Indonesia dalam Jerat Utang, Masih Tenang?


Oleh : Siami Rohmah (Pegiat Literasi)

Utang Indonesia tembus Rp8.041 triliun, ini berarti besaran rasio terhadap PDB adalah 38,11 persen. Dengan utang sebesar ini pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menilai masih terkendali. Pasalnya rasio terhadap PDB masih dibawah 40 persen. Sementara dalam Undang Undang Nomor 1/2003 tentang Keuangan Negara, batas maksimal utang negara ada pada rasio 60 persen atas PDB. (Antara).

Pemerintah menganggap utang masih terkendali dan memandang kecil karena mengambil perbandingan terhadap negara lain yang memiliki utang lebih besar. Misalkan Malaysia, Filipina, dan Thailand yang mencapai 70 persen. Dari sini pemerintah akhirnya juga berani menarik utang kembali di tahun 2024 ini. Tidak tanggung-tanggung utang baru yang ditarik sebesar Rp600 triliun. Utang ini digunakan untuk menutup defisit APBN 2024 sebesar Rp522, 8 triliun.

Ketika pemerintah menganggap utang yang terus membengkak sebagai sesuatu yang biasa dan dianggap aman tentu hal yang berbahaya. Misalkan kita anggap negara ini seperti sebuah keluarga. Jika dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari selalu mengandalkan utang, sedikit-sedikit utang, tentu kita sudah bisa menebak bagaimana akhir dari perjalanan keluarga ini, akan tenggelam dalam kubangan utang, aset bisa habis untuk membayar utang. Jadi ketika negara ini begitu mudah menarik utang, maka sudah bisa dipastikan akan menyerupai analogi diatas. Apalagi utang yang diambil adalah utang dengan riba yang mencekik.

Ada istilah "besar pasak daripada tiang" ketika menggambarkan pengeluaran lebih besar daripada pemasukan, dan kondisi ini bisa membuat bangunan ambruk. Lalu kenapa kondisi ini terjadi di negeri ini, bahkan juga di negara lain. Di mana pemasukan tidak bisa mengimbangi kebutuhan, sehingga harus utang. Padahal Indonesia adalah negara kaya, dengan limpahan SDA yang luar biasa. Biang semua ini adalah ketika negara mengambil  kapitalisme dalam pengaturan ekonominya. Hal mendasar dalam kapitalisme adalah memberikan empat kebebasan, yaitu berkeyakinan, berperilaku, berpendapat, dan kepemilikan. Dari kebebasan kepemilikan ini SDA yang seharusnya dikelola maksimal oleh negara untuk kemudian bisa digunakan untuk pembiayaan negara justeru dikuasai oleh pemilik-pemilik modal (swasta) baik asing maupun domestik. Karena dalam kapitalisme meniscayakan kebebasan kepemilikan ini.  Sehingga bisa dibaca ketika aset-aset negara dan SDA dikuasai pemilik modal, maka negara akan kehilangan sumber pemasukannya. Akhirnya negara akan menekan rakyat dengan pajak dan jika masih saja belum cukup maka utang akan menjadi solusi.

Pilihan utang begitu mudah diambil, karena menjadi jalan termudah. Padahal utang adalah jerat berbahaya. Utang akan memberikan keuntungan bagi pendonor. Semakin besar utang semakin besar keuntungan bagi mereka, sebaliknya menjadi malapetaka bagi negara peminjam. Setiap utang yang diberikan pasti menyertakan syarat - syarat yang harus dipenuhi. Selain jeratan riba, utang ini menjadikan negara tidak berdaulat dan menjadi jalan penguasaan atas negeri peminjam utang. 

Maka jelas, dalam Islam tidak boleh menggunakan utang luar negeri sebagai pendapatan untuk menutup anggaran belanja. Islam mendorong untuk mandiri. Allah memberikan potensi yang luar biasa kepada negeri ini. Maka haruslah dikelola sesuai yang diperintahkan oleh Allah. Telah jelas pemisahan antar kepemilikan, baik individu, umum, dan negara. Serta telah jelas pula pembelanjaannya. Sehingga tidak akan saling tertukar. Ketika ekonomi diatur sesuai aturan Allah, baik pengelolaan sumber pemasukan dan belanja, yang terjadi adalah keberkahan. Telah tercatat dalam tinta sejarah, pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid keuangan negara surplus 600 juta Dinar, setara Rp 2000 triliun. Sama besarnya dengan APBN Indonesia. MasyaAllah. Jadi sungguh tidak tepat ketika tetap merasa aman dan tenang ketika berada dalam jerat utang yang menggunung, begitu juga tidak tepat ketika tidak bersegera kembali pada Islam dalam mengatur keuangan negara. Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar