Oleh : Anita
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menghadiri dan memberikan sambutan pada Rapat Koordinasi (Rakor) Lintas Sektoral dalam rangka Pengamanan Natal 2023 dan Tahun Baru 2024. Selain Menag dan Kapolri, rakor dihadiri Panglima TNI, Menteri Perhubungan, Menteri PUPR, Wakil Menteri Kemenparekraf, dan sejumlah lembaga terkait. Jakarta, (Kementrian agama co.id)
Menag menyampaikan, pemerintah akan merayakan Natal Nasional tanggal 27 Desember 2023 di Surabaya sebagaimana diputuskan panitia. Ia menyebut, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menjadi Ketua Umum Natal Nasional tahun ini.
"Kenapa Surabaya dipilih, salah satu keinginannya bahwa Natal tidak semata milik umat Kristiani, tapi seluruh agama terutama bangsa Indonesia. Natal harus dirayakan bersama dengan bahagia, agar Natal bisa mencerminkan kebersamaan bangsa Indonesia," ujar Menag, Kamis (07/12/2023).
Kemenag juga, lanjut Menag, sudah melakukan koordinasi dengan tokoh-tokoh agama agar selama peringatan Nataru nanti, khutbah dan ceramah-ceramah yang disampaikan tokoh agama lebih bersifat moderat, memberikan pemahaman dan penguatan keberagaman umat.
Setiap Natal dan tahun baru umat Islam selalu dihadapkan pada pendangkalan akidah. Atas nama pluralisme, toleransi dan moderat umat Islam diminta untuk ikut merayakan natal bersama. Tokoh agama diminta andil bersama pemerintah untuk ikut memoderatkan umat. Padahal jelas ini berbahaya bagi akidah umat. Negara gagal melindungi akidah umat, negara dengan sistem kapitalis sekuler justru merusaknya.
Isu moderasi agama makin menguat. Kemenag di bawah Yaqut adalah di antara pihak yang paling gencar mengkampanyekan moderasi agama akhir-akhir ini. Isu ini terus diangkat sebagai isu yang seolah penting. Tentu sejalan dengan isu radikalisme yang juga terus-menerus diciptakan dan digembar-gemborkan. Padahal jelas, isu radikalisme tak jelas juntrungannya. Apa dan siapa yang disebut kelompok radikal, masih samar. Yang tidak samar, isu radikalisme hanyalah kelanjutan dari isu terorisme yang sudah usang dan sudah tidak laku.
Sebagaimana isu terorisme, isu radikalisme selalu menyasar kalangan Muslim. Terutama tentu mereka yang berpegang teguh pada agamanya, yang selalu berusaha terikat dengan syariahnya, bahkan yang menginginkan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Lalu pada saat yang sama, diangkatlah moderasi agama sebagai antitesisnya.
Akar Masalah
Paham moderasi agama secara garis besar adalah paham keagamaan yang moderat. Moderat sering dilawankan dengan radikal. Kedua istilah ini bukanlah istilah ilmiah, tetapi cenderung merupakan istilah politis. Kedua istilah ini memiliki maksud dan tujuan politik tertentu. Sebabnya, moderat adalah paham keagamaan (Islam) yang sesuai selera Barat. Sesuai dengan nilai-nilai Barat yang notabene sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Sebaliknya, radikal adalah paham keagamaan (Islam) yang dilekatkan pada kelompok-kelompok Islam yang anti Barat. Mereka adalah pihak yang menolak keras sekularisme. Mereka inilah yang menghendaki penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Sejak peledakan Gedung WTC 11 September 2001, AS telah memanfaatkan isu terorisme sebagai bagian dari skenario globalnya untuk melemahkan Islam dan kaum Muslim. Untuk itu, para peneliti kemudian menganjurkan beberapa pilihan langkah bagi AS. Salah satunya adalah mempromosikan jaringan ”Islam moderat” untuk melawan gagasan-gagasan “Islam radikal”.
Lebih dari itu, dalam Dokumen RAND Corporation 2006 bertajuk, “Building Moderate Muslim Networks” disebutkan bahwa kemenangan AS yang tertinggi hanya bisa dicapai ketika ideologi Islam terus dicitraburukkan di mata mayoritas penduduk di tempat tinggal mereka. Salah satunya dengan labelisasi “radikal”, “fundamentalis”, “ekstremis”, dll.
Mantan Presiden AS George W Bush pernah menyebut ideologi Islam sebagai “ideologi para ekstremis”. Bahkan oleh mantan PM Inggris Tony Blair, ideologi Islam dijuluki sebagai “ideologi setan”. Hal itu ia nyatakan di dalam pidatonya pada Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris (2005). Blair lalu menjelaskan ciri-ciri “ideologi setan” yaitu: (1) Menolak legitimasi Israel; (2) Memiliki pemikiran bahwa syariah adalah dasar hukum Islam; (3) Kaum Muslim harus menjadi satu kesatuan dalam naungan Khalifah; (4) Tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.
Inilah yang dianggap sebagai paham keagamaan kelompok-kelompok radikal. Jika demikian, sikap keagamaan moderat adalah yang sebaliknya, yakni: (1) Menerima legitimasi Israel; (2) Memiliki pemikiran bahwa syariah bukanlah dasar hukum Islam; (3) Kaum Muslim tidak harus menjadi satu-kesatuan dalam naungan Khalifah; (4) Mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.
Pluralisme Agama dan Natal Bersama
Di antara sikap beragama yang dipandang moderat adalah keterbukaan terhadap pluralisme. Pluralisme adalah paham yang cenderung menyamakan semua agama. Semua agama dianggap benar oleh para pengusung pluralisme. Sebabnya, kata mereka, semua agama sama-sama bersumber dari “mata air” yang sama. Sama-sama berasal dari Tuhan.
Karena itu tidak aneh jika kaum pluralis rajin mempromosikan toleransi beragama yang sering kebablasan. Wujudnya antara lain seperti: ucapan Selamat Natal kepada kaum Nasrani, Perayaan Natal Bersama, doa bersama lintas agama, shalawatan di gereja, dll. Semua itu tentu telah melanggar batas-batas akidah seorang Muslim. Telah mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Semua itu bisa membuat seorang Muslim murtad (keluar) dari Islam.
Solusi
Nabi Muhammad saw. telah memerintahkan umatnya untuk selalu waspada agar tidak tergelincir dalam kesesatan dengan mengikuti keyakinan dan perilaku para penganut agama lain. Beliau antara lain bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ؟!
“Hari Kiamat tak akan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR al-Bukhari No. 7319).
Beliau pun bersabda:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟!
“Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal. Bahkan andai mereka masuk lubang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nasranikah mereka?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR al-Bukhari No. 7320).
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fath al-Bari, menerangkan bahwa Hadis No. 7319 berkaitan dengan ketergelinciran umat Islam karena mengikuti mereka dalam masalah tata negara dan pengaturan urusan rakyat. Adapun Hadis No. 7320 berkaitan dengan ketergelinciran umat Islam karena mengikuti mereka dalam masalah akidah dan ibadah.
Dalam konteks akidah dan ibadah, misalnya, ada sebagian Muslim yang berpendapat tentang kebolehan mengucapkan Selamat Natal kepada kaum Nasrani, bahkan kebolehan mengikuti Perayaan Natal Bersama. Padahal jelas, segala bentuk ucapan selamat dan apalagi mengikuti perayaan hari-hari besar orang kafir adalah haram.
Dasarnya antara lain:
Pertama, firman Allah SWT yang menyatakan salah satu sifat hamba-Nya (‘Ibâd ar-Rahmân):
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
…dan mereka tidak menyaksikan kepalsuan… (QS al-Furqan [25]: 72).
Ketika menafsirkan ayat ini Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menyatakan, “Maknanya adalah tidak menghadiri dan menyaksikan setiap kebohongan dan kebatilan. Az-Zûr adalah setiap kebatilan yang dihiasi dan dipalsukan. Zûr yang paling besar adalah berlaku syirik dan mengagungkan berhala. Ini adalah penafsiran Adh-Dhahhak, Ibnu Zaid dan Ibnu Abbas ra.
Dalam pandangan Islam, Peringatan Natal adalah kebatilan/kebohongan. Alasannya, Peringatan Natal adalah peringatan atas kelahiran Nabi Isa as. sebagai salah satu oknum Tuhan. Jelas, majelis yang di dalamnya ada pengakuan bahwa Isa as. adalah anak Tuhan adalah majelis yang batil.
Kedua, Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا
Sungguh setiap kaum mempunyai hari raya dan ini (Idul Adha dan Idul Fitri) adalah hari raya kita (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dari sini dapat dipahami bahwa setiap umat mempunyai hari raya sendiri-sendiri, Karena itu umat Islam tidak perlu ikut–ikutan merayakan hari raya umat yang lain.
Selain itu Sayidina Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata:
إِجْتَنِبُوْا أَعْدَاءَ اللهِ فِيْ عِيْدِهِمْ
Jauhilah oleh kalian musuh-musuh Allah (kaum kafir) pada hari raya mereka (HR al-Bukhari dan al-Baihaqi).
Karena itu Imam Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafii (w. 911 H) berkata:
وَ اعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ عَلَى عَهْدِ السَّلَفِ السَّابِقِيْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مَنْ يُشَارِكِهِمْ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ
Ketahuilah bahwa tidak pernah ada seorang pun pada masa generasi salaf dari kaum Muslim yang ikut serta dalam hal apa pun dari perayaan mereka (Haqiqat as-Sunnah wa al-Bid’ah, hlm. 125).
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah—ulama mazhab Hanbali—juga berkata:
وَأَمَّا التَّهْنِئَةُ بِشَعَائِرِ الْكُفْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ فَحَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ مِثْلَ أَنْ يُهَنِّئَهُمْ بِأَعْيَادِهِمْ وَصَوْمِهِمْ، فَيَقُولَ: عِيدٌ مُبَارَكٌ عَلَيْكَ، أَوْ تَهْنَأُ بِهَذَا الْعِيدِ، وَنَحْوَهُ، فَهَذَا إِنْ سَلِمَ قَائِلُهُ مِنَ الْكُفْرِ فَهُوَ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ، وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ أَنْ يُهَنِّئَهُ بِسُجُودِهِ لِلصَّلِيبِ
Adapun memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi kaum kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, “Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu.” Bisa juga dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib.” (Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Kitab Ahkâm Ahl adz-Dzimmah, 1/441).
Dari semua hal tersebut di atas, jelaslah bahwa kaum Muslim dilarang ikut dalam Perayaan Natal, apalagi yang dilakukan di dalam gereja, termasuk sekadar mengucapkan Selamat Natal kepada kaum Nasrani. Karena itu fatwa MUI tanggal 7 Maret 1981, yang mengharamkan umat Islam merayakan Hari Natal sudah tepat. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
—*—
Hikmah:
Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii (w. 974 H) berkata:
وَمِنْ أَقْبَحِ الْبِدَعِ مُوَافَقَةُ الْمُسْلِمِينَ النَّصَارَى فِيْ أَعْيَادِهِمْ بِالتَّشَبُّهِ بِأَكْلِهِمْ وَالْهَدِيَّةِ لَهُمْ وَقَبُولِ هَدِيَّتِهِمْ فِيْهِ
Di antara bid’ah yang paling buruk adalah kaum Muslim mengikuti kaum Nasrani dalam hari raya-hari raya mereka, meniru-niru mereka dengan memakan makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka dan menerima hadiah dari mereka.”
Itulah pandangan Islam terhadap perayaan Natal dan tahun baru. Semoga Umat kita di jauhkan dari paham pluralisme, toleransi dan moderasi ini, Hanya negara dalam sistem Islam yang menjaga akidah umat. Mewujudkan kebersamaan umat tidak melanggar akidah dan syariat Islam.
Wallahu a'lam bisshowwab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar