Solusi Tuntas Kasus Bulliying di Kalangan Pelajar


Oleh: Lilis Nurhayati, S.H.I

Kasus perundungan (bulliying) semakin hari semakin merebak. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat kasus perundungan di satuan pendidikan sepanjang Januari-September 2023 telah mencapai 23 kasus. Dari 23 kasus itu, dua diantaranya meninggal. Satu siswa SDN di Sukabumi meninggal setelah mendapat kekerasan fisik dari teman sebaya, satu lagi santri MTS di Blitar( Kompas 4-10-2023)

Banyak pihak sudah melakukan upaya untuk mencari penyelesaian dari kasus ini. Diantaranya, pola pengasuhan yang positif dan komunikasi terbuka dengan anak, menjadi kunci dalam mencegah anak berperilaku buruk. Sebagian mengatakan, anak tetap diberikan sanksi hukum ketika melakukan tindakan yang salah seperti bulliying, agar memberikan efek jera. Selain itu, pembentukan sekolah ramah anak, satgas sekolah, sampai penerbitan aturan Permendikbud anti kekerasan di sekolah. Akan tetapi, semua upaya tersebut tidak berhasil. Bahkan kasus perundungan semakin marak, baik di sekolah umum maupun pondok pesantren.

Berbagai kasus bulliying di kalangan pelajar kita, tidak muncul begitu saja. Ada faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah sistem kehidupan sekuler. Dalam sistem sekuler, kurikulum yang dibangun, tidak menempatkan penanaman akidah Islam sebagai basis membentuk kepribadian anak. Akibatnya, lahirlah generasi yang miskin akidah, niradab, dan jauh dari aturan agama. Kalaulah dikatakan bulliying itu merupakan dosa besar pendidikan, maka sekulerisme adalah bilang keladi munculnya dosa besar tersebut.

Sekulerisme ini telah mempengaruhi ruang hidup generasi tumbuh. Pertama, keluarga, sebagai pendidikan pertama bagi anak anak. Banyak orangtua yang lalai menanamkan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT, sehingga menjauhkan anak dari pondasi dan aturan Islam. Mereka tumbuh dengan nilai nilai sekuler yang hanya mementingkan materi, liberal dan hedonistik. Kedua, lingkungan sebagai tempat bergaul anak anak, juga terbentuk dari nilai sekuler, menciptakan karakter yang individualis, egois dan apatis. Ketiga, minimnya peran negara untuk menjaga generasi dari kerusakan. Perangkat hukum tidak mempan mencegah bulliying yang terus berulang.

Begitupun kurikulum yang diterapkan oleh negara, gagal mewujudkan generasi yang saleh dan salehah. Kurikulum saat ini sarat dengan nilai sekuler. Sekolah hanya dianggap sebagai tempat meraih prestasi akademik, tetapi kering dengan prestasi spiritual. Begitupula tontonan yang merusak, yang tidak layak ditonton, negara tidak bisa menghapusnya. Padahal tontonan tersebut memberikan dampak buruk bagi generasi, memberikan contoh perilaku permusuhan dan kekerasan yang mempengaruhi sikap anak anak untuk melakukan bulliying, dan tindakan tindakan anarkis lainnya.

Maka dari itu, pemerintah harus bersinergi untuk mengoptimalkan peran ketiga komponen yang menjadi ruang hidup generasi, yaitu, keluarga, lingkungan atau masyarakat, dan negara. Keluarga akan fokus untuk menjadi pendidik pertama bagi anak anak dengan menanamkan akidah Islam. Peran masyarakat dan sekolah sebagai pemantau dan pengawas perilaku generasi. Negara akan menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam, serta menutup segala akses yang dinilai menyimpang dari tujuan pendidikan Islam.

Sinergi semua komponen ini hanya bisa diterapkan dalam sistem Islam, oleh pemerintahan yang menerapkan aturan Islam, sebagaimana dahulu saat Islam diterapkan. Tatanan kehidupan masyarakat benar benar teratur, mencegah terjadinya bulliying, serta berhasil mewujudkan masyarakat yang berbudi luhur.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar