Ilusi Bahan Pangan Murah Untuk Rakyat


Oleh : Ummu Niki

Harga sejumlah bahan pangan terpantau masih bergerak naik. Dan dalam setahun terakhir, harga beras dan cabai diam-diam telah naik gila-gilaan.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat, ada 9 komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga lebih dari 10% dari harga acuan atau eceran yang ditetapkan pemerintah. Sementara itu, Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian perdagangan (Kemendag) menunjukkan, sejumlah harga bahan pangan pokok bahkan sudah mengalami kenaikan 90% lebih.

Dikhawatirkan kenaikan harga ini bisa berlanjut hingga momen pergantian tahun. Pasalnya, pada momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) biasanya harga pangan ikut naik imbas meningkatkan permintaan.

Mahalnya harga pangan menunjukkan negara gagal menjamin kebutuhan pangan murah.  Negara seharusnya melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi kenaikan harga karena berbagai persoalan.  Namun hari ini mustahil terwujud ketika negara hanya menjadi regulator.

Diketahui, harga sejumlah kebutuhan, termasuk pangan pokok, terus melangit. Harga beras hampir konsisten naik sebanyak 30% selama tujuh tahun terakhir. Harga minyak goreng naik 55%, gula pasir 11%, daging 29%, dan cabai 113%. Sedangkan lebih dari 50% pengeluaran rumah tangga untuk membeli pangan. Akibatnya, keuangan banyak keluarga akan makin runyam tersebab pengeluaran yang terus naik, tetapi di sisi penghasilan malah cenderung turun
 
Di tengah kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang tidak seberapa, harga pangan pokok malah makin tinggi. Sementara itu, Indonesia adalah negeri yang telah Allah Swt. berkahi dengan berlimpahnya SDA, termasuk pangan. Tanahnya yang subur dan lautnya yang luas terhampar berbagai jenis pangan. Namun, sungguh ironi yang memilukan, kini negeri kaya SDA rakyatnya kelaparan akibat harga pangan yang terus naik.

Negara seharusnya mampu mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan dengan berbagai cara sehingga  Masyarakat selalu terpenuhi kebutuhan  akan bahan pangan dengan mudah. 

Banyak faktor yang menyebabkan harga pangan naik, mulai dari persoalan teknis hingga politis. Diantaranya yaitu iklim ekstrem. Kemarau panjang menjadikan produktivitas tidak optimal dan akhirnya stok menurun. Namun demikian, seharusnya persoalan iklim tidak menjadi kendala besar sebab meskipun di suatu daerah ada yang mengalami penurunan, produksi masih bisa dipasok dari daerah lain.

Faktor yang selanjutnya yaitu persoalan luas lahan pertanian yang kian menurun. Persoalan ini lebih pada persoalan politis sebab luas lahan yang kian menurun lebih besar disebabkan oleh kebijakan pembangunan infrastruktur yang ambisius tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan ruang hidup rakyat. Alhasil, banyak sawah dan perkebunan rakyat yang tergusur hanya untuk membangun infrastruktur yang nilai kebermanfaatannya tidak sebanding dengan kerusakan yang diperoleh.

Kemudian persoalan keterbatasan sarana produksi pertanian, mulai dari benih hingga permasalahan subsidi pupuk. Petani kian sulit mendapatkan benih karena harganya mahal sebab penguasaan swasta terhadap saprotan makin besar.

Dan yang tak kalah penting adalah kebijakan impor. Dalam jangka pendek, impor mungkin bisa menjadi solusi atas kelangkaan pangan. Namun kebijakan impor harus penuh perhitungan sebab dalam jangka panjang dapat membahayakan kedaulatan pangan negara. Seharusnya, negeri yang kaya akan SDA bisa mandiri dalam mengelola pangannya, tidak tergantung dengan impor. Derasnya impor akan mematikan gairah petani untuk produksi, menjadikan negara bergantung pada impor, dan pada gilirannya dapat mengikis ketahanan pangan dan kedaulatan pangan Indonesia. 

Jika sudah bergantung pada impor, stabilisasi harga pangan pun kian tidak menentu. Keterjangkauan harga pangan pun kian mahal sebab yang mengendalikan harga bukan lagi penawaran dan permintaan, melainkan kartel perusahaan besar.

Melihat faktor terbesar naiknya harga pangan adalah persoalan politis, patut kiranya kita mengevaluasi konsep ekonomi yang bercorak kapitalistik neoliberal yang menjadi  tata kelola negeri ini.

Sistem inilah yang paling bertanggung jawab terhadap persoalan tingginya harga pangan. Sistem ini menjadikan negara berlepas tangan dalam mengurusi umat. Sistem ekonomi ini memosisikan negara sebagai sebatas regulator, sedangkan seluruh pengurusan umat dialihkan pada swasta. Jika sudah oleh swasta, seluruh orientasi pengaturannya tentu berdasarkan profit semata. Korporasi hanya bicara mengenai keuntungan melimpah, tidak peduli ada sebagian rakyat yang kekenyangan, sedangkan yang lainnya mati kelaparan.

Oleh karena itu, bagai mimpi pada siang bolong berharap agar harga pangan menjadi murah dalam sistem hari ini. Melihat akar masalahnya terletak pada tata kelola dan penguasa abai, sudah selayaknya keduanya digantikan dengan Islam yang terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Islam akan mengembalikan fungsi sahih negara, yaitu sebagai raa’in (penanggung jawab) dan junnah (pelindung rakyat). Fungsi sahih ini hanya ada pada sistem pemerintahan islam, sedangkan sistem pemerintahan demokrasi akan memustahilkan kedua fungsi ini berjalan, apalagi secara optimal. Rasulullah saw. menegaskan, “Imam (Khalifah) raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).

Dari hadis di atas jelas bahwa penguasa adalah pihak yang paling bertanggung jawab menjamin seluruh kebutuhan umat, terutama kebutuhan pangan, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Tata kelola pemerintahan Islam menjadikan negara mengambil peran penting dalam menjaga stabilitas harga.

Kemudian hukum sanksi akan tegas bagi siapa saja yang melakukan kecurangan, seperti penimbunan, praktik riba, kartel.

Sudah selayaknya menggantinya dengan sistem ekonomi Islam yang tegak dalam sistem Khilafah Islamiah agar keberkahan dan kesejahteraan dapat segera tercapai. Islam menjadikan penguasa sebagaai ra’in yang wajib mengurus rakyat dan memenuhi kebutuhannya. Negara harus melakukan segenap cara untuk mewujudkan hal itu. Dan Islam memiliki berbagai mekanisme untuk menjaga kestabilan harga pangan di tengah umat. Wallahualam. 





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar