Rohingya Tanggung Jawab Siapa?


Oleh : Masrina Sitanggang, S.Pd (Guru dan Aktivis Dakwah)

Belakangan ini, banyak berita yang memuat tentang muslim Rohingya yang terdampar di pantai Aceh. Berdasarkan data terakhir yang dirilis situs resmi Wapresri (4-12-2023), jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia ada 1.487 orang. Mereka tersebar di Sabang, Pidie, Bireun, Aceh Besar, dan Lhokseumawe. Jumlah itu pun terus bertambah. Bahkan beberapa hari terakhir ini lebih dari 1.000 orang berusaha masuk ke Aceh setelah mereka menempuh 1.800 km perjalanan laut yang berisiko sangat besar.

Pengungsian mereka ke Indonesia bukan tanpa alasan, pembantaian etnis Rohingya yang terjadi di negaranya, mengharuskan mereka untuk menyelamatkan diri dan keluarganya ke daerah yang bersedia mengulurkan tangan sehingga mampu  melanjutkan kehidupan yang layak untuk keluarganya. Mereka meminta pertolongan disepanjang tempat yang mereka singgahi, diketahui bahwa masyarakat Aceh memang membuka pintu untuk menolong para pengungsi yang nyaris kehilangan harapan.
Namun makin kesini, banyak muncul berita yang simpang siur tentang masalah yang ditimbulkan oleh oknum pengungsi Rohingya, bahkan disebut sebagai orang yang "dikasih hati minta jantung alias tidak tahu diri"  Viral juga di media sosial beberapa pengungsi yang mengeluhkan bantuan logistik, terutama makanan yang tidak sesuai keinginan. Atau video pengungsi yang kemuslimannya diragukan karena tidak bisa membaca Al-Quran. 

Apabila kita telisik lebih dalam, muslim Rohingya memang sudah lama menjadi sasaran genosida di Myanmar. Karena identitas mereka sebagai warga negara telah dihapuskan, sehingga mereka terusir dari wilayah yang sudah di tempati nenek moyang mereka dari ratusan tahun sebelumnya, bahkan lebih  mirisnya lagi banyak kaum muslimin Rohingya yang dibakar hidup-hidup. Sehingga mereka yang tersisa tidak punya pilihan lain untuk hidup kecuali menyelamatkan diri ke negara-negara tetangga yang bersedia menampung mereka.

Hidup dalam bayang-bayang mengerikan membuat sebagian besar dari mereka tidak mampu menempuh pendidikan sebagaimana layaknya. hal ini menjadi pelopor kurangnya pemahaman mereka dalam hal keilmuan termasuk ilmu agama. Demikian juga terkait makanan yang masih kurang dalam porsi mereka, bisa kita bayangkan berapa lama mereka tidak makan selama dalam perjalanan, bahkan ada yang mengatakan mereka berlayar selama 42 hari, dengan menggunakan kapal sederhana untuk membelah laut yang menegangkan. Ada saudara-saudara yang harus mereka saksikan meregang nyawa dikapal. Sungguh  mimpi buruk yang sedang mereka hadapi.

Mereka sudah berabad-abad tinggal di Myanmar, terutama di Rakhine, Arakan. Tanah tersebut secara de facto merupakan milik mereka. Hanya saja, pergolakan politik yang panjang atas dasar isu agama, serta makar imperialis kolonial yang diwariskan dari masa ke masa, membuat muslim Rohingya menjadi terjajah di tanahnya sendiri. Keadaan ini makin parah ketika kelompok ekstrem Buddha dan junta militer Myanmar berkuasa. Pada 1982 pemerintah bahkan menerbitkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang tidak menyebut etnis Rohingya di dalamnya. Sejak saat itulah, penduduk Rohingya resmi menjadi entitas tanpa negara (stateless).

Konsekuensinya, penduduk muslim Rohingya hidup tanpa identitas kewarganegaraan manapun. Mereka sama sekali tidak punya hak sipil dan kerap mendapat perlakuan zalim. Bahkan puncaknya, pada 2017 hingga 2019 terjadi upaya genosida yang dilakukan penguasa junta militer Myanmar. Desa-desa mereka dihancurkan, dan ratusan ribu etnis Rohingya disiksa dan dibunuh dengan tidak berperi kemanusiaan. Keadaan ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum nakal, yang menjanjikan tempat pengungsian damai untuk mereka dengan membayar uang hingga mencapai Rp. 20 juta. Apabila kita perhatikan lebih dalam mayoritas korbannya adalah kaum perempuan dan anak-anak.

Kita memang tidak bisa berharap pada negara-negara adidaya, atau lembaga-lembaga internasional, semisal PBB, UNHCR, maupun lembaga-lembaga lain yang ada di semua levelnya. Ini karena prinsip-prinsip yang ada pada mereka, termasuk narasi soal HAM dan konsep negara bangsa terbukti hanyalah alat untuk melanggengkan hegemoni kapitalisme global. Mereka tidak tertarik berserius untuk menyelesaikan sehingga persoalan ini akan tetap menjadi tugas yang harus diselesaikan umat Islam.

Jika sudah demikian, kepada siapa Rohingya harus meminta perlindungan?Siapa yang bertanggung jawab atas keadaan yang menimpa mereka? 

Negara-negara seakan menutup mata dari tangisan mereka. Bahkan PBB yang katanya polisi dunia tidak bisa memberikan solusi. Setiap negara sibuk mengurus wilayah masing-masing tanpa melirik saudaranya yang tertindas, hal ini terjadi karena sekat-sekat nasionalisme sudah tertancap kuat dihati mereka, tanpa menghiraukan adanya  ikatan ukhuwah yang jauh lebih kuat dari sebatas ikatan kebangsaan. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam Surah Al-Anfal : 72 yang artinya, "...(Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."

Jika disadari ukhuwah antara kaum muslimin bahkan tidak akan terpisahkan oleh apapun, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah bahwa hubungan antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling melengkapi. Bangunan tidak akan berdiri kalau salah satu komponennya tidak ada ataupun rusak. Hal itu menggambarkan betapa kokohnya hubungan antara sesama umat islam.

Keberadaan seorang pemimpin kaum muslimin sangat dibutuhkan dalam hal ini, karena Khalifah yang akan menjadi perisai pertama untuk setiap warga negaranya, bahkan kaum muslimin di seluruh belahan dunia. Keberadaanya semata-mata sebagai pelaksana aturan yang telah Allah perintahkan, termasuk dalam hal penjagaan setiap nyawa, jiwa, harta dan kehormatan setiap insan. Bisa kita berkaca dengan sejarah para Khalifah terdahulu yang menjalankan syariat Islam dan menjadi tameng bagi seluruh kaum muslimin.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam di seluruh dunia bersama-sama mengikhtiarkan terwujudnya satu sistem kepemimpinan Islam global, yang akan menghapus sekat-sekat imajiner bernama negara. Khalifah akan menyelesaikan segala bentuk penderitaan umat dan membebaskan mereka dari kezaliman para pemimpin kufur di mana pun mereka berada.

Inilah yang dulu dimiliki umat Islam. Di bawah naungan Khilafah, seluruh warga negara, muslim dan nonmuslim, benar-benar merasakan hidup mulia, sejahtera, dan terjaga. Berapa tidak, semua urusan mereka diurus berdasarkan ketetapan-ketetapan syariat, keamanan dan kehormatan mereka pun benar-benar dijaga.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar