Gencatan Senjata dan Masa Depan Krisis Palestina


Oleh : Nikita Shopia S.pd

Pihak penjajah Zionis dan pejuang Palestina di Gaza akhirnya sepakat, gencatan senjata diperpanjang hingga dua hari ke depan, terhitung mulai Senin (27-11-2023) waktu setempat. Sebelumnya Zionis dan Pejuang Palestina sudah menyepakati gencatan senjata sementara atau jeda perang selama 4 hari, yakni Jumat-Senin tanggal 24-27 November 2023.

Kesepakatan yang dimediasi Qatar dan Mesir ini setidaknya memberi kesempatan kepada korban pendudukan untuk sedikit bernapas dan memenuhi berbagai keperluan, termasuk memeriksa rumah mereka yang sudah menjadi reruntuhan.

Sejauh ini, bantuan kemanusiaan sudah masuk ke Gaza meski belum sesuai kebutuhan. Pertukaran sandera dengan tawanan pun sudah berjalan dalam tiga tahapan. Tercatat, hingga Ahad (25-11-2023), pihak pejuang Palestina di Gaza sudah membebaskan sandera sebanyak 58 orang. Sementara itu, pihak penjajah sudah membebaskan tawanan sipil Palestina yang dipenjara sebanyak 117 orang. Target gencatan senjata kedua akan ada tambahan 20 orang sandera dan 60 tawanan yang dibebaskan.


Kesepakatan Setengah Hati

Sebagaimana diketahui, selain menewaskan lebih dari 15 ribu warga sipil Palestina dan nyaris 40 ribu luka-luka, serangan brutal Zi*nis yang sudah berlangsung lebih dari 49 hari telah membuat Gaza benar-benar lumpuh. Pemukiman dan fasilitas umum hancur lebur, termasuk rumah sakit, sekolah, pasar, dan tempat ibadah.

Stok bahan makanan, air bersih, bahan bakar, listrik, obat-obatan, dan alat kesehatan pun sudah sangat kritis dan nyaris habis, padahal wilayah Palestina sudah mulai memasuki musim hujan. Bisa dibayangkan kesulitan yang akan dihadapi warga Palestina, khususnya Gaza dan Tepi Barat hari-hari ini ke depan.

Beberapa hari sejak serangan penjajah ke Gaza, pemimpin Qatar sebenarnya sudah menginisiasi gencatan senjata atas dasar kemanusiaan. Kepada AS dan pihak penjajah, Qatar menawarkan untuk menjadi mediator antara mereka dan pihak pejuang Gaza. Alasannya, agar warga sipil Gaza bisa segera mendapat bantuan kemanusiaan dan kedua belah pihak bisa saling bertukar sandera dan tawanan.

Saat itu, korban tewas tercatat “baru” sekitar 1.200 orang. Namun, pihak penjajah masih bergeming. Serangan brutal terus dilancarkan hingga korban sipil di Gaza dan Tepi Barat terus berjatuhan. Sebagian besar di antara mereka adalah kaum perempuan dan anak-anak. Itulah yang mendorong Qatar dan Mesir untuk terus melakukan negosiasi, hingga terbentuklah sel multilateral antara Qatar, AS, dan penjajah lainnya, dan akhirnya terjadilah kesepakatan rahasia soal gencatan senjata yang hasilnya diumumkan pada Rabu (22-11-2023).

Pihak penjajah memang tampak tidak punya pilihan. Propaganda kebohongan dan playing victim soal alasan menggempur Gaza benar-benar tidak laku di dunia internasional. Gelombang protes dan kutukan malah terus terjadi di mana-mana, termasuk yang dilakukan warga Yahudi sendiri, baik di wilayah pendudukan maupun di Amerika.

Seruan boikot produk penjajah serta alotnya menghentikan perlawanan pasukan pejuang di Gaza bahkan bisa membuat ekonomi mereka kolaps. Institute for National Security Studies (INSS), pada Senin (27-11-2023) merilis data, apabila perang tidak segera berhenti, kerugian yang diderita Netanyahu secara keseluruhan bisa mencapai US$53,5 miliar (Rp830 triliun), hampir 10% dari PDB-nya.

Adapun isi kesepakatan yang berhasil dibuat adalah penghentian serangan sementara dan kebolehan masuknya bantuan medis dan makanan ke Gaza dalam waktu empat hari saja. Kedua pihak juga sepakat untuk saling bertukar sandera dengan warga Palestina yang bertahun-tahun ditawan penjajah tanpa alasan dan proses pengadilan.

Hari Senin (27-11-2023), setelah empat hari gencatan tahap pertama selesai, para pihak kembali sepakat memperpanjang perjanjian hingga dua hari ke depan terhitung sejak Selasa (28-11-2023). Tujuannya adalah untuk membebaskan lebih banyak sandera Yahudi di pihak pejuang Gaza atau tahanan warga sipil Palestina di penjara-penjara horor penjajah.


Bukan Akhir Perang

Bagi pihak penjajah, jeda kemanusiaan ini jelas bukan akhir ambisi untuk menguasai penuh wilayah Gaza, bahkan Palestina. Setelah kesepakatan, Netanyahu bahkan berkata dengan jemawa, “Kami akan kembali dengan kekuatan penuh untuk mencapai tujuan kami, melenyapkan Hamas, memastikan Gaza tidak seperti semula, dan tentu saja pembebasan semua sandera kami.”

Hal ini memang niscaya. Sejak awal perang, target mereka adalah satu: merebut wilayah Gaza dengan cara apa pun, termasuk melakukan genosida! Itulah sebabnya mereka secara sengaja terus melakukan teror di tengah jeda, tidak peduli apa kata dunia.

Sebagaimana ramai diberitakan, sepanjang gencatan senjata tahap pertama, pihak penjajah tak henti berbuat curang. Brigade Syuhada Al-Aqsha merilis kabar melalui media sosial, bahwa pada Ahad malam (26-11-2023) lalu, pasukan penjajah menyerbu Kamp Aqabat Jabr dengan peluru berat dan alat peledak rakitan hingga memicu pertempuran.

Kabar tersebut tentu tidak terlalu mengejutkan karena sejak hari pertama kesepakatan pun, sebagian besar pengungsi yang berusaha kembali ke rumah mereka di Gaza Utara justru ditembaki oleh pasukan penjajah. Alasannya, daerah tersebut adalah zona perang. Aljazeera melaporkan, dalam insiden tersebut setidaknya ada dua warga Gaza yang syahid dan sebelas lainnya luka-luka.

Bahkan, tidak hanya di Gaza, setelah kesepakatan, pembantaian dan kekejaman entitas Yahudi malah terus meningkat di Tepi Barat. Kementerian Palestina merilis laporan, korban tewas akibat kekejaman tentara penjajah di sana sudah lebih dari 200 orang. Begitu pun kasus-kasus pengusiran, pencurian dan perusakan lahan-lahan pertanian warga Palestina oleh pemukim ilegal Yahudi terjadi makin intens dan brutal setiap hari.

Dilaporkan juga bahwa Ahad kemarin terjadi penembakan rumah warga oleh pasukan penjajah di sebelah timur Kamp Al-Maghazi di Jalur Gaza tengah. Breaking news Aljazeera pada Selasa (28-11-2023) juga merilis wawancara dengan Wali Kota Gaza yang menyebut bahwa pasukan penjajah membakar limbah sehingga terjadi penyebaran gas dan asap beracun ke atmosfer Jalur Gaza. Pada saat yang sama, air hujan terkumpul di Jalur Gaza yang dikhawatirkan akan menimbulkan bencana baru karena tidak ada listrik yang bisa mengoperasikan pompa untuk mengalirkannya.

Walhasil, banyak yang pesimis perang akan berakhir setelah gencatan senjata. “Solusi dua negara” besutan Amerika pun kian tidak mendapat tempat di hati penduduk Palestina. Terlebih faktanya, pihak penjajah tidak mengerti bahasa manusia. Bagi mereka, penduduk Palestina tidak lebih dari kotoran yang harus dibersihkan sebersih-bersihnya.


Hidden Agenda Pengusung Kapitalisme Global

Banyak pihak yang bertanya, kenapa penjajah dan sekutunya tampak tetap jemawa? Bukankah kekuatan mereka sejatinya selemah rumah laba-laba?

Selama ini mereka tampak kuat karena menang propaganda. Nyaris semua media massa raksasa adalah milik mereka. Namun, kebenaran tetap menemukan jalannya. Berbagai kanal media sosial pun tampil sebagai saluran yang membuka mata dunia bahwa narasi soal kedigdayaan Zionis dan sekutunya, termasuk Amerika, sekadar ilusi.

Sejatinya, krisis Palestina tidak boleh dilihat sebagai masalah ambisi Zionis Yahudi menguasai tanah Palestina semata. Sejarah tentang konstelasi politik dunia menunjukkan bahwa negara-negara kapitalis adalah trouble maker sesungguhnya. Merekalah yang sejak awal membidani dan mengasuh entitas Zionis hingga terus membesar dan pada akhirnya berhasil mengeklaim sebuah negara di tanah Palestina. Mereka pula yang hingga sekarang setia menjadi beking penjajahannya.

Tujuan mereka adalah menciptakan krisis abadi di jantung dunia Islam. Maklum, potensi SDA melimpah ruah di sana. Lalu, pada saat yang sama, ada ancaman politik dan ideologis bagi lawan-lawannya. Terlebih pascaperadaban sosialisme tumbang pada era 90-an, potensi kebangkitan Islam menjadi sumber bahaya baru bagi langgengnya hegemoni peradaban kapitalisme global yang eksis karena penjajahan.

Saat ini, kepemimpinan dunia sedang dipegang oleh Amerika. Tidak heran jika Amerika begitu berkepentingan turut campur dalam berbagai persoalan dunia, termasuk mengintervensi krisis Palestina. Alih-alih turut menyelesaikan sebagaimana koar-koar soal perdamaian dan perang atas segala bentuk penjajahan, pihak Amerika justru turut serta secara legal mendukung penjajahan, termasuk upayanya melakukan genosida.

Tidak bisa ditutup-tutupi, jika kian hari hegemoni AS di Timur Tengah dan dunia sedang menghadapi ancaman besar. Geliat perjuangan Khilafah di satu sisi, serta kehadiran raksasa ekonomi Cina di kawasan Timur Tengah di sisi yang lain, telah menjadi bom waktu bagi politik ekonomi Amerika. Itulah kenapa Amerika berkepentingan membuat chaos di kawasan, meski risikonya, sumber daya ekonomi dan imej politiknya harus siap dipertaruhkan.

Kegemarannya turut campur dalam persoalan negara luar tentu harus dibayar dengan sangat mahal. Bantuan dana perang Gaza yang diberikan AS kepada Zionis sebanyak Rp225 triliun ternyata belum cukup membantu penjajah memenangi peperangan. Sedangkan selama 77 tahun pendudukan Palestina, AS setidaknya sudah membantu pendudukan Zionis sebanyak Rp4.127 triliun. 

Wajar jika rencana AS menambah dana bantuan mendapat penentangan dari mayoritas rakyatnya karena keuangan Amerika terus memburuk akibat keterlibatannya dalam perang Ukraina-Rusia, serta akibat besarnya pendanaan yang dikeluarkan demi menghadapi agresi Cina di Laut Cina Selatan. Namun, Amerika pun tidak mungkin membiarkan Zionis kalah dalam peperangan karena risikonya pun tidak kalah besar.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar