1 Desember 2023 sekitar pukul 21.30 WIB. Kejadian ini diawali dengan hujan deras yang terjadi sekitar pukul 21.00 WIB dan kemudian disusul dengan banjir dan longsor. Dampak yang terjadi akibat banjir dan longsor ini ialah rusaknya 35 rumah warga dengan kondisi 12 warga hilang dan dua diantaranya ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. 

Adapun area yang terdampak banjir yaitu merupakan daerah perladangan, pertanian, dan pemukiman yang berada di bagian hilir sungai. Lokasi banjir tersebut terletak di Desa Simangulampe, Kec. Bakti Raja, Kabupaten Humbang hasundutan, Sumatera Utara. Dari hasil pengamatan, material yang terbawa banjir merupakan hasil longsoran tipr 'rock fall atau runtuhan. Proses longsor tipe rock fall ini juga menghasilkan material endapan yang di dominasi oleh gravel. 


Food Estate

Program food estate yang dicanangkan pemerintah merupakan program unggulan yang selalu disampaikan dalam forum-forum untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, termasuk saat pertemuan COP 28 yang dilaksanakan di Dubai. Salah satu program food estate yang ada, berada di Desa Siria-ria kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. 

Irma suryani, mengatakan bahwa saat dia melakukan perjalanan ke kawasan food estate, sepanjang perjalanan terlihat ratusan hektar lahan food estate terlantar hingga menjadi semak belukar. Beliau mengatakan bahwa sebagian lahan tersebut ditinggal para petani karena tak sanggup lagi menanam usai gagal panen. Irma mengatakan, pada mulanya,  para petani mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui kementerian pertanian berupa pembukaan lahan, pemberian pupuk, obat-obatan dan benih. Namun benih komoditas yang diminta untuk ditanam adalah bawang putih. Komoditas itu, menurut dia, tidak cocok dengan tanah disana sehingga hasilnya gagal panen dan akhirnya tidak ada yang bisa dijual. Kondisi itu diperburuk dengan tidak bisanya para petani menanam di lahan untuk produksi pada tahap kedua. Pasalnya, mereka tak lagi mendapatkan bantuan apapun, termasuk pendampingan. Sementara itu, Kementan berdalih petani harus mandiri setelah diberikan bantuan pada tahap pertama. 

Di sisi lain, pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si. menyatakan, sejak awal dicanangkan, program ini sudah diproyeksikan membawa kegagalan dan mengancam ruang hidup generasi.

“Berbagai persoalan tersimpan di dalamnya. Mulai dari masalah teknis, seperti ketidaksesuaian faktor agroklimat di kawasan tersebut dengan komoditas yang akan ditanam, masih minimnya infrastruktur pendukung, dan aspek keekonomisannya. Kalaupun program tersebut mau dipaksakan, akan memakan anggaran yang sangat besar,” ungkapnya.


Konflik Agraria

Peristiwa banjir yang terjadi di Desa Simangulampe, Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatra Utara merupakan efek dari aktifitas alih fungsi lahan dimana sebanyak 9,258.98 ha lahan hutan produksi mengalami kritis. Pasalnya,  kita ketahui bersama bahwa perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan akan meningkatkan potensi bencana seperti banjir akibat perubahan pola aliran sungai, tanah longsor, hilangnya akar vegetasi yang stabil, dan kekeringan sebagai akibat dari perubahan tata air alamiah.


Dampak Buruk

Banjir yang terjadi awal Desember di kabupaten Humbahas menyisakan banyak luka. Bagaimana tidak, daerah ini merupakan daerah dataran tinggi namun harus mengalami banjir bandang akibat alih fungsi lahan. Luasnya area lahan yang dialihfungsikan menyebabkan pohon-pohon di wilayah ini tak mampu lagi menahan air hujan dalam jumlah yang besar. Akibatnya, banjir dan longsor pun tak terelakkan. Ada banyak dampak buruk yang dirasakan oleh warga sekitar akibat banjir yang terjadi, diantaranya :
Pertama,  sulitnya akses air bersih dan rumah yang terdampak banjir dan longsor membuat korban mudah terserang penyakit. Khususnya anak-anak. Mereka kehilangan tempat tinggal yang aman dan nyaman untuk mereka berlindung dari panas matahari dan dinginnya hujan. 
Kedua,  hilangnya akses pendidikan. Gagalnya food estate dan hadirnya banjir serta longsor membuat para korban khususnya anak-anak sulit mendapat akses pendidikan yang layak. Pasalnya, rumah mereka terendam banjir, maka secara otomatis mereka harus pindah ke tempat yang aman dan nyaman. Belum lagi akses mereka ke sekolah,  mereka butuh transportasi yang mendukung.
Ketiga, melumpuhkan ekonomi keluarga. Hadirnya banjir dan longsor membuat para ayah kehilangan pekerjaan mereka. Tak jarang pada akhirnya anak dan istri harus ikut membantu bekerja untuk memulihkan perekonomian keluarga tersebut. Akhirnya, anak-anak tidak punya pilihan lain selain putus sekolah. Sehingga kemiskinan akan semakin meningkat jika bencana-bencana yang terjadi akibat kelalaian ini tidak segera diselesaikan secara tuntas.


Pandangan Islam

Tanah merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Bahkan, sampai mati pun manusia masih membutuhkan tanah. 

Ketaatan kepada pemilik aslinya, yaitu Allah Taala tidak boleh diabaikan, termasuk dalam mengatur kepemilikan dan pengelolaan tanah. Pengaturan ini harus diserahkan pada aturan Islam. Sudah berapa banyak bencana muncul akibat ulah dan keserakahan manusia? Ini mengindikasikan bahwa pengaturan alam tidak akan tercipta secara adil dan seimbang jika tidak diatur dengan cara Islam.

Bagaimana Islam mengatur dan mengelola lahan? Berikut mekanismenya :
Pertama, penguasa dalam Islam bertindak sebagai ra’in dan junnah, yakni melayani kepentingan rakyat dan melindungi serta menjamin penghidupan mereka. Dengan pandangan ini, tidak ada ceritanya penguasa melayani kepentingan korporat atau oligarki. Penguasa wajib menjadikan rakyat sebagai tugas utama mereka dalam mengemban amanah kepemimpinan.
Kedua, mengatur kepemilikan lahan. Dalam Islam ada tiga jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Dalam aspek kepemilikan individu, setiap individu berhak memiliki dan memanfaatkan lahan pertanian, perkebunan, lahan untuk kolam, dan sebagainya, baik lahan tersebut diperoleh melalui jual beli, warisan, atau hibah.
Dalam aspek kepemilikan umum, yakni lahan yang terdapat harta milik umum, berupa fasilitas umum (hutan, sumber mata air, dll.); barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas; jalan, laut, dan sebagainya tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh individu. Semua lahan milik umum, negara mengelolanya untuk kemaslahatan umum. Berdasarkan konsep kepemilikan ini, maka tidak diperbolehkan tanah hutan diberikan izin konsesi kepada swasta/individu baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kawasan pertanian.
Dalam aspek kepemilikan negara, yakni lahan yang tidak berpemilik serta lahan yang ditelantarkan lebih dari 3 tahun akan dikuasai oleh negara, dikelola dan dimanfaatkan sesuai kepentingan negara. Islam menetapkan hak kepemilikan tanah akan hilang jika tanah tersebut dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara boleh memberikan tanah tersebut kepada orang lain yang mampu mengelolanya.
Ketiga, menetapkan sanksi tegas bagi pelanggar syariat Islam, seperti penebang liar, perusak alam, dan segala aktivitas yang menimbulkan kerugian bagi lingkungan dan masyarakat. Tentu sanksi yang diberlakukan sesuai pandangan Islam.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar