Perempuan Berdaya atau Diperdaya?


Oleh: Astriani Lydia, S.S

Hari Ibu Nasional diperingati pada 22 Desember setiap tahunnya. Peringatan tahunan ini sudah ada sejak 1928 dan mengusung tema yang berbeda-beda.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA) telah merilis tema Hari Ibu 2023 yaitu 'Perempuan Berdaya, Indonesia Maju.'

Selain tema besar yang dirilis KemanPPPA, ada juga tema-tema lain yang bisa digunakan untuk merayakan Hari Ibu.

Berbagai sumber menyebut, sejarah singkat peringatan Hari Ibu pada 22 Desember mengacu pada momentum Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928.

Kongres tersebut dinilai sebagai salah momen penting dalam sejarah perempuan Indonesia. Selain itu, Kongres Perempuan Indonesia I ini diikuti oleh berbagai perempuan dari berbagai wilayah di Indonesia.

Mereka semua memiliki visi dan misi yang sama dalam memerdekakan dan memperbaiki nasib kaum perempuan tanah air.

Setelah Kongres Perempuan Indonesia I berhasil dilaksanakan, dalam Kongres Perempuan Indonesia III mulai diputuskan Hari Ibu pada 1938.

Selanjutnya, tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu nasional melalui Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959. (cnnindonesia.com/17/12/2023)

Hari ini, Ibu berdaya dimaknai ibu menghasilkan materi/uang, dan juga berpolitik praktis. Peran ibu mengalami pembajakan karena seharusnya ibu adalah pendidik generasi.  Mirisnya hari ini marak problem generasi dalam segala aspek, seperti seks bebas, kecanduan narkoba dll. Maka sungguh perlu adanya revitalisasi peran ibu sebagai pendidik generasi.  

Dengan berbondong-bondongnya perempuan ke ranah publik dan meninggalkan peran domestik mereka sebagai ibu pendidik generasi, justru yang akan didapatkan bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran. Artinya, bukan berdaya, tetapi justru diperdaya.

Mengapa diperdaya? Karena saat ini banyak kaum ibu yang menghabiskan waktunya untuk bekerja dan meninggalkan peran domestiknya dengan berbagai alasan, sebagian terpaksa karena impitan ekonomi, sebagian lagi sibuk bekerja demi karier mengejar kedudukan dan materi, tidak sedikit mereka yang meninggalkan anak-anak, bahkan yang masih sangat kecil ataupun bayi. Perempuan berdaya bukan berdaya menjadi ibu dan pendidik generasi, melainkan menjadi perempuan produktif dari sisi memiliki penghasilan, punya karier, jabatan, kedudukan secara sosial ekonomi ataupun politik, dan mampu bersaing dengan kaum laki-laki di berbagai sektor kehidupan.

Alhasil para ibu lebih disibukkan dengan bekerja mengejar kebutuhan ekonomi, sementara anak-anak dibesarkan oleh internet dan gawai, maka jadilah mereka anak anak yang jauh dari pengurusan ibunya. Mereka menjadi korban pemikiran rusak sekularisme liberalisme, sehingga jauh dari aqidah mereka. 

Hari ibu hendaknya diisi dengan mengingat kembali peran utama seorang perempuan, yakni menjadi ibu, pengasuh, penjaga, sekaligus pendidik generasi. 

Perempuan berdaya dalam perspektif Islam adalah ketika perempuan mampu menjalankan semua kewajiban yang Allah tetapkan baginya, baik terkait peran utamanya di ranah domestik sebagai ummu wa rabbatul bayt (ibu pengatur rumah suaminya), sebagai ummu ajyal (pendidik generasi), maupun peran lainnya di ranah publik.

Seandainya kaum perempuan mengetahui betapa mulianya tugas ibu dan mengetahui betapa besarnya balasan di sisi Allah bagi kaum perempuan yang menjalankan tugas tersebut, pastilah kaum perempuan tidak ada yang mau meninggalkannya. Bahkan, Rasulullah saw. menyatakan amalan kaum perempuan menyamai amalan-amalan besar yang dilakukan kaum laki-laki. 

Ketika Asma binti Yazid menanyakan amalan bagi kaum perempuan untuk menyamai amalan-amalan besar yang dilakukan kaum laki-laki, Rasulullah saw. bersabda, “Kembalilah, wahai Asma’, dan sampaikan pada para perempuan yang ada di belakangmu, bahwasanya perilaku baik salah seorang di antara mereka terhadap suami mereka, usahanya untuk mendapatkan rida suaminya, dan ketundukan mereka untuk selalu taat pada suami mereka, maka itu semua akan mengimbangi pahala dari amalan yang telah kamu sebutkan.” Kemudian Asma’ kembali sembari bertahlil dan bertakbir karena merasa gembira dengan sabda Rasulullah tersebut.

Islam tidak melarang perempuan ikut serta dalam berbagai aktivitas di ranah publik, seperti bekerja menjadi guru, dosen, tenaga ahli pertanian, bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan, dan lainnya. Hanya saja, semua itu harus dalam batas aturan Islam, dan tidak mengabaikan peran utamanya sebagai istri dan ibu pendidik generasi.

Alhasil, semua peran itu bisa dijalankan kaum perempuan secara sempurna ketika sistem Islam diterapkan oleh negara. Mustahil perempuan akan berdaya dan tidak diperdaya ketika negara masih menerapkan sistem selain sistem Islam. 

Wallahu a'lam bishshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar