Perempuan Berdaya Ala Kapitalisme Lewat Peringatan Hari Ibu


Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)

Setiap  tahun Peringatan Hari Ibu Nasional jatuh pada tanggal 22 Desember. Hari Ibu Nasional 2023 ini adalah peringatan ke-95 tahun sejak 1928. Peringatan Hari Ibu (PHI) yang dilaksanakan setiap tanggal 22 Desember adalah momentum bangsa untuk mengenang dan menghargai perjuangan perempuan Indonesia. Momentum ini juga memaknai kembali PHI sebagai tonggak gerakan perempuan Indonesia untuk berkontribusi aktif memajukan bangsa dan negara.

Dilansir situs resmi KemenPPPA, Hari Ibu Nasional di Indonesia adalah dari kebangkitan perjuangan perempuan Indonesia yang dimulai sebelum masa kemerdekaan. Hal ini ditandai dengan perjuangan pahlawan perempuan di berbagai daerah, seperti Tjuk Njak Dien di Aceh, Nyi Ageng Serang di Jawa Barat, R.A Kartini di Jawa Tengah, dan masih banyak lagi.

Pada tahun 1908 setelah kelahiran Budi Utomo, banyak lahir perkumpulan perempuan di berbagai daerah, seperti Aisiyah, Wanita Katolik, Putri Merdeka, dan lain-lain. Kemudian, Kongres Pemuda Indonesia I pada 30 April-2 Mei 1928 menempatkan perempuan sebagai satu titik sentral pembahasan mengenai kedudukannya dalam masyarakat Indonesia.

Kemudian, pada 22-25 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia untuk pertama kali di Yogyakarta. Kongres I telah melahirkan langkah besar bagi kehidupan perempuan Indonesia. Berikut ini poin-poin hasil Kongres I tersebut:
Tercapainya pembentukan sebuah organisasi perempuan solid, yang ditandai dengan kelahiran sebuah organisasi perempuan yang dinamakan "Perikatan Perempuan Indonesia". Melahirkan tiga mosi yang keseluruhannya berorientasi pada kemajuan perempuan, yaitu:
- Tuntutan penambahan sekolah rendah untuk anak perempuan Indonesia
- Perbaikan aturan dalam hal taklik nikah
- Perbaikan aturan tentang sokongan untuk janda dan anak yatim pegawai negeri.
Berdasarkan peristiwa penting Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu Nasional. Hal ini dianggap merupakan tonggak sejarah kebangkitan perempuan Indonesia.


Pemberdayaan ala Kapitalisme

Momentum Peringatan Hari Ibu nyatanya tidak dibarengi kualitas hidup perempuan. Perempuan menjadi pihak yang paling terdampak saat krisis global, seperti banyaknya korban PHK dari kalangan pekerja perempuan atau banyaknya korban kekerasan di tempat kerja. Di rumah pun perempuan mengalami persoalan, dari mulai KDRT hingga pernikahan anak dengan motif ekonomi.

Inilah yang menjadikan berbagai pihak terus berusaha untuk meningkatkan peran perempuan agar tidak lagi dianggap kaum lemah yang termarjinalkan. Budaya patriakal harus dihilangkan, pendidikan dan kesempatan kerja harus sama dengan laki-laki. Seluruh norma yang mendeskriditkan derajat perempuan harus dihilangkan.

Solusi atas keterpurukan perempuan yang terus digaungkan para pegiat gender adalah mendorong para perempuan agar berdaya. Perempuan harus memiliki kemandirian ekonomi agar mampu terlepas dari kungkungan laki-laki dan mampu bersaing. Dari sini diyakini akan mampu menaikkan status sosial mereka. Sehingga selesailah persoalan perempuan.
Pemberdayaan ekonomi perempuan terus digenjot. Para ibu digiring untuk memiliki penghasilan sendiri agar tidak bergantung pada suaminya. Program yang sedang diaruskan oleh kampanye peringatan Hari Ibu kali ini, yaitu tentang kewirausahaan perempuan melalui UMKM, juga ekonomi digital.

Perempuan dibuat terperdaya dengan seruan agar berdaya. Padahal makna berdaya adalah perempuan menghasilkan value (materi). Para ibu dipaksa keluar rumah untuk bekerja. Jika tidak bisa bekerja karena kerepotan menjalani peran gandanya. Mereka digiring untuk berkontribusi aktif pada bisnis online yang nyatanya sama-sama mengalihkan tugas utamanya. Inilah pemberdayaan ibu dalam sudut pandang kapitalisme. Seseorang disebut berdaya ketika ia mampu menghasilkan materi sehingga seorang ibu yang bangun paling pagi dan tidur paling akhir, dianggap tidak produktif lantaran tidak mengahasilkan materi.

Perempuan berdaya pada gilirannya akan mampu menaikan derajat mereka. Inilah yang oleh para feminisme dijadikan tahapan menuju terciptanya keadilan gander. Sebab menurut mereka akar persoalan permasalahan perempuan bermuara dari ketidakadilan gander. Namun demikian, pembacaan mereka bukan hanya keliru tapi juga menambah persoalan baru.

Dalam sudut pandang kapitalisme perempuan difokuskan kepada aktivitas publik untuk menghasilkan materi, tidak menganggap penting fungsi utamanya sebagai isteri dan ibu. Fungsi utama perempuan justru dipersoalkan dan dianggap sebagai penyia-nyiaan waktu dan tenaga perempuan karena pekerjaan itu tidak dibayar. Penyebabnya yakni ide feminisme dan kapitalisme liberal yang sengaja diaruskan dan dibenakkan pada perempuan.


Kapitalisme Akar Persoalan 

Feminisme menegasikan fakta bahwa yang terdampak akibat krisis ekonomi bukan hanya perempuan, tetapi juga para laki-laki. Laki-laki yang di PHK jauh lebih banyak dari perempuan. Belum lagi persoalan upah rendah, diskriminasi, dan kekerasan terhadap pekerja laki-laki pun tidak kalah banyaknya. Oleh karena itu, dari sini kita bisa lihat, sesungguhnya akar persoalan yang menimpa perempuan dan laki-laki adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme.

Sistem ini telah nyata terus menerus menciptakan krisis yang menyebabkan kemiskinan. Kekerasan yang sering terjadi di dunia kerja pun adalah ulah sistem ini. Mereka yang merasa kuat akan dengan mudahnya menindas yang lemah. Upah besi yang menjadi trademark industri kapitalisme menjadikan perekonomian para buruh terus bertengger di batas garis kemiskinan.

Kekerasan seksual pada perempuan bukan semata lahir dari budaya patriakal, tetapi lahir dari budaya liberal yang membebaskan setiap tingkah laku manusia. Bahkan, yang merendahkan derajat perempuan sejatinya adalah sistem ini. Dalam kapitalisme, perempuan disejajarkan dengan komoditas yang bisa diekspolitasi kapan saja. Manusia termasuk di dalamnya perempuan hanya dianggap faktor produksi sehingga derajatnya tidak lebih tinggi dari uang. Untuk itu, wajar saja nyawa manusia mudah melayang hanya karena uang.

Kecacatan sudut pandang yang keliru ini melahirkan banyak problem, misalnya tingginya kenakalan remaja, yang ternyata tumbuh seiring dengan hilangnya pengasuhan dari orang tua mereka. Lalainya orang tua dalam pengasuhan lantaran sibuk bekerja menjadi faktor terbesar tingginya kenakalan remaja. Lemahnya sistem pendidikan sekuler dalam menciptakan individu kuat dan masifnya budaya liberal dari media, berpadu dengan benteng keluarga yang rapuh hanya akan menghasilkan generasi sampah.


Peran Ibu  dalam Islam

Pemberdayaan  Ibu dalam Islam bukanlah dengan menjadikan mereka produktif menghasilkan materi, melainkan menjadikan para ibu optimal dalam seluruh perannya yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah.

Inilah sudut pandang yang lahir dari akidah Islam bahwa tolak ukur perbuatan seseorang bukan berdasarkan keuntungan materi, tetapi berdasarkan halal dan haram. Setidaknya ada tiga peran ibu yang jika amanah ini maksimal dijalankan, niscaya persoalan akan terselesaikan.

Peran ummun wa robbatul bait, yaitu seorang ibu dan manager rumah tangga. Perempuan telah Allah Taala titipkan rahim untuk mengandung dan melahirkan seorang anak, maka pengasuhan kepada anak-anaknya adalah perkara yang wajib.

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS At-Tahriim: 6)

Begitu pun fungsinya sebagai robbatul bait, yaitu mengatur rumah tangga. Ibu harus menciptakan rumah agar nyaman dan kondusif bagi penghuninya untuk beribadah dengan optimal. Di bahu ibulah seluruh anggota keluarga mendapatkan aliran kasih sayang yang melimpah.

Kedua, peran ibu sebagai madrosatul ula. Hafiz Ibrahim mengungkapkan “Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq”. Artinya, ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.

Ketiga, peran ibu sebagai ummu ajyal atau ibu generasi. Seorang ibu pun harus juga peduli dengan anak-anak kaum muslim lainnya. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa bangun di pagi hari tidak memikirkan urusan kaum muslimin maka dia bukan golonganku.” (HR Ath-Thabrani)

Wallahu alam bishawab 





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar