Oleh : Maknathul Aini/Umma Jinan (Pengemban Dakwah dan Moms Preneur)
Katanya Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras. Impor beras menjadi solusi Pragmatis persoalan beras, dan bukan mendasar. Bahkan cenderung menjadi cara praktis mendapatkan keuntungan. Sebagaimana di lansir dari Muslimah News, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa rencana impor beras sebanyak tiga juta ton pada tahun ini telah diputuskan sejak Februari 2023 lalu. Satu juta ton dari India, dua juta ton dari Thailand. Upaya impor beras tersebut ditempuh untuk mengamankan cadangan pangan nasional.
“Untuk amankan cadangan strategis ketahanan pangan kita harus lakukan (impor). Artinya kita sudah dapat tanda tangan, satu India, dua Thailand. Paling tidak rasa aman kita dapat urusan pangan,” tutur Jokowi. (CNN Indonesia, 9-1-2024). Lantas, sudah tepatkah kebijakan tersebut? Benarkah stok beras nasional kurang?
Menanggapi keputusan pemerintah ini, berbagai kalangan protes dan menolak kebijakan impor beras. Bahkan, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, pihaknya yang tersebar di berbagai wilayah akan berunjuk rasa menolak impor beras dalam 10 hari mendatang. (Ekonomi Bisnis, 9-1-2024). Menurutnya, impor beras akan sangat memukul harga gabah saat panen raya mendatang. Sedangkan prediksi produksi beras pada 2024 akan naik sekitar 3—5 persen dari tahun sebelumnya dikarenakan fenomena El-Nino yang mulai mereda, iklim yang kembali normal, dan harga gabah kering panen (GKP) yang cenderung masih mumpuni.
Terlebih, menurut peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian, keputusan impor beras tahun ini tidak sesuai dengan data. Pasalnya, kebutuhan awal 2024 masih dapat dipenuhi dari sisa impor tahun lalu. Per Desember 2023, stok Bulog masih 1,6 juta ton, di ID Food kurang lebih 2 juta ton, dan di level daerah ada 6,7 juta. Artinya, stok beras awal tahun masih di atas 10 juta ton, sedangkan kebutuhan beras nasional per bulan berkisar hingga 2,5 juta ton. (CNN Indonesia, 10-10-2024).
Jika mengutip data dari BPS, pada 2022 produksi beras nasional 31,54 juta ton, sedangkan konsumsi hanya 30,2 juta ton. Begitu pun 2023, produksi beras 30,9 juta ton, sedangkan konsumsi hanya 30 juta ton. Artinya, tahun-tahun sebelumnya pun jika tidak impor ketersediaan beras dalam negeri terpenuhi. Apalagi 2024 diprediksi produksi beras akan naik dengan alasan yang sudah disebutkan di atas.
Alasan impor adalah karena cadangan beras harus 20% dari kebutuhan nasional. Jika melihat data, semua itu bisa terpenuhi. Lantas, mengapa pemerintah masih bersikukuh impor beras, sedangkan kebutuhan beras nasional aman? Mengapa pemerintah seperti menutup mata dan telinganya saat banyak warga menolak impor beras? Sedangkan konsekuensi impor yang terus-menerus dapat merugikan petani dan lebih jauh akan berdampak pada hilangnya kedaulatan pangan nasional.
Paradigma Ala Kapitalistik dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan
Seharusnya negara berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah solutif dan antisipatif. Termasuk menyediakan lahan pertanian di tengah banyaknya alih fungsi lahan, berkurangnya jumlah petani dan makin sulitnya petani mempertahankan. Disamping itu kita melihat stok beras yang mencukupi, sedangkan pada kenyataannya banyak warga yang kesulitan mengakses beras, bisa disimpulkan bahwa persoalan utamanya terletak pada manajemen stok dan distribusi, bukan produksi. Sudah jamak diketahui, 90% distribusi beras dikendalikan oleh swasta. Jika swasta yang mengendalikan, profit menjadi tujuan utamanya. Wajar saja orang miskin sulit untuk mengaksesnya.
Inilah yang sebenarnya akar persoalan pangan, termasuk beras di Indonesia, yaitu distribusi. Andai saja distribusi dikelola mandiri oleh negara, distribusi beras akan bisa sampai pada semua kalangan, tidak terkecuali rakyat miskin. Sayangnya, tata kelola negeri ini yang bercorak kapitalistik menihilkan hal tersebut. Ini karena peran negara dalam sistem ekonomi kapitalisme hanya sebatas regulator, bukan pengurus rakyat. Negara hanya menjadi penyambung kepentingan korporasi terhadap rakyat, begitu pun sebaliknya. Rakyat membutuhkan sejumlah kebutuhan hidup, sedangkan pengusaha/korporasi menyediakan fasilitas hidup rakyat.
Selain itu, sistem ekonomi kapitalistik akan makin mempercuram ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Ini karena akses modal terhadap si kaya makin lebar, sedangkan bagi si miskin kian sempit. Inilah yang menjadikan makin banyak warga yang tidak bisa mengakses pangan dengan layak sebab makin banyak warga miskin yang tidak memiliki uang untuk membeli beras.
Jumlah penduduk yang besar jika dikelola dengan baik, tentu akan meningkatkan produktivitas. Akan banyak SDM yang siap memproduksi beras. Sayangnya, berbagai kebijakan kontraproduktif terhadap swasembada pangan malah terus ditetapkan. Misalnya saja kebijakan konversi lahan pertanian yang kian masif. Para petani kehilangan sawah-sawah mereka karena lahannya dialihfungsikan untuk pembangunan industri. Saprotan (benih, pestisida, pupuk, dsb.) makin dikuasai swasta. Alhasil, insentif para petani makin kecil sehingga profesi petani dianggap profesi yang melekat dengan kemiskinan.
Apalagi kebijakan impor yang sering kali dilakukan saat masa panen, tentu akan sangat memukul petani. Inilah yang dapat mematikan gairah petani untuk menanam padi. Oleh karena itu, tata kelola negara yang kapitalistik inilah yang paling bertanggung jawab terhadap persoalan pangan.
Tata Kelola atau Mekanisme Pangan Ala Islam
Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab menyediakan kebutuhan pokok termasuk makanan. Oleh karena itu, negara Islam akan mencari berbagai jalan agar terwujud kedaulatan pangan. Apalagi Islam akan mewujudkan negara adidaya sebagai cita-cita dalam perjalanan panjangnya.
Tata kelola negara yang bercorak kapitalistik mustahil mewujudkan swasembada pangan. Kepentingan pengusaha telah menjadi fokus utama dalam kerja para penguasanya. Inilah yang menjadikan kebijakan impor terus saja diambil walaupun dapat mencederai kedaulatan pangan negara. Produksi tidak akan mungkin bisa masif sebab liberalisasi kepemilikan lahan menjadikan para petani kian tidak memiliki lahan untuk digarap. Begitu pun aspek distribusi yang menjadi pangkal persoalan, dalam sistem kapitalisme, swastalah yang menguasai sehingga aliran pangan tidak akan mungkin sampai pada setiap rakyat.
Dengan demikian, swasembada pangan hanya bisa dicapai dengan tata kelola negara yang berlandaskan pada Islam. Islam telah memiliki mekanisme yang khas dan telah terbukti mampu mewujudkan swasembada pangan yang pada gilirannya akan menjadikan negara berdaulat tanpa ketergantungan dengan negara lainnya.
Adapun mekanisme Islam dalam mewujudkan swasembada pangan pertama adalah memposisikan penguasa sebagai pengurus seluruh urusan umat. Mulai produksi hingga distribusi ada di bawah pengelolaan negara. Adapun swasta, boleh terlibat, tetapi seluruhnya dalam kendali negara. Penguasa harus benar-benar memastikan setiap warganya dapat mengakses pangan sehingga perangkat negara dari pusat hingga level RT akan bersinergi untuk memenuhi seluruh hak warga. Jika ada warga yang tidak sanggup membeli beras, santunan akan terus diberikan hingga mereka sanggup memenuhinya sendiri.
Kedua, swasembada pangan dilakukan semata untuk terpenuhinya kebutuhan umat. Dalam kondisi tertentu, seperti paceklik atau bencana alam atau lainnya yang menyebabkan stok pangan berkurang, kebijakan impor boleh diambil dengan ketentuan syariat terkait dengan perdagangan luar negeri.
Ketiga, syariat Islam mengganjar pahala yang besar pada orang yang dapat menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat). “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia akan mendapatkan pahala padanya. Dan apa yang dimakan oleh ‘awafi, maka ia adalah sedekah baginya.” (HR Ad-Darimi dan Ahmad).
Syariat Islam pun menetapkan bahwa kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Aturan tentang kepemilikan lahan yang bersatu dengan produksi akan meningkatkan produktivitas pertanian. Ditambah kebijakan penguasa yang fokus pada kesejahteraan umat, seperti penyediaan saprodi yang dipermudah, akan makin menambah gairah para petani untuk terus menanam.
Demikianlah sejumlah mekanisme dalam Islam yang dapat mewujudkan swasembada pangan yang pada gilirannya akan mengantarkan pada kedaulatan negara. Semua mekanisme tersebut hanya bisa optimal diterapkan dalam sistem Khilafah Islamiah. Oleh karena itu, upaya mengembalikan sistem Khilafah harus terus di gaungkan dan diperjuangkan. Wallaahu A’lam Bisshowab.
Sumber: https://muslimahnews.net/2024/01/13/26321/
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar