Derasnya Impor Beras, Kedaulatan Pangan Hanya Menjadi Angan-angan


Oleh : Ratih Rahmawati (Pegiat Literasi)

Presiden Joko Widodo mengungkapkan Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada.  Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka membutuhkan beras.  Menurut Jokowi setidaknya ada 4 juta sampai 4,5 juta bayi yang baru lahir setiap tahun sehingga kebutuhan akan pangan seperti beras akan bertambah setiap tahunnya. Pemerintah pun sudah memberikan kuota importasi beras sebanyak 2 juta ton sebagai upaya antisipasi, mengingat dampak El Nino masih akan terasa hingga tahun 2024 ini. (Media CNBC, Indonesia).

Impor beras sejatinya menjadi solusi pragmatis terkait persoalan ketersediaan beras dan bukan solusi mendasar dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Solusi impor menggambarkan belum mandiri nya sebuah negeri dan belum terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan di negeri ini. 

Hal ini adalah sebuah keniscayaan dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Karena sistem ini menyebabkan Indonesia terjajah secara ekonomi. Sejak reformasi globalisasi atau liberalisasi,  impor semakin masif, yang  ditandai dengan kegiatan yang dikenal dengan konsensus Washington. Kebijakan tersebut mengharuskan Indonesia melakukan penghapusan atau pengurangan subsidi dalam segala sektor termasuk pertanian.  Alhasil memasuki musim waktu tanam petani dihadapkan pada harga pupuk yang mahal, benih yang mahal hingga obat-obatan yang mahal.

Namun memasuki waktu panen, harga padi menjadi murah karena pemerintah tidak menghentikan aktivitas impor. Selain itu adanya penurunan tarif impor atas  komoditi pangan  termasuk beras, menjadikan harga pangan dari impor tersebut lebih murah dibandingkan dengan harga pangan yang diproduksi dalam negeri. maka jelas petani dalam negeri akan merugi.

Kebijakan tersebut juga menuntut pemerintah mengurangi peran Bulog. dahulu Bulog bisa membeli beras dari petani, namun sekarang Bulog tidak bisa. Bulog hanya bisa menyimpan stok dan tidak mempunyai dana untuk membeli padi atau beras dari petani. 

Kondisi inilah yang menghasilkan rusaknya pengelolaan pertanian dan pangan di Indonesia. Indonesia pun menjadi negara yang bergantung pada negara lain dalam persoalan pangan. bukan menjadi negara mandiri yang siap menyediakan kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa bergantung terhadap impor dari negeri lain.

Maka tidak aneh, saat ini banyak petani yang beralih profesi karena berkurangnya lahan pertanian dan kebijakan impor yang merugikan. Dilansir  dari CNBC Indonesia, badan pusat statistik (BPS) mencatat trend penurunan jumlah usaha pertanian perorangan sejak tahun 2013  mengalami penurunan, di mana pada tahun 2013 petani Indonesia mencapai 31,70 juta jiwa sementara saat ini jumlah petani di Indonesia mencapai 29,34 juta petani atau turun 7,45 persen.

Inilah kondisi yang menyebabkan ancaman pangan.  Derasnya impor beras yang terus dilakukan pemerintah cenderung menjadi cara pragmatis, Seharusnya negara berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah solutif dan antisipatif, di tengah kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat, dan berbagai kondisi yang merugikan petani seperti banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman, berkurangnya jumlah petani karena profesi petani tidak terjamin dalam kesejahteraan dan makin sulitnya petani dalam memiliki dan mempertahankan lahannya.

Namun ketahanan dan kedaulatan pangan ini hanya akan terwujud dalam negara yang menerapkan sistem Islam yang bertanggung jawab menyediakan kebutuhan pokok termasuk makanan. Oleh karena itu sistem Islam akan mencari berbagai jalan agar terwujud kedaulatan pangan,  apalagi sistem Islam akan mewujudkan menjadi negara adidaya sebagai sebagai cita-cita dalam perjalanan panjangnya. Wallahualam..




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar