Oleh: Rusmiati
Pemerintah terus berupaya menekan konsumsi rokok oleh masyarakat. Salah satunya dengan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT), rata-rata sebesar 10 persen mulai 10 Januari 2024. Selain itu, untuk mengurangi konsumsi rokok di rumah tangga, anak dan remaja, Pemerintah juga melarang berjualan rokok ketengan/eceran. Hal ini tertuang dalam keputusan Presiden nomor 25 tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah tahun 2023.
Berdasarkan hasil survey Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Juni 2022, selama 10 tahun terakhir jumlah perokok naik 8,8 juta orang menjadi 69,1 jiwa. Dengan pengeluaran sekitar Rp64 triliun pertahun. Sekalipun telah ditunjukkan efek jangka panjang akibat merokok, namun konsumennya tetap ada.
Riset dari Center of Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) nenunjukkan konsumsi rokok menyebabkan kerugian ekonomi, khususnya sistem kesehatan dan keluarga, senilai Rp27,7 triliun. Mirisnya ternyata sebagian besar konsumen rokok adalah dari kalangan menengah ke bawah.
Beginilah kehidupan rakyat ketika diatur oleh sistem yang hanya berorientasi pada keuntungan dan kepuasan materi. Sistem kapitalisme membuat rakyat gemar mengisap benda berbahaya, demi mendapatkan sensasi nyaman, rileks, tenang dan fokus.
Mereka tidak memperhatikan kebaikan atau keburukan barang tersebut untuk rakyat, karena yang mereka kejar adalah keuntungan. Keuntungan yang diambil dari rakyat kecil. Ini bukti bahwa kapitalisme telah abai terhadap keselamatan rakyatnya, sebab urusan cuan lebih penting. Seperti halnya, penerimaan cukai rokok di Indonesia yang semakin tinggi.
Berdasarkan Kemenkeu melaporkan, realisasi pemerintah cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia sebesar Rp188,9 triliun pada 1 Januari – 12 Desember 2023. Maka Negara ini sebenarnya takut membuat kebijakan menutup pabrik rokok ini, bukan hanya mengurangi pendapatan negara, namun juga ancaman PHK ada di depan mata.
Berbeda dengan sebuah negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah, yaitu Daulah Islamiyah. Negara Khilafah memiliki pemahaman dan kesadaran, bahwa keberadaannya memang ditugaskan untuk mengurusi urusan umat. Yang mana Rasulullah SAW bersabda "Al Imam (Khilafah) adalah raa'in (pengurus umat) dan dia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya". (HR. al-Bukhari)
Dengan keberadaan Khilafah sebagai raa'in bagi rakyatnya, Khilafah mengambil tindakan tegas dan nyata untuk menyelamatkan dan menghindari warganya dari bahaya. Khilafah tidak akan memberi izin kepada industri untuk memproduksi rokok. Maka inilah kebijakan solutif menyelesaikan masalah dari akarnya.
Jadi memutus rantai bahaya rokok akan sangat mudah dilakukan, karena ada peran negara dan kesadaran dari masyarakat. Bahkan jika Khilafah ada di tengah-tengah umat saat ini, yang notabenenya terdapat industri rokok, Khilafah akan memerintahkan industri tersebut mengganti produksi mereka dengan barang atau jasa yang lain. Jika mereka tidak taat, Khilafah tidak segan-segan untuk menutup pabrik mereka. Wallahu a'lam bi showab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar