Waspada Pecah Belah Rakyat Dalam Masa Kampanye


Oleh: Habsah

Tahapan kampanye peserta Pemilu 2024 sudah dimulai sejak 28 November 2023.  Sedangkan kampanye pada media elektronik, cetak, dan siber dimulai dari 21 Januari hingga 10 Februari 2024. Para kontestan bersaing merebut perhatian massa dengan segala macam cara, bahkan termasuk  pencitraan, black campaign dan lain sebagainya.  Kondisi ini rawan terjadinya perselisihan dan konflik di tengah masyarakat.

Selama masa kampanye berlangsung, para kontestan pemilu akan bersaing untuk mendapatkan dukungan publik. Jika mereka terpilih, mereka akan mempromosikan visi, misi, dan program kerja mereka. Kesejahteraan, lapangan kerja, subsidi, penurunan harga bahan pokok, bantuan sosial, dan pembangunan infrastruktur adalah beberapa janji politik yang disebarkan.

Selain pencitraan diri, kampanye sering memasukkan "serangan" terhadap kekurangan calon pesaing. Bahkan, tak jarang terjadi kampanye hitam yang berarti memfitnah kandidat lain. Oleh karenanya, pertengkaran dan perselisihan sering terjadi selama kampanye. Orang-orang yang memiliki pilihan politik berbeda pun dengan mudah dapat terlibat dalam konflik. Konflik yang terjadi tidak hanya secara lisan, tetapi juga secara fisik, seperti kekerasan. Realitas seperti ini sudah biasa terjadi menjelang pemilu. Selain itu, isu dugaan kecurangan pemilu banyak bermunculan, bahkan sebelum masa kampanye dimulai. Dengan demikian, pemilu yang aman dan damai masih merupakan angan-angan semata.

Selain itu masyarakat juga sulit menganalisis perbedaan posisi dari masing-masing aktor politik, karena tidak adanya tekanan ataupun niat dari publik akan pentingnya ketegasan ideologi. Pada akhirnya, tidak ada perbedaan yang signifikan antara program kerja aktor politik satu dengan yang lainnya. Kaburnya batas ideologis antara aktor-aktor politik masa kini sangatlah nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.

Di sisi lain hal ini menguatkan bahwa Sistem pemilu demokrasi penuh dengan intrik, tipu muslihat, dan lain sebagainya. Pemilu sistem demokrasi adalah proyek politik sekulerisme dimana para oligarki kapitalis menjadi pemain utamanya. Pilpres itu sebenarnya bukan soal individu calon presiden, tapi mereka cuma dijadikan alat para oligark untuk menarik suara rakyat. Capres boleh saja beragama Islam mengingat penduduk mayoritas negeri ini muslim, namun Islam tidak akan pernah menjadi pemenang, malah sebaliknya, Islam dan ajarannya selalu menjadi tertuduh sebagai agama radikal yang membahayakan negeri ini. 

Hal ini dapat terlihat dari fakta sebelumnya yang telah diadakan sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Sebentar lagi akan menjadi pemilu ke 13 kali dengan pilpres pada tahun 2024 mendatang. Apakah akan terjadi perubahan, jawabannya tidak akan pernah terjadi perubahan menuju transformasi Islam.

Islam memandang kepemimpinan dan jabatan adalah Amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Dalam islam pemilu merupakan uslub untuk memilih wakil rakyat dengan berlandaskan akidah islam, pelaksanaan akan tertib dan lancar dan penuh kebaikan, termasuk dalam interaksi warganya. Pemilu dalam negara Islam jelas berbeda dengan Pemilu dalam sistem demokrasi. Tujuan dan orientasinya pun berbeda. Hasilnya juga pasti berbeda. Islam nyatanya mempunyai sistem Pemilu yang jauh lebih baik, ketimbang sistem pemilu yang dipraktikkan dalam sistem demokrasi. Semuanya ini membuka mata kita, bahwa Islam adalah satu-satunya ideologi, yang mempunyai sistem yang sempurna. Karena Islam datang dari Allah SWT. Dzat yang Maha Sempurna, dan Maha Tahu seluk beluk hamba-Nya.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar