Kurikulum Merdeka Belajar, Bisakah Menjadi Solusi?


Oleh: Nuryanti

Tanggal 25 November 2023 diperingati sebagai hari guru nasional. Tema yang diusung pada tahun ini adalah “Bergerak Bersama, Rayakan Merdeka Belajar”. Tema tersebut selaras dengan kurikulum pendidikan saat ini. Kurikulum merdeka belajar dibuat untuk mewujudkan SDM unggul Indonesia yang mempunyai profil pelajar pancasila. 

Pendidikan merupakan kualitas suatu bangsa. Tanpa pendidikan, generasi penerus tidak  memiliki cukup pengetahuan untuk memajukan suatu bangsa. Maka tujuan dari kurikulum adalah hal yang penting dalam pendidikan. Jika diperhatikan, berbagai kurikulum telah silih berganti, namun generasi justru semakin amburadul.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa generasi saat ini memiliki berbagai masalah serius, mulai dari kriminalitas seperti melakukan pembunuhan, penganiayaan, pelaporan terhadap guru, tawuran, fenomena begal, dan sejenisnya. Belum lagi bullying, gangguan mental, hingga tingginya angka bunuh diri. Masalah seperti itu telah jelas bahwa kurikulum saat ini tidak tepat dan bermasalah. Kurikulum pendidikan yang berasaskan sekularisme adalah akar permasalahannya. Paham sekularisme menjadikan agama terpisah dari kehidupan. Maka keimanan dan ketakwaan tidak diajarkan disekolah. Hal tesebut dianggap perkara pribadi. Akhirnya lahirlah generasi yang tidak beradab, brutal dan memuaskan egonya tanpa batasan syariat. 

Lebih dari itu, sekularisme juga mempertahankan ide kapitalisme yang berorientasi materi. Hal ini sangat berbahaya, sebab generasi hanya didorong untuk menjadi pekerja yang menghasilkan uang. Maka wajar jika pendidikan saat ini gagal mencetak generasi yang mulia.

Sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam mampu menjadikan generasi sebagai sosok yang mulia. Ini telah terbukti sepanjang penerapan sistem Islam dalam naungan daulah Khilafah. Sebagai bukti, bisa membaca biografi generasi Islam yang cemerlang. Seperti Imam Syafi'i, adalah seorang mujtahid dan panglima perang. Dalam Islam, gelar mujtahid maupun mujahid adalah gelar yang mulia, gelar yang bisa diraih oleh seseorang dengan ketinggian berfikir dan keimanannya. Dan di masa Khilafah, sosok seperti Imam Syafi'i begitu banyak ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan Islam dalam mencetak generasi menjadi pilar-pilar  pengokoh dan penjaga peradaban. Bukan generasi yang sakit seperti dalam sistem saat ini.

Keberhasilan ini ditopang dalam sistem pendidikan yang jelas, matang, dan shohih. Syaikh Atha’ bin Khalil dalam kitabnya “Usus at ta'lim fi daulah al Khilafah" menjelaskan tujuan pendidikan dalam Islam adalah: membentuk kepribadian Islam, menguasai pemikiran Islam dengan handal, menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi), dan memiliki keterampilan tepat guna dan berdaya guna.

Dengan tujuan pendidikan seperti ini harus sejalan dengan asas Islam yakni membentuk syakhsiyah Islam atau kepribadian Islam. Maka sekolah dan perguruan tinggi dalam Khilafah harus membentuk para pelajar yang berkepribadian Islam. Tolak ukurnya adalah ketika seseorang memiliki aqliyah  dan nafsiah Islam, hal ini harus sejalan. Dalam pembentukan ini tidak mudah dan tidak instan, untuk mendapatkan pendidikan seperti itu maka metode pembelajaran dilakukan secara talaqiyan fikriyan. Yaitu metode pemindahan ilmu kepada seseorang sebagai sebuah pemikiran dengan cara menstransfer hasil penginderaan terhadap fakta melalui panca indra ke otak kemudian dihubungkan dengan informasi sebelumnya yang telah terbukti benar kepastiannya untuk digunakan menginterprestasi fakta tersebut.

Sebagai contoh pada tingkat TK dan SD akan dikenalkan bahwa Allah sebagai Al Khaliq  Maha Pencipta, dan Al Mudabbir yang Maha Pengatur. Pengenalan ini harus sampai kepada keyakinan yang kuat, sehingga setiap siswa memiliki keimanan yang kokoh. Mereka yakin bahwa Allah yang menciptakan seluruh alam semesta dan sebagai hamba harus terikat kepada syariat Allah SWT.

Mindset inilah yang akan digunakan untuk menghukumi perbuatan mereka sehingga para pelajar akan peka terhadap permasalahan umat Islam. Materi ini akan diajarkan secara berkelanjutan dan makin mendalam hingga perguruan tinggi.

Sistem pendidikan Islam tidak hanya berfungsi pada Negara, akan tetapi bersifat menyeluruh dan Islam juga mewujudkan para orang tua mendidik anak-anak mereka dengan akidah dan syariat Islam sejak dini. Rumah adalah tempat pendidikan pertama atau utama bagi anak-anak dan masyarakat. 

Islam mensyariatkan amar makruf nahi mungkar serta tolong menolong sebagai budaya di tengah-tengah masyarakat. Dengan adanya kepribadian keluarga, masyarakat, dan Negara Islam, maka akan menjamin keberhasilan membentuk generasi muda yang berkualitas. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh sistem Islam dalam naungan daulah Khilafah. Wallahu a’lam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar