Dari Ibrahim Hingga Palestina


Oleh : Gavrila Syam

Berabad-abad lalu, ketika Islam masih belum dikenal secara luas, kebijakan dan tindakan rasional seringkali tampak langka. Namun, hal ini tidak berarti bahwa manusia pada masa itu kehilangan kebijaksanaan. Sebaliknya, hati nurani mereka mungkin tersamarkan oleh kedudukan dan kehormatan. Hal ini terlihat pada masa kecil Nabi Ibrahim dan Musa, di mana ketakutan akan pembunuhan anak laki-laki menjadi hal yang umum.

Namrud dan Fir’aun, raja berkuasa saat itu, merasa terancam oleh ramalan yang mengatakan bahwa seorang anak Bani Israil nantinya akan menggulingkan kekuasaan mereka. Oleh karena itu, pembunuhan anak laki-laki dianggap sebagai solusi untuk mengatasi ancaman ini. Tindakan serupa juga terjadi di masa Arab jahiliyah, di mana anak perempuan dianggap sebagai aib, merusak kehormatan keluarga, sehingga dianggap halal darahnya.

Dalam An-Nahl ayat 58 misalnya, menggambarkan reaksi yang gelap ketika seorang ayah mendengar kabar kelahiran bayinya yang ternyata adalah perempuan, wajah mereka menghitam, menyiratkan kemarahan yang mendalam. Absurdnya, wanita dewasa diperlakukan seperti budak, di mana tubuh mereka dianggap halal namun mereka tidak memiliki hak atas uang yang diperoleh dari penjualan tubuh mereka.

Masa-masa tersebut diwarnai oleh kegelapan moral, di mana tradisi dan adat menjadi hukum mutlak. Namun, kita beruntung hidup di zaman yang jauh lebih baik, di mana nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan diakui.

Meskipun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa di berbagai bagian dunia, termasuk Palestina, perjuangan masih berlanjut. Meskipun mungkin tidak ada pembunuhan sistematis seperti pada masa lalu, konflik bersenjata dan pelanggaran hak asasi manusia masih dan terus melibatkan banyak nyawa, termasuk perempuan dan anak-anak. Sudah hampir tiga puluh ribu jiwa melayang sejauh ini, ribuan terluka, kehilangan harta, rumah dan sanak saudara. Oleh karena itu, nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh para nabi dalam sejarah, Nabi Ibrahim, Musa sampai nabi kita, Muhammad SAW misalnya, tetap relevan hingga saat ini.

Solidaritas internasional menjadi kunci untuk membantu mengakhiri ketidakadilan dan mendorong perdamaian di Palestina dan di mana pun keadilan dilanggar. Meskipun terlihat sulit, kita dapat bertindak dengan opsi lain yang telah terbukti pada 1400 tahun yang lalu mampu secara signifikan membawa perubahan yang sangat fundamental, menjadikan negeri mana saja yang mengadopsinya pasti berjaya, dan telah berhasil mengakomodir 2/3 bagian dunia dengan sangat baiknya. Yaitu, penerapan syariat Islam kaffah sebagai satu bentuk kontribusi konkret. Dengan demikian, kita tidak hanya menyaksikan sejarah, tetapi juga berpartisipasi dalam membentuk masa depan yang lebih baik.

Bahkan di dalam kegelapan terdalam, kebenaran dan keadilan tidak akan pernah mati. Mari bersatu, belajar dari pengalaman masa lalu, dan berkontribusi aktif untuk menciptakan dunia di mana setiap jiwa dihormati dan dilindungi. 





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar