Sertifikat Elektronik : Mampukah menjadi Solusi Masalah Tanah yang Pelik


Oleh : Wahyuni Mulya (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Pemerintah pusat resmi meluncurkan sertifikat tanah elektronik secara nasional pada Senin, 4 Desember 2023. Digitalisasi dilakukan sebagai upaya untuk menekan konflik lahan. Sertifikat tanah elektronik juga memberikan kemudahan akses bagi pemilik tanah untuk mendapatkan informasi data secara real time melalui aplikasi Sentuh Tanahku. "Dalam aplikasi Sentuh Tanahku terdapat fitur notifikasi jika terjadi perubahan data dalam Sertipikat Tanah Elektronik," tutup Hadi Tjahjanto, Menteri Agraria dan Tata Ruang.


Keamanan Data

Menteri Agraria dan Tata Ruang menjelaskan mengenai adanya anggapan bahwa data sertifikat tanah elektronik mudah diretas. Hal itu disampaikan saat memberikan Kuliah Umum kepada Taruna dan Taruni Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), di Pendopo STPN, Sleman, pada Kamis (07/12/2023). "Memang semua itu (diretas) kemungkinan ada, tapi untuk sistem yang kami bangun, blockdata menuju ke blockchain, untuk meretas harus melewati beberapa barrier, beberapa pagar."

Kebijakan ini sebelumnya telah dikritik oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika yang menyatakan bahwa langkah pembuatan sertifikat tanah elektronik untuk saat ini belum dibutuhkan alias bukan hal yang mendesak dan prioritas, sebab masih adanya bagian-bagian yang belum terhubung seperti pendaftaran tanah sistematis di seluruh wilayah Indonesia.
 
Belum lagi hal tersebut justru memicu pertanyaan baru bagi masyarakat tentang bagaimana validasi tersebut dilakukan, apakah sepihak oleh BPN dan pemohon institusi pemerintah serta badan usaha?

Sebagaimana kita ketahui bahwa tanah-tanah yang telah bersertifikat hari ini pun banyak yang bermasalah seperti tidak sesuainya ukuran, tumpang-tindih, sedang dalam kasus sengketa atau berperkara di pengadilan, sedangkan sistem antar instansi seperti pengadilan belum terhubung. Justru langkah yang diambil pemerintah ini memicu memperparah konflik agraria.


Islam Mengatur Persoalan Pertanahan

Semua ini sungguh akan berbeda ketika ditangani dengan sistem Islam. Islam memandang tanah sebagai bagian dari segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, yang hakikatnya adalah milik Allah SWT semata.

Allah SWT berfirman, “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24]: 42).

Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57]: 2).

Kemudian Rasulullah ï·º juga bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Sungguh, Allah Swt. sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-Nya. Syariat Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara rinci. Tanah dapat dimiliki dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui: (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan (6) iqtha (pemberian negara kepada rakyat).

Di sini jelas, masalah kepemilikan tanah adalah untuk produksi bukan semata kepemilikan, apalagi untuk konsumsi. Kepemilikan tanah tetap ada jika produksi ada. Dan hak kepemilikan tanah akan hilang jika produksi tidak terealisasi. Ini karena tanah memiliki sifat tetap berproduksi meski tidak ada campur tangan siapa pun. Oleh karena itu, hukum Islam menjadikan tujuan kepemilikan tanah tidak terpisahkan dari kepemilikan tanah.

Sementara itu, sistem Islam juga mengatur personil pejabat yang layak untuk menjalankan pemerintahan dan administrasi. Seperti pada masa Rasulullah dalam menegakkan struktur pemerintahan, beliau juga selaku kepala negara. Rasulullah menjalankan fungsi-fungsi kepala negara sejak tiba di Madinah hingga beliau wafat. Dan beliau telah menyempurnakannya semasa hidupnya.

Ketika mengangkat para pejabatnya, Rasulullah memilih mereka yang paling dapat berbuat terbaik dalam kedudukan yang akan disandangnya, selain hati yang telah dipenuhi dengan keimanan. Beliau juga bertanya kepada mereka tentang tata cara yang akan mereka jalani dalam mengatur pemerintahan.

Kemudian, yang tidak kalah urgen di sini tentu saja sisi penanaman takwa individu masyarakat. Bahwasanya, melanggar hak atas tanah berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Terkait hal ini, Aisyah ra. menuturkan, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka kelak akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis tanah.” (HR Bukhari dan Muslim).




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar