Oleh : Anita
Kawasan inti Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, dilanda banjir, 17 Maret 2023. Banjir ini disebut bukan hanya disebabkan tingginya curah hujan, kelerengan, dan topografi. Melainkan juga dampak rusaknya lingkungan akibat tata kelola sumber daya hutan dan lahan di IKN selama ini. (Kaltimtoday.co, Penajam (22/05/23))
Penilaian itu didukung data Forest Watch Indonesia (FWI) yang mencatat, di keseluruhan kawasan IKN terdapat 83 perusahaan tambang, 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan 4 perusahaan kehutanan.
Praktek industri ekstraktif di kawasan IKN ini dinilai telah banyak mengubah lanskap hutan dan lahan yang sekarang ditunjuk sebagai kawasan IKN. Setidaknya dalam kurun waktu 2018-2021 di kawasan IKN telah terjadi kehilangan hutan alam seluas 18 ribu hektare atau setara 1,6 kali luas Kota Bogor.
Sekarang, kerusakan bentang alam semakin parah karena adanya pembangunan di kawasan IKN seperti untuk bendungan, intake sepaku, dan untuk gedung-gedung perkantoran serta aktivitas bukaan lainnya yang luasnya hanya dalam kurun waktu 6 bulan terakhir mencapai 14 ribu hektare. Tingginya perubahan tutupan hutan dan lahan itu disebut memengaruhi banyaknya air yang seharusnya disimpan menjadi air tanah kemudian dibuang menjadi air limpasan (run off).
Pengkampanye Hutan FWI Agung mengungkapkan, kejadian banjir yang terjadi di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, letaknya berada di DAS Riko Manggar. Luas DAS Riko Manggar mencapai 220,8 ribu hektar. DAS itu meliputi Kecamatan Balikpapan Barat, Balikpapan Tengah, Balikpapan Utara, Balikpapan Kota, serta Loa Janan, Loa Kulu, Long Kali, Penajam, Samboja, Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.
Dampak Buruk
Beberapa tahun terakhir, bencana alam kerap terjadi, utamanya banjir. Tidak jarang musibah tersebut berdampak besar bagi tatanan dan ruang hidup masyarakat yang terdampak, terutama kalangan perempuan dan anak-anak. Merekalah kelompok paling rentan terhadap bencana. Apa saja dampaknya?
Pertama, lebih berisiko cedera dan terjangkit penyakit. Ketika bencana terjadi, perempuan dan anak-anak lebih berisiko mengalami cedera, bahkan kematian. Melubernya air ke permukiman warga membuat ketersediaan air bersih berkurang. Ketika akses air bersih sulit, akan menimbulkan masalah kesehatan seperti wabah penyakit yang rentan dialami perempuan dan anak-anak.
Bencana banjir juga bisa menimbulkan korban jiwa, baik karena terseret arus banjir atau karena luapan air yang tidak dapat diprediksi. Dalam kondisi ini, perempuan dan anak-anak adalah pihak yang paling berisiko karena mobilitas yang terbatas membuat mereka kesulitan menyelamatkan diri ketika musibah terjadi. Terlebih, bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, akan lebih rentan lagi terjangkit penyakit.
Kedua, kehilangan akses pendidikan. Tenggelamnya permukiman yang mengalami banjir besar mengakibatkan masyarakat terdampak akan mengungsi ke tempat yang lebih aman. Di tempat pengungsian, segala keterbatasan akan mereka alami, seperti pakaian seadanya dan kehilangan tempat tinggal. Hal ini membuat masyarakat sulit menjalankan aktivitas sehari-hari. Apalagi bencana banjir juga menyulitkan mereka dalam mengakses transportasi. Dampaknya, aktivitas para ibu terbatas dan anak-anak kesulitan untuk bersekolah.
Mengutip dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), anak-anak perempuan lebih berisiko kehilangan akses ke pendidikan akibat bencana alam. Contohnya, di wilayah yang mengalami cuaca ekstrem, banyak anak perempuan yang tidak mampu berangkat sekolah sehingga membatasi waktu dan kesempatan mereka untuk belajar.
Ketiga, melumpuhkan perekonomian keluarga. Banjir dapat merusak rumah dan isi rumah atau prasarana umum lainnya. Selain itu, masyarakat terdampak banjir kesulitan bekerja saat banjir terjadi. Tentu saja hal ini akan menimbulkan kerugian finansial bagi masyarakat.
Kemudian, banyak anak perempuan yang hidup dalam kemiskinan harus membantu ibu mereka melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mengambil air dan kayu bakar. Tugas-tugas ini akan menjadi lebih sulit karena bencana sehingga akhirnya membuat anak perempuan tidak punya pilihan selain putus sekolah.
Lumpuhnya ekonomi keluarga membuat anak kehilangan akses pendidikan, beban ibu bertambah, dan sulitnya ayah mencari nafkah di tengah kepungan banjir, longsor, dan bencana lainnya. Alhasil, transmisi angka kemiskinan melalui bencana alam akan makin bertambah jika tidak ada pencegahan dan penanganan bencana secara fundamental.
Akar Masalah
Dampak-dampak buruk yang telah disebutkan di atas tidak lain karena ulah tangan manusia melalui regulasi alih fungsi lahan. Semua ini menjadi malapetaka bagi alam, manusia, dan kehidupan. Watak rakus penguasa kapitalistik berupaya mengubah lahan-lahan hutan dan pertanian menjadi lahan-lahan yang bernilai ekonomi dan komersial, seperti pembangunan perumahan, hotel, pertambangan, dan sebagainya.
Proyek-proyek oligarki bertebaran bak jamur pada musim hujan. Proyek yang lebih banyak mengubah fungsi hutan menjadi perkebunan, pertambangan, pembangunan jalan tol, dan lainnya telah mengubah lahan hutan yang memiliki fungsi klimatologis menjadi bencana ekologis.
Kebijakan penguasa kapitalis sarat dengan kepentingan para oligarki. Bukti nyatanya adalah lahirnya UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 yang ditentang banyak pihak. Inilah wajah buruk sistem demokrasi kapitalisme. Demokrasi meniscayakan lahirnya oligarki kekuasaan. Kapitalisme meniscayakan lahirnya penguasa yang memuluskan kepentingan oligarki.
Tata Kelola Lahan dalam Islam
Tanah sangat penting bagi kehidupan manusia. Bahkan, sampai mati pun kita masih membutuhkan tanah. Ketaatan kepada pemilik aslinya, yaitu Allah Taala tidak boleh diabaikan, termasuk dalam mengatur kepemilikan dan pengelolaan tanah. Pengaturan ini harus diserahkan pada aturan Islam.
Sudah berapa banyak bencana muncul akibat ulah dan kserakahan manusia? Ini mengindikasikan bahwa pengaturan alam tidak akan tercipta secara adil dan seimbang jika tidak diatur dengan cara Islam.
Solusi
Bagaimana Islam mengatur dan mengelola lahan? Berikut mekanismenya.
Pertama, penguasa dalam Islam bertindak sebagai ra’in dan junnah, yakni melayani kepentingan rakyat dan melindungi serta menjamin penghidupan mereka. Dengan pandangan ini, tidak ada ceritanya penguasa melayani kepentingan korporat atau oligarki. Penguasa wajib menjadikan rakyat sebagai tugas utama mereka dalam mengemban amanah kepemimpinan.
Kedua, mengatur kepemilikan lahan. Dalam Islam ada tiga jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Dalam aspek kepemilikan individu, setiap individu berhak memiliki dan memanfaatkan lahan pertanian, perkebunan, lahan untuk kolam, dan sebagainya, baik lahan tersebut diperoleh melalui jual beli, warisan, atau hibah.
Dalam aspek kepemilikan umum, yakni lahan yang terdapat harta milik umum, berupa fasilitas umum (hutan, sumber mata air, dll.) barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas seperti jalan, laut, dan sebagainya tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh individu. Semua lahan milik umum, negara mengelolanya untuk kemaslahatan umum. Berdasarkan konsep kepemilikan ini, maka tidak diperbolehkan tanah hutan diberikan izin konsesi kepada swasta/individu baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kawasan pertanian.
Dalam aspek kepemilikan negara, yakni lahan yang tidak berpemilik serta lahan yang ditelantarkan lebih dari 3 tahun akan dikuasai oleh negara, dikelola dan dimanfaatkan sesuai kepentingan negara. Islam menetapkan hak kepemilikan tanah akan hilang jika tanah tersebut dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara boleh memberikan tanah tersebut kepada orang lain yang mampu mengelolanya.
Ketiga, menetapkan sanksi tegas bagi pelanggar syariat Islam, seperti penebang liar, perusak alam, dan segala aktivitas yang menimbulkan kerugian bagi lingkungan dan masyarakat. Tentu sanksi yang diberlakukan sesuai pandangan Islam.
Khatimah
Sistem Islam benar-benar menjaga fungsi hutan untuk kemaslahatan rakyat. Negara mengelola hutan hanya untuk kepentingan rakyat. Dengan penguasa yang me-riayah, masyarakat dapat terlindungi, dan kebutuhan perempuan dan anak-anak akan tercukupi.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar