Anak-Anak Berani Bunuh Diri, Kenapa Bisa Terjadi?


Oleh : Ayu Annisa Azzahro (Aktivis Dakwah Muslimah Mataram)

Miris, kasus bunuh diri anak semakin banyak terjadi. Misalnya saja di Pekalongan, Jawa Tengah. Seorang anak berusia 10 tahun menggantung dirinya dikarenakan ponsel genggamnya diambil oleh sang ibu. Siswa yang masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar itu mengambul dan mengunci diri di dalam kamarnya. Sampai kemudian ketika si ibu hendak memanggil untuk pergi mengaji, pintu kamarnya tidak kunjung dibuka. Si ibu kemudian mengintip dari lubang pintu kamar dan mendapati anaknya sudah tergantung dengan kain selendang yang ia kaitkan di jendela.

Dan sejak januari 2023 lalu, sudah ada 20 kasus bunuh diri anak. Hal itu disampaikan oleh Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar.

Nahar mengatakan bahwa para korban bunuh diri merupakan anak-anak berusia di bawah 18 tahun. Menurutnya, kebanyakan mereka yang bunuh diri disebabkan oleh depresi. "Catatan kami tahun 2023 saja kasus bunuh diri anak sudah sampai di angka 20 kasus. Penyebab, ada depresi, dugaan perundungan, dan banyak penyebabnya," kata Nahar kepada wartawan di Kantor KemenPPPA Jakarta, Jumat (10/11/2023).

Menurut Centers for Disease Control and Prevention yang dilansir dari Psychology Today, setidaknya 2 dari 1 juta anak berusia 5-11 tahun meninggal karena bunuh diri. Sebanyak 52 dari 1 juta remaja berusia 12 hingga 17 tahun pun meninggal akibat kasus yang sama.

Hal ini tentu menjadi perhatian serius mengingat usia anak yang masih belia. Ada banyak hal yang menjadi penyebab anak-anak berani melakukan bunuh diri. Beberapa di antaranya sudah disebutkan di atas oleh Nahar selaku KemenPPPA. Yakni depresi, hingga dugaan perundungan. 

Mereka yang rentan melakukan bunuh diri biasanya mengalami hal-hal seperti merasa tertekan, mudah putus asa, merasa tidak berharga, dan tidak bergairah, mudah tersinggung hingga perilaku impulsif.

Pemahaman anak terhadap bunuh diri tidak boleh disepelekan. Seorang peneliti bernama Brian Mishara melakukan riset dan menanyai 65 anak kelas 1 sampai 5 SD berusia 6-12 tahun untuk melihat apa yang mereka ketahui tentang bunuh diri dan kematian. Hasilnya, hampir semuanya mengetahui apa arti bunuh diri. Sebagian besar dari mereka mengetahui tentang bunuh diri dari televisi atau percakapan orang dewasa. Adapun cara bunuh diri yang dilakukan adalah dengan menggantung diri atau menggunakan senjata api. Berikut studi yang dilakukan oleh Arielle Sheftall di The Research Institute at Nationwide Children’s Hospital.

Semakin banyak kasus bunuh diri anak menunjukkan adanya kesalahan dalam sistem tatanan kehidupan sekarang, baik dari keluarga, masyarakat hingga negara. Lingkungan keluarga yang bermasalah, atau broken home, orangtua yang terlalu keras dalam mendidik seperti diberikannya hukuman fisik jika anak melakukan kesalahan. Perhatian dan kasih sayang yang kurang terhadap anak, orangtua yang kerap membandingkan anak dengan saudaranya sendiri pun juga dapat menyebabkan anak depresi dan merasa tidak dihargai. 

Orangtua perlu memperhatikan pula penggunaan gadget pada anak. Anak-anak merupakan fase penting dalam pertumbuhan sehingga bacaan dan tontonan perlu diperhatikan. Karena apa yang dilihatnya dan didengarnya akan terbentuk menjadi pola pikir bagi si anak. Apalagi dengan banyak gim yang tidak berfaedah juga berpengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak.

Dari segi lingkungan pun juga perlu diperhatikan, khususnya circle pertemanan mereka. Karena biar bagaimana pun pertemanan dapat mempengaruhi karakter seorang anak dan bagaimana cara dia bersikap. Negara pun kudu memperhatikan dengan saksama penyebab-penyebab anak melakukan tindakan bunuh diri serta melakukan berbagai macam pencegahan agar tidak terjadi hal serupa.

Jika kita berpikir lebih jauh, yang menjadi penyebab terjadinya bunuh diri pada anak bahkan orang dewasa ini adalah pola pikir dan pola sikap dari asing atau Barat yang banyak di-copy paste oleh masyarakat, baik anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Negara seharusnya menjadi pihak pertama yang mem-filter pemikiran-pemikiran asing. 

Apalagi jika kita melihat lebih dalam lagi bahwa negara sekarang menggunakan asas sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan sehingga masyarakat tidak menggunakan aturan dari pencipta dalam melakoni kehidupannya. Berikut juga dalam sistem pendidikannya membuat generasi berpikir tujuan pendidikan dan hidup mereka hanya untuk mengejar materi dan kesenangan duniawi. Pun juga dengan sistem liberalisme yang memberikan kebebasan dalam berpikir, beragama, berkepemilikan dan berperilaku. 

Berbeda dengan sistem yang diatur dalam islam. Islam memperhatikan tumbuh kembang anak dan menjaga kekuatan mental anak melalui pendidikan anak yang  berkualitas. Islam memiliki sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam yang mampu melahirkan generasi hebat dalam berkarya dan kuat iman dan kuat mental. Dikarenakan islam dijadikan asas dalam negara dan negara akan menciptakan pendidikan yang membentuk kepribadian islami kepada generasi. 

Aqidah islam inilah yang akan menjaga mental generasi. Mereka akan memahami betul mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang sudah ditakdirkan mana pula ranah yang mereka kuasai. Berikut juga akan memahami tujuan hidup, khususnya kaum muslim adalah mengejar ridho Allah dan kebahagiaan sejatinya bisa didapat dengan mentaati Allah swt sebagai pencipta. Ketika islam diterapkan dalam kehidupan tentu dijamin tidak akan ada generasi-generasi yang lemah fisik dan mental serta terjaga imun dan imannya. 

Wallahu a'alam.
 




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar